Banjir di Sigi, Kejadian Berulang yang Sulit Ditanggulangi Pemerintah

Konten Media Partner
7 Mei 2019 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Salah satu warga yang masih berada diatas rumah yang dipenuhi lumpur di Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulteng. Foto: Istimewa
Masalah banjir yang terjadi selama ini adalah akibat dari lemahnya pengawasan hutan serta penindakan terhadap aktifitas pengrusakan hutan di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah, lebih khusus Kabupaten Sigi. Banjir besar yang menghantam tiga kecamatan di Sigi ini pada tanggal 28 April 2019, adalah kejadian berulang yang sulit di tanggulangi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah mendokumentasikan data sejak tahun 2011 hingga bulan April 2019, sudah terjadi 27 kali banjir. Rinciannya, Desa Salua 9 kali kejadian, Desa Pakuli 1 kali kejadian, Desa Bolapapu 1 kali kejadian, Desa Kapiroe 1 kali kejadian, Desa Sintuwu 1 kali kejadian, Desa Pombewe 1 kali kejadian. Selanjutnya, Desa Loru 1 kali kejadian, Desa Ngatabaru 1 kali kejadian, Desa Kaleke 1 kali kejadian, Desa Palolo 1 kali kejadian, Desa Sambo 1 kali kejadian. Selain itu, Desa Bangga 3 kali kejadian, Desa Walatana 1 kali kejadian, Desa Omu 1 kali kejadian, Desa Tuva 1 kali kejadian.
Stevandi selaku Meneger Kampanye Eksekutif Daerah WALHI Sulteng menjelaskan dari hasil temuan WALHI di lapangan baru-baru ini, banjir yang terjadi adalah akibat daya dukung lingkungan yang sudah tidak lagi mampu mengikat tanah. “Karena pohon-pohon yang besar sudah ditebang secara illegal,” ujarnya Selasa (7/5).
ADVERTISEMENT
Hasilnya setiap musim penghujan, debit air makin deras sehingga terjadi longsor dan longsor itu terikut dalam aliran air sungai.
WALHI juga telah melakukan analis menggunakan citra satelit untuk memastikan jumlah kerusakan hutan dari tahun ke tahun. Walhi mendapati ada beberapa titik bukaan dan kerusakan parah di hulu sungai dan lereng gunung yang sangat dekat dengan aliran sungai yang ada di beberapa desa yang terdampak banjir. Artinya dulu pernah ada aktifitas ilegal logging di daerah ini.
“Berdasarkan citra satelit, sejak 2013 kami menemukan beberapa titik bukaan hutan dan kerusakan parah kawasan hutan. Sehingga kuat dugaan bahwa banjir yang selama ini terjadi hingga terakhir 28 April lalu adalah hasil dari kerusakan hutan beberapa tahun lalu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya problem yang sudah berulang-ulang ini belum tertangani dengan baik, bahkan ada upaya pengabaian yang dilakukan oleh dinas terkait dalam menangani persoalan yang terjadi di Sigi.
Tahun 2013, WALHI Sulteng sudah pernah mengingatkan Pemerintah Daerah dan Dinas terkait untuk melakukan rehabilitasi hutan dan normalisasi sungai agar banjir tidak terjadi lagi. Sayangnya hingga saat ini, belum ada bentuk nyata yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang berakibat korban dan kerugian terus bertambah.
“Tabiat Pemerintah nanti sudah datang bencana baru melakukan penanganan, ini contoh buruk yang selalu saja ditampilkan oleh Pemerintah Daerah dan Dinas terkait,” kata Stevandi.