Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Pendidikan Digital di Perkotaan dan Pedesaan: Kesenjangan atau Peluang?
15 Februari 2025 15:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mohamad Iksan U tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Foto oleh Headway di Unsplash](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkwhg9875gejbb8nffdq9xbr.jpg)
ADVERTISEMENT
Transformasi pendidikan digital di Indonesia telah membawa perubahan besar dalam cara siswa belajar. Namun, hal ini juga mengungkap perbedaan mendasar antara perkotaan dan pedesaan. Sekolah-sekolah di kota besar lebih cepat beradaptasi dengan teknologi karena memiliki akses terhadap infrastruktur yang lebih baik, tenaga pendidik yang lebih siap, serta dukungan sosial yang lebih kuat terhadap inovasi digital. Sebaliknya, di pedesaan, terdapat berbagai tantangan dalam mengakses teknologi, baik dari segi perangkat, konektivitas, maupun kesiapan ekosistem pendidikan setempat. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai bagaimana pendidikan digital dapat benar-benar berfungsi sebagai alat pemerataan, bukan sekadar menjadi simbol modernisasi dengan dampak yang tidak merata.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif psikologi pendidikan, teori Zona Perkembangan Proksimal atau Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky memberikan wawasan tentang bagaimana teknologi dapat mendukung proses belajar. Menurut teori ini, seorang anak akan lebih berkembang jika mendapatkan dukungan eksternal yang membantu mereka melewati batas kemampuannya. Dalam konteks pendidikan digital, teknologi dapat berperan sebagai pembelajaran bertahap (scaffolding) yang memungkinkan siswa mengeksplorasi materi yang lebih kompleks melalui sumber daya interaktif, diskusi daring, atau bimbingan dari pembimbing digital. Namun, jika akses terhadap teknologi terbatas atau tidak tersedia, perkembangan siswa pun ikut terhambat. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pendidikan digital tidak hanya bergantung pada keberadaan teknologi itu sendiri, tetapi juga pada bagaimana teknologi tersebut diintegrasikan ke dalam sistem pembelajaran yang mendukung perkembangan kognitif siswa.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang psikologi sosial, konsep Kesenjangan Digital (Digital Divide) menjelaskan bagaimana perbedaan akses terhadap teknologi dapat menciptakan ketimpangan dalam masyarakat. Ketika teknologi menjadi faktor yang membentuk pola belajar dan interaksi sosial, mereka yang memiliki akses penuh terhadap perangkat dan internet cenderung lebih mudah berkembang dalam keterampilan digital. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki akses berisiko tertinggal dalam berbagai aspek, termasuk kesiapan menghadapi tantangan dunia kerja di masa depan. Namun, kesenjangan ini tidak hanya berkaitan dengan akses fisik terhadap teknologi, tetapi juga dengan kesiapan individu dan lingkungan dalam menerima perubahan. Faktor budaya, pola pikir, dan kebiasaan belajar yang telah terbentuk dalam komunitas turut berperan dalam menentukan keberhasilan pendidikan digital atau justru menimbulkan penolakan.
ADVERTISEMENT
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, pendidikan digital juga membuka peluang baru jika diterapkan secara lebih inklusif. Dalam teori pembelajaran konstruktivis, Jean Piaget menekankan bahwa anak-anak membangun pemahamannya melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Dengan pendekatan yang fleksibel, pendidikan digital dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, seperti penggunaan metode pembelajaran campuran (blended learning) yang mengombinasikan pembelajaran daring dan tatap muka, atau pengembangan konten edukasi berbasis teknologi sederhana yang mudah diakses oleh berbagai kalangan. Jika diterapkan dengan pendekatan yang adaptif, pendidikan digital tidak harus menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu, tetapi dapat menjadi alat pemberdayaan bagi berbagai lapisan masyarakat dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebagai solusi, pendekatan berbasis komunitas dapat menjadi kunci untuk mengurangi kesenjangan dalam pendidikan digital. Dalam teori ekologi pendidikan yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner, lingkungan sosial memiliki peran penting dalam perkembangan individu. Oleh karena itu, pendidikan digital tidak boleh hanya bergantung pada sekolah atau teknologi itu sendiri, tetapi harus melibatkan komunitas, keluarga, dan berbagai pihak yang dapat mendukung proses belajar. Jika komunitas mampu beradaptasi dengan teknologi dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari, maka transformasi digital dalam pendidikan dapat berjalan lebih efektif, bukan sekadar menjadi kebijakan yang diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, keberhasilan pendidikan digital tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang digunakan, tetapi juga oleh bagaimana teknologi tersebut diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat. Jika dikelola dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis psikologi pendidikan, transformasi ini dapat menjadi alat pemerataan kesempatan belajar, bukan sekadar memperbesar jurang perbedaan antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak. Yang terpenting adalah memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang, dapat merasakan manfaat nyata dari pendidikan digital dalam membangun masa depan mereka.