Konten dari Pengguna

Enam Koleksi Museum Nasional Bersanding 27 Gendongan Bayi dari NMP Taiwan

22 Oktober 2017 12:14 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pagar Dewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Enam Koleksi Museum Nasional Bersanding 27 Gendongan Bayi dari NMP Taiwan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Enam koleksi milik Museum Nasional bersanding dengan 27 koleksi gendongan bayi dari National Museum of Prehistory (NMP) Taiwan dalam pameran gendongan bayi bertajuk “Fertil, Barakat, Ayom”, yang berlangsung 19-29 Oktober 2017 di Museum Nasional.
ADVERTISEMENT
Keenam koleksi tersebut antara lain, pertama, Bening Aban dari Kalimantan Tengah. Gendongan ini terbuat dari rotan yang memang tumbuh subur di daerah tersebut. Masyarakat Dayak Apo Kayan yang memiliki mata pencaharian berladang biasa mengajak anaknya yang masih berusia balita saat bekerja. Agar tetap leluasa saat berladang, mereka menggendong anaknya di punggung menggunakan bening aban, dengan syarat anak tersebut sudah mampu duduk tegak. Sebutan bening aban digunakan untuk menyebut bening (gendongan) dengan hiasan manik-manik yang indah. Hiasan ini sendiri menunjukan kelas tertentu dalam masyarakat Dayak Apo Kayan.
Koleksi kedua milik Museum Nasional Indonesia dalam pameran ini adalah Hiasan Bening Aban – Long Nawan dari Kalimantan Timur. Ini merupakan hiasan bagian luar bening aban, yang terdiri dari rangkaian manik-manik, milik masyarakat Dayak Kenyah. Cara pemakaiannya seperti penggunaan tas ransel dengan posisi bayi berada di punggung ayah atau ibu yang menggendongnya.
ADVERTISEMENT
Hiasan bening aban ini memiliki makna filosofi bahwa anak merupakan anugerah Tuhan dan harus dijunjung tinggi. Ragam hias wajah manusia dan macan pada hiasan ini menunjukan bahwa pemakainya adalah bangsawan. Ragam hias manusia melambangkan roh nenek moyang sebagai pelindung, sedangkan ragam hias pakis bermakna keabadian dan kehidupan.
Ketiga, Bening dari Long Apari, Hulu Mahakam, Kalimantan Timur. Sebagaimana suku Dayak lainnya menyebut gendongan yang terbuat dari rotan dan kayu dengan istilah bening. Begitu pula dengan masyarakat Dayak Bahau. Hanya saja, bening ini polos tanpa hiasan pada sisi luarnya, yang menandakan bahwa penggunanya berasal dari kalangan rakyat biasa. Fungsi bening ini sama seperti bening-bening lainnya, yakni untuk menggendong bayi sambil tetap bisa melakukan aktivitas bekerja seperti berladang dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Keempat, Sarung dari Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai saat ini, masih banyak ditemui perempuan Sumba yang menggunakan pakaian tradisional berupa sarung yang bentuknya memanjang hingga dapat mencapai pundak. Sarung polos biasanya dipakai untuk seharai-hari, sedangkan sarung bermotif dipakai pada saat tertentu seperti upacara-upacara adat.
Selain untuk menutupi tubuhnya, sarung di Sumba juga digunakan oleh para ibu yang memiliki balita untuk menggendong anaknya. Cara menggunakannya adalah dengan memanfaatkan lengkungan sarung yang menjuntai dari pundak untuk menggendong anak di dalamnya. Cara ini menjadikan anak tetap hangat dalam pelukan ibu. Di samping itu juga memudahkan ibu untuk menyusui anaknya.
Kelima, Sarung dari Alor NTT. Sebagaimana di Sumba, perempuan Alor dalam kehidupan sehari-harinya tak dapat lepas dari penggunaan sarung. Sarung untuk pemakaian harian biasanya tidak dihias dengan motif. Berbeda dengan yang dipakai untuk perayaan, sarung yang dipakai lebih kaya ragam hiasan. Selain itu, sangat lazim dijumpai di masyarakat Nusa Tenggara seorang ibu menggengong anaknya pada lengkungan sarung yang menjuntai dari pundaknya.
ADVERTISEMENT
Koleksi keenam dari Museum Nasional dalam pameran Fertil, Barakat, Ayom adalah Ulos Sadum dari Sumatera Utara. Ulos sodum ini memiliki ciri khas kaya warna dan motif. Desain selendang yang meriah itu sesuai dengan peruntukannya yang memang dihadirkan pada perayaan yang berifat suka cita pada masyarakat Batak. Pada saat upacara pemberian nama bayi, ulos sadum digunakan sebagai alat gendong bayi. Ulos juga dipakai pada waktu orangtua memperkenalkan si anak kepada kakek neneknya untuk pertama kali.
Kegunaan ulos sadum di beberapa daerah berbeda-beda. Misalnya di Tapanuli Selatan, ulos sadum digunakan sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi bailata keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja.