Konten dari Pengguna

Mentalitas Penaklukan: Hubungan Sains Modern dan Imperialisme Eropa

Oryza Adira Sidly
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
2 Juni 2024 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Oryza Adira Sidly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta Asia Tenggara yang Menunjukkan Perjalanan Charles Darwin Keliling Dunia di HMS Beagle, Bagian 3 dari 3 Peta Penghubung Zona Tropis - Abad ke-19 (Picture from iStock)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Asia Tenggara yang Menunjukkan Perjalanan Charles Darwin Keliling Dunia di HMS Beagle, Bagian 3 dari 3 Peta Penghubung Zona Tropis - Abad ke-19 (Picture from iStock)
ADVERTISEMENT
Dalam buku "Sapiens: A Brief History of Humankind" karya Yuval Noah Harari, bab yang berjudul "The Mentality of Conquest" mengupas tentang keterkaitan yang erat antara perkembangan ilmu pengetahuan modern dan ekspansi kekaisaran Eropa. Harari menggambarkan bagaimana Eropa pada periode modern awal menjadi pusat kemajuan ilmiah yang pesat, didorong oleh semangat eksplorasi dan penaklukan. Meskipun ilmu pengetahuan modern banyak berutang pada tradisi ilmiah dari berbagai peradaban seperti Yunani klasik, Tiongkok, India, dan Islam, karakternya yang unik mulai terbentuk seiring dengan ekspansi kekaisaran-kekaisaran Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Rusia, dan Belanda. Mentalitas penjelajahan ini tercermin dalam peta dunia yang mulai menggambarkan ruang kosong, menandakan pengakuan atas ketidaktahuan dan dorongan untuk menjelajah, seperti yang dilakukan oleh penjelajah seperti Columbus dan Amerigo Vespucci.
ADVERTISEMENT
Peran penting peradaban non-Eropa dalam Revolusi Ilmiah tidak bisa diabaikan. Tiongkok, India, dunia Islam, serta masyarakat asli Amerika dan Polinesia, semuanya memberikan kontribusi signifikan. Wawasan dari ekonom Muslim dipelajari oleh tokoh-tokoh seperti Adam Smith dan Karl Marx, sementara pengetahuan medis dari dokter-dokter asli Amerika diterjemahkan ke dalam teks-teks medis berbahasa Inggris. Namun, yang menarik adalah hingga pertengahan abad ke-20, mereka yang mengumpulkan dan memanfaatkan penemuan-penemuan ilmiah ini adalah para elit penguasa dan intelektual di kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini menandai bagaimana Eropa tidak hanya menjadi pusat kekuasaan politik dan militer, tetapi juga pusat perkembangan ilmu pengetahuan.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan modern berkembang pesat di kerajaan-kerajaan Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Rusia, dan Belanda. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban Tiongkok, India, Islam, penduduk asli Amerika, dan Polinesia juga memberikan kontribusi penting bagi Revolusi Ilmiah. Misalnya, wawasan para ekonom Muslim dipelajari oleh Adam Smith dan Karl Marx, serta pengobatan dari dokter-dokter penduduk asli Amerika masuk ke dalam teks-teks medis berbahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, hingga pertengahan abad ke-20, orang-orang yang mengumpulkan berbagai penemuan ilmiah ini dan menciptakan disiplin ilmu pengetahuan adalah para elit penguasa dan intelektual di kerajaan-kerajaan Eropa. Timur Jauh dan dunia Islam memang menghasilkan pemikir-pemikir yang cerdas dan ingin tahu, namun antara tahun 1500 dan 1950, mereka tidak menghasilkan sesuatu yang mendekati fisika Newton atau biologi Darwin.

Faktor Kunci: Mentalitas Penaklukan

Yang membedakan imperialisme Eropa dengan proyek-proyek imperialisme lainnya dalam sejarah adalah mentalitas penaklukan yang mereka miliki. Para ilmuwan dan penakluk Eropa memulai dengan mengakui ketidaktahuan mereka dan terdorong untuk keluar dan membuat penemuan baru. Mereka berharap bahwa pengetahuan baru yang diperoleh akan membuat mereka menjadi penguasa dunia. Sebaliknya, bangsa Arab, Romawi, Mongol, dan Aztec menaklukkan daerah-daerah baru untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, bukan untuk mencari pengetahuan.
ADVERTISEMENT

Hubungan Sains dan Imperialisme

Pada abad ke-18 dan ke-19, penaklukan pengetahuan dan penaklukan wilayah menjadi semakin erat terjalin. Hampir setiap ekspedisi militer penting dari Eropa menuju negeri-negeri yang jauh membawa serta ilmuwan untuk melakukan penemuan ilmiah. Misalnya, ketika Napoleon menginvasi Mesir pada tahun 1798, ia membawa 165 ilmuwan yang kemudian mendirikan disiplin ilmu baru seperti Egyptology.
Kisah Charles Darwin juga menarik. Pada tahun 1831, Angkatan Laut Kerajaan Inggris mengirimkan kapal HMS Beagle untuk memetakan pesisir Amerika Selatan dan Kepulauan Galapagos. Kapten kapal yang merupakan seorang ilmuwan amatir, memutuskan untuk menambahkan seorang ahli geologi, dan Charles Darwin yang saat itu baru lulus dari Cambridge, mengambil kesempatan tersebut. Data empiris yang ia kumpulkan selama perjalanan inilah yang kemudian menjadi dasar teori evolusi.
ADVERTISEMENT
Peta Amerika Selatan yang Menunjukkan Perjalanan Charles Darwin Keliling Dunia di HMS Beagle, Bagian 1 dari 3 Peta Penghubung Zona Tropis - Abad ke-19 (Picture from iStock)

Empty Maps

Peta Kosong: Mengungkap Mentalitas Penaklukan Modern

Mentalitas 'jelajahi dan taklukkan' modern terlihat jelas dalam perkembangan peta dunia. Sebelum zaman modern, banyak budaya menggambar peta dunia tanpa ruang kosong, mengisi daerah-daerah yang tidak dikenal dengan monster dan khayalan. Pada abad ke-15 dan ke-16, orang Eropa mulai menggambar peta dengan ruang kosong, mencerminkan pengakuan akan ketidaktahuan mereka dan dorongan untuk penjelajahan serta imperialisme.
Titik balik terjadi pada tahun 1492 ketika Christopher Columbus berlayar dari Spanyol mencari rute ke Asia Timur. Meski akhirnya mencapai Amerika, Columbus tetap yakin ia telah mencapai Asia. Pandangan ini mulai berubah dengan Amerigo Vespucci, yang menyatakan bahwa tanah yang ditemukan Columbus adalah benua baru. Pada tahun 1507, pembuat peta Martin Waldseemüller menamai benua tersebut Amerika, berdasarkan nama Vespucci.
ADVERTISEMENT
Penemuan Amerika mendorong Revolusi Ilmiah dan kebutuhan untuk mengumpulkan pengetahuan baru dengan cepat. Peta dengan ruang kosong mulai menjadi norma, mencerminkan pengakuan akan ketidaktahuan dan dorongan untuk eksplorasi lebih lanjut. Ekspedisi Eropa mengelilingi dunia, mendirikan kerajaan global pertama, dan mengubah sejarah dunia menjadi sejarah masyarakat manusia yang terintegrasi. Peta Dunia Salviati tahun 1525, yang sebagian besar kosong, mengundang rasa ingin tahu dan eksplorasi lebih lanjut, mencerminkan mentalitas penaklukan modern Eropa
Peta-peta kosong yang mulai dibuat oleh orang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 tidak hanya mencerminkan ketidaktahuan mereka tentang dunia, tetapi juga menandai awal dari revolusi ilmiah dan eksplorasi besar-besaran. Ketika Christopher Columbus berlayar menuju barat dari Spanyol, ia tanpa sadar membuka jalan bagi penemuan benua Amerika dan mendorong generasi penjelajah dan ilmuwan untuk mencari pengetahuan baru. Mentalitas 'jelajahi dan taklukkan' ini, yang melahirkan peta dengan ruang kosong, mengilhami orang Eropa untuk menjelajah jauh di luar batas-batas dunia yang dikenal sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Penemuan Amerika bukan hanya tentang penambahan wilayah baru pada peta dunia, tetapi juga tentang perubahan mendasar dalam cara manusia melihat dan memahami dunia mereka. Dorongan untuk menjelajah, mengakui ketidaktahuan, dan mencari pengetahuan baru menjadi dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dari eksplorasi awal hingga revolusi ilmiah yang mengikuti, pengakuan akan ruang kosong di peta mencerminkan semangat penjelajahan dan inovasi yang terus mendorong umat manusia maju hingga hari ini. Melalui penemuan dan penguasaan wilayah baru, Eropa modern awal menciptakan jaringan global yang mengintegrasikan masyarakat manusia dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inilah warisan dari mentalitas penaklukan dan pencarian pengetahuan yang masih terus mempengaruhi dunia kita saat ini.
Referensi:
Harari, Y. N. (2015). Sapiens. Harper.
ADVERTISEMENT