Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Festival Tubaba, Peringati 100 Transmigrasi Rayakan Keberagaman
17 Desember 2017 16:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Pagar Dewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar 100 tahun lalu, tepatnya pada 1905, terjadi sebuah perjalanan yang nyaris dilupakan. Itulah saat transmigrasi penduduk dari pulau Jawa dimulai secara diam-diam, di mana Pemerintah Kolonial Belanda mengirim 155 kepala keluarga asal Bagelen (Kedu) Jawa Tengah ke Lampung. Ketika itu, di Lampung, pohon tebu tumbuh di mana-mana. Pemerintah Kolonial membutuhkan tenaga murah dari Jawa untuk menebang dan kemudian menjadikannya gula.
ADVERTISEMENT
Mulanya, suara resmi pemerintah terdengar merdu, ingin balas budi untuk rakyat. Namun tahun 1929 suara itu berubah wujud menjadi kerja paksa, 260.000 pekerja kontrak “cultuurstelsel” dibawa ke pesisir timur Sumatra. 235.000 orang di antaranya dari pulau Jawa. Lalu tahun 1949, 1950, 1979, 1984, hampir 2,5 juta jiwa penduduk Jawa pindah tempat tinggal, sampai Papua. Tahun 2000, pemerintah Indonesia terengah melaksanakan program transmigrasi.
Sebagai salah satu tujuan transmigrasi, yang dimulai sejak zaman Belanda tersebut, masyarakat Tulang Bawang Barat (Tubaba) tumbuh berkembang menjadi masyarakat heterogen.
Menilik peristiwa 100 tahun silam dan kehidupan masyarakat Tabuba saat ini, Studiohanafi bersama Pemerintah Kabupaten Tubaba menggelar Festival Tubaba dengan merujuk tema “Menuju Kota Multikultural - 100 Tahun Harapan”. Kegiatan ini akan diselenggarakan pada 20-22 Desember 2017 di Tugu Rato dan Sesat Agung-Tubaba, Lampung. Ini merupakan kali kedua Studiohanafi bersama Pemerintah Kabupaten Tubaba menggelar festival kesenian, setelah sebelumnya diadakan “Selamatan Budaya Tubaba” pada 11-12 Oktober 2016 dan “Festival Teater Tubaba” 14-16 Mei 2017 silam.
ADVERTISEMENT
“100 tahun yang lalu sudah jauh dengan politik ingatan yang berbeda, tetapi ada satu yang sama: Harapan! Harapan yang datang dari kesunyian dan air mata, saling menguatkan menerima lingkungan baru, berjumpa dengan keberagaman manusia bersama kebudayaan, mengatakan satu tanah yang dipijak tempat bumi akan dijunjung” tutur Adinda Luthvianti sebagai art program Studiohanafi.
Adapun beberapa gelaran acara dalam Festival Tubaba 2017 meliputi penampilan seni pertunjukan di antaranya pada hari pertama (20/12) di Tugu Rato akan diisi oleh penampilan gitar klasik “Buai Bulan Mrintah”, tari “Nenemo”, musik kolaborasi Ellen Begwan Jordan (Weles), Jade Flahive Gilbert (Inggris), Chuck Jordan (Amerika), Victor Hugo Hidalgo (Meksiko) bersama musisi Lawe Samagaha dan Gempur Santosa, Bandung Blues Society. Selanjutnya pada hari kedua (21/12) di Sesat Agung, akan menampilkan Marhaen Band dan Teater Tubaba
ADVERTISEMENT
Pada hari terakhir (22/12) di mulai pukul 16.00 WIB akan menampilkan seni pertunjukan untuk anak-anak oleh Elia Sunarto, kolaborasi Peter Szilagi bersama group gamelan Tubaba “Ngudi Laras” dan Lampung Rakata Jazz Club. Selain penampilan seni pertunjukan, Festival Tubaba akan diisi pameran seni rupa dari para perupa muda Tubaba.
Selanjutnya, Studiohanafi akan membuat program untuk 2018 lebih untuk menyiapkan kegiatan yang merangsang pola pikir generasi muda Tubaba memahami artinya heterogen dalam menjalankan kehidupan, lewat kesenian dan kebudayaan, seraya mengembangkan potensi daerah untuk meningkatkan pendapatan lewat kreativitas yang bersifat ekonomis, seperti memproduksi kerajinan benda pakai dengan material yang ada di wilayah Tubaba.
Namun, yang terpenting dari program yang ditawarkan Studiohanafi adalah pendidikan karakter lewat kegiatan kesenian dan kebudayaan, sebagai langkah menyiapkan sumber daya manusia menuju kota multikultural.
ADVERTISEMENT
Hampir tiga tahun Studiohanafi bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tubaba dalam menjalankan konsep “Ekologi dan Kosmologi Tubaba” berbasis kultural. Di mana ruang pertemuan, berbagi, mendengarkan, berkarya/memproduksi pengetahuan, menawarkan gagasan, telah berjalan baik.
Kehadiran Teater Tubaba, menawarkan pikiran yang terbuka, mendekatkan anak-anak dan generasi muda pada pendidikan karakter, terus berlangsung. Tarian Nenemo yang berangkat dari kosmologi Tubaba telah berproses sesuai harapan. Seni rupa mimetik telah pula dilakukan. Musik Q-tiq mempertemukan ekologi manusia dan lingkungannya. Juga sastra yang terus dikembangkan mengikuti perjalanan seni lainnya. Terus menerus melakukan evaluasi ke dalam dan ke luar, dengan tetap percaya pada proses.
Festival ini sendiri mendapat dukungan penuh dari Pemda Tubaba. Bupati Tubaba, Umar Ahmad, bercita-cita menjadikan wilayah yang dipimpinnya sebagai kota multikultural, di mana keberagaman adalah niscaya, dan merawatnya sebagai kekayaan menuju susunan kehidupan ideal, lewat kesenian dan kebudayaan, sebagai pembentukan karakter manusia, adalah ikhtiar yang visioner.
ADVERTISEMENT
Kini, Tulang Bawang Barat (Tubaba) perlahan namun pasti berada di tengah-tengah perbincangan mengenai perkembangan daerah pemekaran. Selama ini, pembangunan manusia lewat kesenian dan kebudayaan telah menjadi salah satu konsep perkembangan daerah Tubaba. Perbincangan lebih jauh dan dalam tentang Tubaba, pada akhirnya, tak bisa dilepaskan dari pemajuan kesenian dan kebudayaan di dalamnya.[]