Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Hukum Tetangga Terlihat Lebih Hijau: Sebuah Catatan Konser RHCP
18 Maret 2023 8:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Paksi Raras Alit tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah pandemi Covid-19 saya berkesempatan lagi melancong ke luar negeri. Kali ini ke negara tetangga, Singapura . Tujuannya “belanja kebudayaan” nonton konser tour Red Hot Chili Peppers. Kami serombongan lima sekawan. Saya, Wahyu, Tino, Fahmi, dan Bambang Kleyang. Nama terakhir tentu bukan nama asli, tapi nama paraban untuk mengidentifikasikan perbedaan dengan Bambang-Bambang lain yang melimpah di lingkar pergaulan kami.
ADVERTISEMENT
Rasa mbungahi langsung menyergap begitu mendarat. Maklum, hampir tiga tahun tidak bepergian ke mancanegara. Ketika menginjakkan kaki di dalam terminal bandara Changi, kami langsung terjangkit penyakit khas pendatang dari Indonesia. Inferiority Complex, minder. Warna interior, karpet yang fancy, hingga aroma toilet Bandara Changi menguarkan aroma yang intimidatif bagi hidung manusia bermental gumunan.
Airport, sebagai wajah pertama pertunjukan kedigdayaan tuan rumah bagi tamu memang selayaknya didesain mengesankan. Apalagi atraksi baru mereka, Jewel, air terjun buatan di dalam bandara yang sangat instagramable, makin membuat gumun.
Singapura serba tertata. Semua hal diatur sedemikian rupa agar bersih, rapi, tertib dan taat hukum. Laiknya negara maju (secara ekonomi diukur dari pendapat per kapita), warga Singapura terorganisasi dengan baik dalam hal menaati peraturan. Bahkan, colongan pelanggaran kecil misalnya buang sampah sembarangan, menyeberang jalan ngawur, dan merokok, jarang sekali ditemui.
ADVERTISEMENT
Barangkali hal tersebut kita anggap wajar mengingat rerata tingkat ekonomi dan pendidikan warganya lebih baik daripada negara kita tercinta. Sehingga aturan hukum lebih mudah diterapkan pada “masyarakat maju”. Setidaknya hal itulah yang sering kita serukan di Indonesia. Bahwa kesadaran akan kedisiplinan hukum bergantung pada derajat ekonomi dan pendidikan warga.
Tetapi saya punya pandangan lain setelah beberapa waktu mengelilingi Singapura. Peraturan hukum Singapura yang sangat ketat itu ternyata mampu memengaruhi semua manusia yang berada di sana.
Tidak hanya residen lokal, pendatang dari berbagai dunia ternyata juga menyepakati kedisiplinan dan kepatuhan yang sama. Para pendatang, termasuk kami, tentu mempunyai keberagaman derajat ekonomi dan pendidikan. Namun, toh manut-manut aja mematuhi peraturan.
ADVERTISEMENT
Apabila ada pendapat bahwa hukum hanya bisa diberlakukan untuk “orang pintar” dan “orang kaya”, nyatanya (mohon maaf sekali, semoga tidak dianggap merendahkan) di Singapura hukum bisa ditaati segala kalangan.
Contoh, (sekali lagi mohon maaf tidak bermaksud merendahkan) para tenaga kerja Indonesia yang kemungkinan latar belakang pendidikan dan ekonominya tidak tinggi. Serta misalnya para pekerja kasar keturunan India, yang notabene bukan golongan “makan bangku kuliah” ternyata bisa juga menjadi disiplin dan taat peraturan.
Di depan hotel kami di bilangan Lavender, di pertigaan Horned Rd dan Tyrwhitt Road, saya menyaksikan kurir ojol berhenti tepat tanpa melindas marka garis jalan, sekadar mengecek lalu lintas dari kanan dan kirinya. Padahal tiada traffic light di pertigaan tersebut, dan jalan relatif sepi, kosong bahkan.
ADVERTISEMENT
Namun, si ojol tetap saja mematuhi marka berhenti sebelum melintas. Bandingkan dengan ibu-ibu motor matic yang sein kiri nyelonong kanan di Indonesia. Di sana kami sering bersua dengan para pahlawan devisa kita yang tetap tertib menyeberang jalan atau patuh antre di stasiun MRT.
Tentu saja fakta tersebut menggugurkan tesis bahwa pendidikan merupakan faktor utama dalam mewujudkan kesadaran dan kedisiplinan. Untuk kasus Singapura ini, penerapan hukum yang ketat dengan aparat yang berintegritas jadi jawaban untuk segala perdebatan tentang tata cara menciptakan ketertiban nasional.
Bandingkan dengan kondisi di Bali, di mana hari ini sering tertangkap media sosial ada bule—yang notabene “orang pintar” dan “orang kaya”—tetap saja melanggar lalu lintas, karena mungkin melihat bahwa melanggar aturan adalah hal yang wajar yang dicontohkan oleh masyarakat sekitar. Lihat juga bagaimana aksi para pengendara mobil mewah di Jakarta yang sering main serobot dan buang tisu di jalanan.
Tertib hukum bukan urusan pendidikan dan kemakmuran. Tapi tentang kesadaran yang tertanam dalam pikiran masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hukum ketat di Singapura telah berhasil menjadi wacana (diskursus) bagi masyarakat. Perilaku disiplin telah merasuk ke wilayah pemikiran serta secara sadar maupun tidak sadar menjadi konstruksi masyarakat, mewujud sebagai norma sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, kekuasaan (pemerintah beserta perangkat hukumnya) mampu merepresi masyarakat untuk disiplin. Denda yang tinggi, sistem tilang modern dengan CCTV, reklame aturan-aturan hukum yang tersebar di segala penjuru, dan teknologi lalu lintas yang baik, telah diterapkan dengan sukses sebagai perangkat hukum yang tegas. Masyarakat patuh dan jera karena barangkali hukum di sini tidak dengan mudah dikadali dengan suap.
Dalam pembahasan yang lebih diskursif, pendisiplinan masyarakat ini mirip dengan model panoptikon yang dijabarkan filsuf Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977).
ADVERTISEMENT
Panoptikon adalah desain lampu penjara yang selalu berputar menyoroti sel-sel tahanan yang memungkinkan seorang pengawas untuk mengawasi (opticon) semua (pan) tahanan, tanpa tahanan itu bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati.
Menurut Foucault, panoptikon bukan sekadar arsitektur, namun merupakan metafora untuk pengawasan dan pendisiplinan masyarakat, untuk mengatur dan menormalisasi peraturan. Masyarakat mendisiplinkan tubuh dan pikirannya untuk patuh aturan karena merasa ada kekuasaan yang selalu mengawasi mereka, sehingga perilaku tertib menjadi hal yang normal dalam kehidupannya.
Jadi, ya hidup yang normal itu di Singapura ya hidup yang tertib. Ketertiban itu tidak lagi membutuhkan kehadiran polisi atau hansip di jalanan, karena jumlah polisi di Singapura tidak banyak. Disiplin telah menjadi kesadaran kultural masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai perbincangan di Indonesia , sering kita dengar bahwa untuk menumbuhkan kesadaran dan kedisiplinan nasional, dibutuhkan waktu yang panjang serta lintas generasi untuk mewariskan kesadaran itu ke anak cucu.
Nyatanya, kami berlima baru mendarat di Singapura seketika dapat langsung tertular kedisiplinan “panoptikon” tersebut. Kalau begitu, barangkali tidak perlu menyalahkan masyarakat Indonesia yang susah diatur atau sering dicibir kurang berpendidikan, tapi coba benahi aturannya (pemerintah beserta aparat hukumnya) dengan baik, niscaya kesadaran kita bisa lebih hijau dari tetangga.