Kesaksian Korban Gempa Palu: Rumah Ambles, Tanah jadi Setinggi Atap

Konten Media Partner
22 Maret 2019 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Shaleh Al Amri (40), warga Balaroa yang selamat dari Likuefaksi pada bencana alam gempa bumi 28 September 2018 silam. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Shaleh Al Amri (40), warga Balaroa yang selamat dari Likuefaksi pada bencana alam gempa bumi 28 September 2018 silam. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Kali ini, PaluPoso kembali mengisahkan perjuangan satu keluarga yang berjibaku menyelamatkan diri dari pembuburan tanah atau likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
Jumat, 28 September 2018, pukul 18.02 WITA. Sebagaimana budaya ketimuran ketika menjelang Maghrib, masyarakat di Palu seperti biasa berkumpul di rumah masing-masing bersama keluarga.
Tidak terkecuali keluarga Shaleh Al Amri (40 tahun) bersama istrinya, Sarifah (39 tahun); serta dua orang anaknya, Salsabila (11 tahun) dan Ahmad Deedad (7 tahun), mereka berkumpul bersama di kediamannya di Jalan Vuring Perumnas Balaroa, Kota Palu.
Saat muazin baru melafalkan beberapa untaian kalimat azan, guncangan dahsyat terjadi berbarengan dengan panggilan ibadah bagi umat Islam tersebut. Gempa bumi magnitudo 7,4 skala richter melanda kota Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong.
Saat guncangan dahsyat itu, Shaleh Al Amri yang berprofesi sebagai tenaga honorer pada salah satu instansi pemerintah di Kabupaten Donggala sedang bersama keluarganya di dalam rumah. Sontak mereka terkejut bukan kepalang. Seluruh dinding hingga lantai bangunan rumah bergetar hebat.
ADVERTISEMENT
"Pada saat gempa saya masih di dalam wc. Istri dan anak bermain di ruang beranda. Setelah keluar, tegel di rumah saya pecah dan terangkat ke atas. Guncangan semakin kuat, tiba-tiba rumah seakan-akan ambles masuk ke dalam tanah. Kemudian saya berusaha untuk membuka pintu depan rumah. Namun tanah setinggi atap membentang seperti tembok raksasa," ujarnya.
Dia kemudian mendekati istri dan anaknya dalam keadaan sempoyongan akibat getaran gempa. Shaleh mengaku memeluk ketiga orang cahaya hatinya tersebut. Ia hanya mampu berdoa agar mereka terlepas dari bencana di senja itu.
Sekian detik kemudian, suasana semakin kritis. Tembok dinding bangunan rumahnya ambrol. Lantas,Shaleh dan keluarganya segera keluar dari rumahnya, yang setiap saat dapat mengubur mereka hidup-hidup.
ADVERTISEMENT
Ia berusaha keluar dari rumahnya dengan berpindah dari atap rumah satu ke atap lainnya yang bergerak dengan sendirinya.
Shaleh mengungkapkan saat dia dan keluarganya sudah keluar dari rumahnya, mereka belum terlepas dari mara bahaya lainnya. Karena pada saat yang bersamaan, terjadi kebakaran hebat di seputaran lokasi rumahnya. Ia melihat kobaran api dari jarak sekitar 100 meter mulai mendekati tempat mereka berpijak.
Keluarga Shaleh Al Amri (40 tahun) bersama istrinya, Sarifah (39 tahun) dan anaknya Salsabila (11 tahun). Foto: Istimewa
Melalui penerangan cahaya api tersebut, dia melihat sebuah fenomena alam yang tak lazim. Jalan yang berada tidak jauh dari atap rumah tempat dia berpijak, bergelombang ibarat ombak di lautan. Hal itu semakin menciutkan nyalinya.
Belum lagi teriakan warga minta tolong seiring seirama bersama gemertak bangunan bergerak dan tumpang tindih semakin membuatnya terpuruk.
ADVERTISEMENT
"Saya masih sempat melihat bagaimana jalan bergelombang seperti ombak dan menelan warga yang berusaha menyelamatkan diri. Hati saya bergetar. Tidak terasa persendian di kakiku seperti kehilangan kekuatan. Pada saat itu saya sudah pasrah. Karena sepertinya kecil kemungkinan untuk selamat," ujarnya.
Kobaran api semakin mendekati mereka, diputuskanya kembali bergerak berpindah dari atap ke atap. Namun mereka kehilangan arah tujuan. Karena adanya pergeseran tanah pada saat itu.
"Saat berpindah dari satu atap ke atap rumah lainnya, sangat menyulitkan kami. Karena kesalahan dalam berpijak, bisa membuat terjatuh ke bawah dan tertelan tanah yang seperti bubur. Belum lagi postur istri saya yang gembrot. Memakan waktu yang cukup lama untuk membantunya bergerak dengan keadaan ruang yang sangat terbatas," katanya.
ADVERTISEMENT
Untunglah kedua anaknya lincah dalam bergerak. Meskipun disertai tangisan, Shaleh tetap memberikan semangat dan harapan bagi keduanya agar tetap bertahan. "Saya mengatakan kepada mereka berdua. Nak, kalau kita nanti turun dari atap rumah, kita ke rumahnya Umi di Kelurahan Boyaoge ya. Nanti kita bangun rumah lagi rumah yang baru," ujarnya menirukan kalimat yang disampaikan kepada anaknya saat itu.
Setelah likuefaksi telah berakhir. Shaleh mengaku belum berani untuk turun dari atap rumah. Meskipun beberapa jam setelahnya, banyak masyarakat dengan penerangan seadanya melakukan evakuasi dan mencari korban yang selamat di Perumnas Balaroa.
"Setelah pagi dan keadaan mulai terang. Saya dan keluarga dibantu masyarakat lainnya turun dari atap rumah. Setelah itu siangnya, kami dibawa masyarakat menggunakan mobil ke rumah Umi di Kelurahan Boyaoge,” katanya.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, Shaleh memboyong keluarganya mengungsi ke rumah mertuanya di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.
"Setelah beberapa minggu mengungsi di Tolitoli, kami kembali ke Palu. Merinding saya bila terkenang kembali kejadian pada senja itu. Kami mulai dari nol lagi. Setelah seluruh harta benda lenyap ditelan bumi. Tapi Alhamdulilah, kami sekeluarga masih diselamatkan Allah," kenangnya menutup pembicaraan.
Penulis: Firman (Kontributor) Editor: Abidin