Bercocok Tanam Jadi 'Obat' Trauma Bagi Para Penyintas Bencana di Sigi

Konten Media Partner
30 Maret 2019 19:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga korban bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi memanen jagung di lokasi pengungsian di wilayah Sigi, Kelurahan Mpanau, Kecamatan Sigibiromaru, Kabupaten Sigi. Foto: PaluPoso/Jems
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga korban bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi memanen jagung di lokasi pengungsian di wilayah Sigi, Kelurahan Mpanau, Kecamatan Sigibiromaru, Kabupaten Sigi. Foto: PaluPoso/Jems
ADVERTISEMENT
Tujuh bulan pascagempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda tiga wilayah di Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala), sebagian warga terdampak bencana yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berupaya tetap produktif dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, dengan memanfaatkan lahan kosong di sekitar lokasi shelter pengungsian di Kelurahan Mpanau, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi.
Di lahan yang berdekatan dengan tenda-tenda pengungsian tersebut, sebagian warga terdampak bencana mulai menanam jagung. Ada juga yang sudah memetik hasilnya setelah empat bulan lalu bercocok tanam.
Koordinator pengungsi di Kelurahan Mpanau, Almaun Larengi, mengungkapkan bahwa dengan bercocok tanam, ia dan warga penghuni tenda pengungsi lainnya kini semakin optimis menghadapi hari-hari selanjutnya.
Hasil panen jagung tersebut bisa membantu mereka, untuk sementara, bertahan hidup di tenda-tenda pengungsian.
"Panen perdana jagung kami, sementara ini tidak untuk dipasarkan, melainkan untuk konsumsi bersama warga pengungsi yang ada di sini," ujar Almaun, saat ditemui PaluPoso, Sabtu (30/3).
Salah seorang warga panen jagung di lokasi Huntara di Kabupaten Sigi. Foto: PaluPoso/Jems
Pengungsi yang pada umumnya berprofesi sebagai petani itu, katanya, kini mulai banyak mengikuti jejak Almaun untuk menanam jagung di lahan kosong di sekitar lokasi shelter  pengungsian.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, bercocok tanam adalah salah satu obat trauma yang dianggap cukup ampuh bagi para warga di shelter pengungsian, usai hari-hari sebelumnya kerap teringat peristiwa gempa dan likuefaksi yang meluluhlantakkan harta benda mereka. Bahkan, banyak di antara mereka yang kehilangan keluarganya.
Saat ini, lanjut Almaun, ada sekitar 102 kepala keluarga yang masih bertahan di tenda pengungsian. Rumah tempat tinggal mereka rusak berat akibat gempa dan likuefaksi. Hunian sementara (Huntara) yang dibangun di sekitar shelter tenda pengungsian juga belum bisa ditempati.
Penulis: Jems (Kontributor)