Konten Media Partner

Duka Korban Gempa Palu: 6 Bulan Hidup di Tenda, Tak Dapat Huntara

1 April 2019 16:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratnia (49), warga korban likuefaksi Balaroa, Kecamatan Palu Barat, ini bersama 10 kepala keluarga lainnya sudah 6 bulan bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Foto: Dok.PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Ratnia (49), warga korban likuefaksi Balaroa, Kecamatan Palu Barat, ini bersama 10 kepala keluarga lainnya sudah 6 bulan bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Foto: Dok.PaluPoso
ADVERTISEMENT
Sebagian korban bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian di wilayah Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum mendapatkan atau diberi tempat hunian sementara (huntara) oleh pemerintah. Selain tidak mendapatkan huntara, dua bulan terakhir ini mereka juga sudah tak mendapat bantuan sembako seperti sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Salah satunya Ratnia (49), warga korban likuefaksi Balaroa, Kecamatan Palu Barat, ini bersama 10 kepala keluarga lainnya sudah 6 bulan bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore. Ia mengaku hanya bisa pasrah setelah mengetahui dirinya tidak berhak mendapatkan huntara karena dianggap hanya mengontrak rumah saat bencana terjadi.
Sesuai pengakuan Ratnia, mereka yang berhak memperoleh Huntara adalah warga yang memiliki rumah yang dibuktikan dengan surat kepemilikan tanah, namun rumah mereka hancur atau rusak berat karena bencana.
“Kalau kami pengungsi yang bertahan di tenda ini tidak mendapatkan huntara, karena dari pemerintah bilangnya begitu. Alasannya, karena kami cuma tinggal menetap di Palu tanpa memiliki rumah sendiri, hanya ngontrak,” kata Ratnia saat ditemui di shelter pengungsian Bundara STQ Palu, Senin (1/4).
ADVERTISEMENT
Ratnia awalnya sempat menyimpan asa jika nantinya bakal mendapatkan huntara. Sebab, saat pendataan, namanya beserta beberapa warga yang masih bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ, sempat dimasukkan dalam daftar oleh petugas pendataan.
“Inilah mungkin hikmah di balik bencana ini karena korban bencana difasilitasi huntara,” kata Ratnia mengenang saat namanya dimasukkan dalam pendataan.
Dua warga pengungsi korban gempa bumi Palu di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Foto: Dok.PaluPoso
Belakangan baru diketahuinya bahwa pengungsi yang berhak mendapatkan huntara adalah mereka yang sebelumnya memiliki rumah, bukan warga yang hanya mengontrak rumah.
“Semoga kami juga diberi tempat perlindungan meski hanya huntara. Karena saat ini kami belum bisa ngontrak lagi, karena harta benda kami habis saat bencana likuefaksi Balaroa,” ujarnya.
“Semoga dengan pemberian huntara tersebut, kami bisa berteduh dan memanfaatkannya untuk mencari (tempat tinggal) selama batas huntara diberikan untuk tinggal. Ke depannya kami bisa juga membeli rumah sendiri di Palu, karena mata pencarian kami sudah bagus di Palu,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ratnia menetap di Palu sejak tahun 2006 silam dan sudah memiliki KTP Palu. Ia merasa sudah nyaman tinggal di lembah Palu ini. Karena pekerjaan yang sudah lama dilakoninya memberi secercah harapan untuk dijadikan mata pencaharian sehari-hari.
“Mau pulang ke kampung juga susah, karena di sana juga pekerjaan sulit. Di Palu sudah menjadi tempat kami mencari jauh sebelum bencana melanda Palu,” kata Ratnia.
Penulis: Abidin