Konten dari Pengguna

Guru PAI Kurang Literasi, Radikalisme Merangsek ke Ruang Kelas

Buchori
Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia dan Pengajar di Sekolah Menengah Pertama Kahuripan Lembang
23 Oktober 2024 14:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Buchori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dari penulis: Pembelajaran PAI pada Salah Satu Sekolah di Kota Bandung
zoom-in-whitePerbesar
Foto dari penulis: Pembelajaran PAI pada Salah Satu Sekolah di Kota Bandung
ADVERTISEMENT
Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, jumlah guru di Indonesia mencapai sekitar 3,1 juta orang. Terdiri dari 2,5 juta guru sekolah negeri dan 600 ribu guru di sekolah swasta, jumlah tersebut masih jauh dari angka ideal yang ditetapkan, yakni 4,2 juta guru. Defisit ini menjadi tantangan besar dalam penyediaan tenaga pengajar yang berkualitas dan mampu memenuhi standar pendidikan yang diharapkan. Lebih dari itu, kualitas guru juga menjadi sorotan utama. Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan sejak 2015 hingga 2021 menunjukkan bahwa sekitar 81% guru di Indonesia tidak mencapai nilai minimum yang dipersyaratkan. Bahkan, dalam Ujian Nasional (UN) tahun 2022, rata-rata nilai guru berada pada angka 54,6, masih di bawah standar minimum yaitu 55.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah oleh pernyataan dari Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, yang menyampaikan data dari KEMENDIKBUD terkait Uji Kompetensi Guru di Indonesia masih di bawah standar nasional sehingga beliau menekankan bahwa peningkatan kualitas guru merupakan syarat penting untuk mencapai generasi yang unggul di masa depan. Kurangnya kompetensi guru menjadi perhatian besar dalam menciptakan sistem pendidikan yang efektif dan adaptif. Hal ini tidak hanya berlaku pada guru yang mengajar mata pelajaran umum, tetapi juga pada guru yang mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI). Rendahnya pemahaman guru PAI terhadap literatur agama yang mendalam tidak hanya menghilangkan wibawa mereka di mata peserta didik, tetapi juga dapat menyebabkan salah tafsir dalam pengajaran agama.
Ketidakmampuan guru PAI dalam memahami ajaran agama secara luas dan kritis dapat membuka ruang bagi masuknya narasi dogmatis dan eksklusif. Akibatnya, pengajaran agama yang diberikan cenderung sempit dan kurang dialogis. Hal ini membuka peluang bagi paparan ideologi radikal yang memanfaatkan kekosongan pemahaman di kalangan guru dan siswa. Pendidikan agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan moderasi, berpotensi berubah menjadi media untuk menyebarkan pandangan eksklusif yang berbahaya jika tidak disertai dengan literasi agama yang memadai.
ADVERTISEMENT
Radikalisasi di ruang kelas bisa terjadi melalui berbagai cara. Guru PAI yang memiliki pandangan sempit mengenai ajaran agama berpotensi menanamkan pemahaman yang salah pada siswa. Tidak jarang, siswa di berbagai jenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, menjadi sasaran empuk bagi narasi radikalisme yang disebarkan oleh guru yang kurang literasi. Pandangan-pandangan eksklusif ini kemudian menempatkan peserta didik dalam posisi yang rentan terhadap pengaruh ideologi radikal, yang dapat berdampak pada perilaku intoleran dan ekstrimisme di kemudian hari.
Lebih jauh lagi, pola penyebaran radikalisme di sekolah dapat terjadi dalam bentuk yang beragam. Misalnya, guru PAI yang kurang memahami pemahaman tentang pluralisme sering kali menggantikan kekosongan tersebut dengan doktrin yang bersifat eksklusif. Kekosongan ini secara sitematis diisi dengan pemahaman yang mempersempit makna toleransi dalam agama. Sebagai contoh, guru PAI dapat mengajarkan bahwa interaksi dengan pemeluk agama lain harus dibatasi, atau bahwa keyakinan yang berbeda harus dipandang dengan kecurigaan. Pola ini sangat mungkin terjadi jika guru tidak memiliki kapasitas untuk mendalami ajaran agama dari berbagai sudut pandang yang inklusif dan moderat.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, pengaruh radikalisme di sekolah tidak selalu bersifat langsung melalui pengajaran di ruang kelas. Penyebaran ideologi ini bisa terjadi melalui kegiatan ekstrakurikuler yang disusupi oleh kelompok-kelompok dengan agenda radikal. Kelompok-kelompok ini memanfaatkan kekosongan pengawasan di sekolah untuk menyebarkan propaganda radikalisme kepada siswa melalui diskusi-diskusi tertutup atau kegiatan keagamaan yang menyimpang dari nilai-nilai moderasi Islam. Oleh karena itu, penting bagi sekolah dan pemerintah untuk memperkuat pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan di lingkungan sekolah, serta meningkatkan kompetensi guru PAI agar dapat menjadi garda depan dalam melawan penyebaran radikalisme.
Implikasi lebih lanjut dari rendahnya literasi agama di kalangan guru PAI adalah munculnya sikap intoleran di kalangan peserta didik. Guru yang tidak memahami konsep pluralisme dengan baik cenderung menyampaikan pandangan yang bias kepada siswa, seperti pandangan bahwa agama tertentu lebih superior dari yang lain. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian dan saling menghormati antar umat manusia. Pendidikan agama Islam seharusnya menjadi media untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi, bukan sebaliknya menjadi sarana penyebaran ideologi yang memecah belah.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya serius dari pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk meningkatkan kompetensi literasi agama di kalangan guru PAI. Program pelatihan dan sertifikasi yang ada harus ditingkatkan dan difokuskan pada pengembangan kapasitas intelektual dan spiritual guru. Guru PAI harus diperkaya dengan literasi agama yang luas dan inklusif, serta dibekali dengan metode pengajaran yang mendukung dialog dan toleransi di ruang kelas. Hal ini penting untuk mencegah penyebaran paham radikal di kalangan peserta didik dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai instrumen pembentukan karakter yang moderat dan damai.
Selain itu, kurikulum Pendidikan Agama Islam juga perlu diperbaharui agar lebih relevan dengan tantangan zaman. Materi pembelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga mendorong siswa untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap perbedaan. Pengajaran tentang pluralisme dan toleransi harus menjadi bagian integral dari kurikulum, dengan fokus pada pemahaman bahwa Islam adalah agama yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pendidikan agama Islam yang ideal adalah pendidikan yang dapat membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki wawasan yang luas tentang kehidupan bermasyarakat. Guru PAI memainkan peran penting dalam mewujudkan visi ini, tetapi peran mereka hanya dapat maksimal jika didukung oleh literasi yang memadai dan komitmen terhadap nilai-nilai moderasi Islam. Dalam konteks inilah, peningkatan literasi agama bagi guru PAI menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditunda, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan radikalisme yang semakin kompleks.
Maka, diketahui bahwa literasi agama yang rendah di kalangan guru PAI dapat membuka ruang bagi masuknya radikalisme di ruang kelas. Pendidikan agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme justru berpotensi diselewengkan menjadi ajang penyebaran ideologi eksklusif. Oleh karena itu, peningkatan literasi agama bagi guru PAI, baik melalui pelatihan maupun reformasi kurikulum, menjadi langkah penting dalam upaya memperkuat sistem pendidikan agama yang moderat dan inklusif. Hanya dengan demikian, pendidikan agama Islam dapat benar-benar berfungsi sebagai sarana pembentukan karakter yang kuat dan berwawasan luas di kalangan peserta didik.
ADVERTISEMENT