Korban Gempa Palu Pilih Tinggal di Rumah yang Rusak daripada Huntara

Konten Media Partner
18 September 2019 19:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Syamsudin bersama anaknya (Iswanto) duduk santai di tepi Pantai Talise, Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (18/9). Foto: PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Syamsudin bersama anaknya (Iswanto) duduk santai di tepi Pantai Talise, Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (18/9). Foto: PaluPoso
ADVERTISEMENT
Suasana Teluk Palu setahun usai gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi tidak seperti dulu lagi. Kini, kawasan tersebut seperti kawasan ‘mati’ yang tak berpenghuni, terutama saat malam hari. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Sebab, jembatan yang menghubungkan Jalan Komodo ke lokasi penggaraman, putus karena bencana alam.
ADVERTISEMENT
Begitu pula sebahagian besar bangunan di permukiman penduduk di seputaran Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, yang telah ditinggalkan penghuninya, lantaran infrastuktur bangunan di sana rusak dihantam tsunami.
Sangat bertolak belakang kondisinya sebelum bencana alam 28 September 2018, tempat tersebut merupakan kawasan yang sangat ramai, baik oleh aktivitas hilir mudik kendaraan maupun jajanan kuliner beragam yang dijual di tempat tersebut.
Saat PaluPoso melintas di tempat tersebut, nampak tiga orang warga Jalan Komodo bercengkrama antara satu dan lainnya. Rona keceriaan mengiringi percakapan mereka. Sesekali canda tawa lepas dari perbincangan mereka.
Suasana terkini di lokasi eks tsunami, Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (18/9). Foto: PaluPoso
Dengan senyuman ramah, tiga warga yang telah berusia setengah abad ini, mempersilakan PaluPoso larut dalam pembicaraan mereka. Syamsudin (51) mengaku, dia bersama tujuh orang anak dan istrinya, kembali menempati rumah mereka yang dulunya dia tinggalkan karena mengungsi.
ADVERTISEMENT
Meskipun telah ada imbauan dari pemerintah untuk tidak melakukan pembangunan maupun tinggal di sepanjang 200 meter dari Teluk Palu, tapi sebagian warga tetap kembali menempati rumah mereka dengan berbagai macam alasan.
"Rumah saya hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari pinggir pantai ini. Keadaan rumah akibat gempa bumi rusak. Tapi saya dan keluarga tidak mau direlokasi ke huntara (hunian sementara), karena kami besar di rumah tersebut. Jika kami tinggal di huntara, jaraknya sangat jauh dari kota. Sementara, pekerjaan saya tidak memiliki kendaraan," ujarnya sambil menunjukkan lokasi rumahnya, Rabu (18/9).
Pria yang bekerja sebagai buruh serabutan itu mengaku penghasilannya hanya cukup untuk biaya sehari-hari mereka saja. Anak sulungnya telah tamat SMA, tiga anak lainnya yang terdiri dari dua anak gadis dan satu anak lelaki hanya lulus SMP. Sementara, tiga lainya masih balita.
ADVERTISEMENT
"Semuanya kami syukuri. Cukup tidak cukup, dicukupkan saja. Yang penting kita masih berusaha. Insyaallah ada rezeki yang Tuhan beri," ujarnya.
Syamsudin bersama anak dan keluarganya duduk santai di tepi Pantai Talise, Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (18/9). Foto: PaluPoso
Ia bercerita mengenang kejadian saat bencana alam 28 September 2018. Ia bersama anak nomor limanya, Iswanto (3), berada di lokasi Teluk Palu yang hanya berjarak 50 meter dari rumahnya.
Saat ia dan Iswanto duduk di tanggul pantai, anak yang berada dalam gendongannya itu gelisah dan menangis sejadi-jadinya. Suami dari Naharia (38) itu berusaha menenangkan sang buah hatinya tersebut. Namun tangisan Iswanto semakin menjadi.
Selang beberapa menit dia meninggalkan lokasi Teluk Palu menuju ke rumahnya, tiba-tiba gempa bumi berkekuatan 7,4 skala richter (SR) mengguncang Kota Palu yang kala itu sedang bersiap melaksanakan Festival Palu Nomoni II di seputaran Pantai Talise Kota Palu, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
"Begitu sesampainya di rumah, karena Iswanto menangis, tiba-tiba guncangan sangat keras sekali. Tanah yang saya pijak seperti terangkat. Saya berteriak memanggil enam orang anak dan istri saya yang hamil delapan bulan saat itu untuk segera keluar dari rumah. Setelah itu kami bersama berlari menuju tempat ketinggian," katanya mengenang upaya yang dia lakukan bersama anggota keluarganya saat itu.
Syamsudin bersama keluarganya duduk santai di tepi Pantai Talise, Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (18/9). Foto: PaluPoso
Setelah dua pekan berada di lokasi pengungsian di Jalan Dayo Dara, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikore, ia bersama keluarganya memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
"Dua minggu kami berada di tempat pengungsian. Setelah itu kami pulang ke rumah. Meskipun harus bersusah payah membersihkannya dari tumpukan sisa material yang dibawa tsunami," katanya.
Sebuah kenangan bagi mereka yang tak terlupakan beberapa waktu pascabencana terjadi, lanjut Syamsudin, anak ketujuhnya lahir setelah mereka selamat dari terjangan tsunami.
ADVERTISEMENT
"Anak ketujuh saya lahir beberapa minggu setelah gempa bumi. Kami memberikan nama Gempa Parwanto. Kini usianya hampir setahun," ujarnya seraya tersenyum.
Suasana terkini permukiman penduduk yang terletak di dekat Pantai Talise, Jalan Komodo, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (18/9). Foto: PaluPoso
Senada dengan Syamsudin, Yusuf (71), bercerita bagaimana dirinya selamat dari gempa. Menurut dia, kala gempa mengguncang Palu dirinya harus dipapah oleh keponakannya untuk menjauh dari Teluk Palu, karena saat itu kondisi kaki sebelah kirinya sakit.
Warga Jalan Komodo itu pun memilih kembali ke rumahnya, lantaran dirinya sudah sejak lama tinggal di kawasan itu. "Rumah saya hanya rusak ringan saja. Tidak terkena tsunami. Untunglah saya memilik banyak keluarga yang memberikan bantuan. Kini saya tinggal bersama keponakan saya," ujar kakek yang kini hidup sebatang kara tersebut.
Tim PaluPoso