Kisah Penyintas di Palu: Selamat dari Tsunami hingga Divonis Leukemia

Konten Media Partner
14 September 2019 19:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana huntara di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sabtu (14/9). Foto: PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Suasana huntara di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sabtu (14/9). Foto: PaluPoso
ADVERTISEMENT
Terik matahari di lokasi hunian sementara (huntara) Soekarno-Hatta Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah, siang itu sudah menyengat kulit.
ADVERTISEMENT
Di salah satu bilik huntara, tampak dua wanita paruh baya sedang bercengkerama. Tidak tersirat beban hidup dari rona wajah mereka. Namun di balik senyuman penuh persahabatan mereka, tersimpan sebuah realita kehidupan yang harus mereka jalani di huntara pasca-bencana alam 28 September 2019.
Seperti yang dialami Ibu Nazria (56), meskipun dia enggan beban hidupnya diungkapkan dalam pemberitaan, namun dorongan emosional yang membuncah membuatnya tergerak untuk memulai kisahnya.
Diceritakannya pada hari Jumat menjelang magrib saat gempa bumi mengguncang Kota Palu, dia berada di dalam rumah sederhananya di seputaran Kompleks Iradat Puri, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Sementara suami dan putra sulungnya bekerja di Kabupaten Morowali, Sulteng.
Setelah guncangan pertama, dia bergegas menjemput anak bungsunya yang bekerja di perusahaan swasta berjarak 50 meter dari rumahnya. Setelah bertemu anak perempuannya itu, mereka bersama warga bergegas mencari lokasi ketinggian.
ADVERTISEMENT
Namun dari arah laut yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari tempat mereka berkumpul, dilihatnya bentangan ombak tingginya melebihi atap rumah, dengan cepat menuju daratan.
"Saya lihat ada ombak tingginya melebihi atap rumah menuju ke tempat kami berkumpul. Anak saya ingin mengambil sepeda motornya yang terparkir di depan kantornya. Tapi saya melarangnya karena ombak semakin dekat," ujarnya, Sabtu (14/9).
Tanpa berpikir panjang lagi, akhirnya dia bersama putri bungsu dan warga lainnya, berlari sekencang-kencangnya menuju bukit yang tidak jauh dari tempat tersebut.
Mereka berlari mencari lokasi tertinggi kurang lebih selama sejam dalam suasana ketakutan yang amat sangat.
Suasana hungtara di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sabtu (14/9). Foto: PaluPoso
Selama lima hari, dia dan putri bungsunya tinggal bersama penyintas lainnya di atas hamparan tanah kosong dengan beratapkan langit dan beralaskan tanah. Makan pun seadanya, istirahat secukupnya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, mereka turun untuk melihat rumahnya. Namun tsunami telah memporak-porandakan rumahnya. Akhirnya dia bersama anaknya itu kembali ke lokasi pengungsian.
Selang beberapa hari, Ibu Nazria jatuh sakit dan dilarikan ke RSUD Anutapura Palu. Akan tetapi suasana rumah sakit saat itu katanya, karut-marut. Karena bangunannya rusak berat akibat gempa bumi.
Enam hari dirawat di tenda, bahkan dipindahkan di bawah pohon, akhirnya dia meminta untuk keluar dari rumah sakit. Meskipun dokter yang menanganinya melarangnya karena masih tahap transfusi darah. "Enam kantong darah sudah habis transfusi untuk saya. Saya juga berak darah.Tapi saya memaksakan untuk pulang, " ujarnya.
Pada bulan Juli 2019, dia kembali dirawat di salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kota Palu. Dari hasil tes darah, dokter ahli penyakit dalam menyatakan bahwa dia menderita penyakit leukimia atau kanker darah.
ADVERTISEMENT
"Dokter menyarankan untuk rujuk ke rumah sakit di Makassar. Tapi saya berpikiran nantinya tidak ada keluarga yang jaga, karena suami dan anak saya bekerja di luar Kota Palu. Sementara anak saya perempuan belum lama menikah. Belum lagi terkendala biaya. Meskipun saya memiliki kartu BPJS," katanya.
Tuti Mainah (57) yang juga tinggal di huntara tersebut mengaku selama hidup di hunian sementara, merasa sangat bersyukur. Hampir genap setahun lalu, rumahnya yang berada di Kompleks Iradat Puri hilang diterjang tsunami.
"Saya syukuri semuanya, meskipun hidup seadanya. Namun semua harus dijalani," katanya.
Di balik kesabarannya, dia berkeinginan untuk menyekolahkan dua orang anaknya ke tingkat perkuliahan. Namun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka hanya mengandalkan gaji dari suaminya yang bekerja di perusahaan swasta.
ADVERTISEMENT
"Kedua anak saya sangat berkeinginan untuk kuliah. Namun keadaanlah yang memaksa mereka untuk tidak berharap terlalu banyak. Saat ini mereka berdua sudah bekerja di swasta. Putra saya kini bekerja di luar kota Palu, sementara putri saya bekerja di kota Palu," ujarnya.
Tim PaluPoso