Konten Media Partner

Mencicipi Lalampa 'Mak Cik Sungi', Kuliner di Sulteng yang Legendaris

3 Januari 2020 18:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cik Sungi pencetus awal jualan Lalampa di Desa Toboli yang saat ini lebih dikenal Lalampa Toboli. Foto: Intan/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Cik Sungi pencetus awal jualan Lalampa di Desa Toboli yang saat ini lebih dikenal Lalampa Toboli. Foto: Intan/PaluPoso
ADVERTISEMENT
"Ke Parigi, tidak lengkap rasanya bila tidak membeli lalampa toboli," begitu kata seorang pejalan yang singgah sebentar di suatu siang menikmati Lalampa di Warung Cik Sungi, Desa Toboli, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
Pejalan itu bernama Hanik (33). Ia mampir sebentar ke warung itu setelah melakukan perjalanan jauh dari Kabupaten Morowali Utara kurang lebih 377 kilometer menuju Desa Toboli. Di warung itu, ia duduk bersama dua orang anaknya dan istrinya.
"Kalau di Morowali Utara, kuliner ini terkenal sekali," ujarnya.
Lalampa yang Halik maksud adalah sejenis makanan yang saat ini sangat digemari warga di Provinsi Sulawesi Tengah. Kuliner ini terbuat dari beras ketan dibalut dengan daun pisang, di dalamnya terdapat abon ikan yang telah dibumbu haluskan, berbentuk lonjong dan dibakar di atas bara api.
Jika diperhatikan, kuliner ini hampir sekilas menyerupai lemper yang lebih dulu populer di Pulau Jawa karena sama-sama terbuat dari nasi ketan. Namun lemper umumnya dikukus dan isinya tidak hanya ikan tapi beragam. Bisa abon ikan, kelapa abon juga ayam. Sedangkan Lalampa khas Parigi hanya berisi ikan dan proses penyajiannya sepenuhnya dibakar terlebih dahulu sebelum disantap.
Lalampa Toboli. Foto: Intan/PaluPoso
Rasa Lalampa, beras ketan isi abon ikan di Toboli memberikan rasa tersendiri di lidah. Gurihnya beras ketan bercampur kuatnya rempah abon ikan lalu bercampur dengan daun pisang yang ikut terbakar, membuat makanan itu harum dan mengundang selera. Hal itulah yang membuat cita rasa Lalampa ini sangat menarik dibandingkan makanan sejenis lainnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin hal itu yang menjadikan Halik sering mampir membeli Lalampa hangat di Toboli. Bahkan terkadang keluarganya juga sering menitip untuk dibelikan Lalampa di kampung.
"Rasanya kalau tidak makan lalampa di tempat ini kayak ada yang kurang," ujarnya.
Halik mungkin pelanggan dari sekian banyak pelanggan Lalampa di tempat itu yang paling setia menikmati kuliner khas Kabupaten Parigi Moutong tersebut. Faktanya, ada banyak pelanggan Lalampa. Mereka tersebar di seluruh Indonesia bahkan sampai ke luar negeri, seperti Amerika.
Heni (47), pengelola Warung Lalampa Cik Sungi mengatakan demikian. Lalampa miliknya sudah terbang ke Negeri Paman Sam, sampai ke negeri tetangga seperti Malaysia. Rata-rata yang membelinya warga negara Indonesia yang sengaja membawa Lalampa tersebut untuk dinikmatinya bila berada di negeri orang.
Isi dari Lalampa Toboli. Foto: Intan/PaluPoso
Warung Lalampa Cik Sungi telah berdiri sejak tahun 1986 dan tidak pernah berpindah tempat. Di tahun itu, kawasan persimpangan Toboli tidak ada satupun yang menjual kuliner tersebut. Sehingga satu-satunya yang menjual lalampa di Toboli yakni Cik Sungi, tante Heni.
ADVERTISEMENT
"Dia pertama yang membuka jualan lalampa dan diteruskan orangtua saya sampai sekarang," ujar dia.
Dikisahkannya, di masa itu, Lalampa yang dibuat Cik Sungi masih sedikit. Masih berkisar 3 kilo beras per hari. Pembelinya pun belum sebanyak saat ini. Namun, setelah itu Cik Sungi berhenti menjual dan dilanjutkan oleh orang tua Heni, Kimyati. Dari tangan dingin ibunya, usaha tersebut berkembang pesat hingga saat ini. Peminatnya pun bertambah banyak.
"Kalau yang dulu hanya 3 kg, sekarang sudah sampai 200 kg beras per hari," kata Heni.
Bila akhir pekan, pembeli Lalampa di warung Cik Sungi makin banyak. Rata-rata Heni akan menghabiskan 250-300 kg beras dalam sehari.
Heni (jilbab pink) pengelola lalampa Cik Sungi melayani pembeli. Warung tersebut dibuka 24 jam karena banyaknya permintaan. Foto: Intan/PaluPoso
Mendengar itu, dapat disimpulkan keuntungan yang diperoleh makin besar. Namun saat ditanya terkait hal tersebut. Heni menolak untuk memberitahukan dengan alasan privasi. Ia cukup memberikan gambaran umum tentang keuntungan berjualan kuliner tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kami di sini punya sembilan karyawan. Kami punya pelanggan yang berjualan daun pisang dan sekarang alhamdulillah berkat menjual daun itu selama ini. Ia bisa umroh," ungkap Heni.
Dalam kesempatan itu PaluPoso sengaja ingin melihat dapur Lalampa Cik Sungi untuk melihat proses pembuatan Lalampa yang lebih dikenal warga sebagai Lalampa Toboli. Adalah dapur milik Cik Sungi yang buka selama 24 jam di persimpangan Jalan Trans Sulawesi.
Melihat-lihat dapur milik pembuatan lalampa milik Cik Sungi, tak ubahnya dapur sendiri. Suasananya sangat akrab seperti di rumah sendiri. Di dalamnya terdapat tempat cuci piring, tempat penampungan air, beberapa rak piring dan gelas. Hanya yang membedakannya, aktivitas di dapur itu terdapat pekerja yang sibuk dengan tugas masing-masing. Rata-rata dari pekerjanya perempuan dan sudah lama bekerja di dapur itu.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau mereka (karyawan) menghabiskan 50 kilogram beras, mereka akan digaji Rp 600 ribu perhari. Itu dibagi untuk sembilan karyawan saya," terang Heni.
Dua pasangan suami istri sedang menikmati cita rasa lalampa buatan Cik Sungi di Toboli, Parigi, Sulteng. Foto: Intan/PaluPoso
Beberapa karyawan menjelaskan proses pembuatan lalampa di dapur itu. Pertama-tama, beras ketan atau beras pulut dicuci bersih dilanjutkan dengan memasaknya hingga matang. Langkah selanjutnya, siapkan santan kelapa, lalu dimasak. Kemudian beras ketan yang telah masak dicampur dengan santan di dalam wadah kemudian diaduk hingga rata.
Langkah selanjutnya, abon ikan yang telah jadi dimasukkan ke dalam beras kentan yang telah dibentuk bulat lonjong. Lalu beras ketan yang sudah dibentuk dibalut dengan dua lapis daun pisang dan pada ujung Lalampa yang sudah jadi, diberi pengait lidi agar terlihat rapi.
ADVERTISEMENT
Sayang saat PaluPoso mendatangi dapur Lalampa Cik Sungi, pembuatan abon ikan, isi dari lalampa sudah selesai dibuat sejak pagi tadi. Menurut Heni pembuatan abon ikan lalampa miliknya diracik langsung oleh ibunya dan punya ciri khas sendiri dari penjual lalampa lainnya yang ada di Toboli. Resep itu turun-temurun.
"Sekarang penjual lalampa di Toboli makin menjamur. Tapi coba kamu rasa sendiri tidak ada yang menyamai rasa lalampa milik kami," katanya tersenyum.
Heni menolak memberitahu resep Lalampa khas warung Cik Sungi dengan alasan rahasia perusahaan.
Lalampa sebelum dibakar disimpan di keranjang dengan bungkusan daun yang masih terlihat hijau. Foto: Intan/PaluPoso
Secara umum, ia menjelaskan bumbu-bumbu apa saja yang digunakan untuk pembuatan abon ikan. Di antaranya, bawang merah, bawang putih, cabe, rica jawa, garam dan penyedap. Sedangkan ikannya, abon ikan khusus Lalampa Cik Sungi digunakan ikan ekor kuning.
ADVERTISEMENT
Dalam sesi wawancara itu Cik Sungi yang namanya diabadikan sebagai nama warung tersebut masih hidup sampai sekarang. PaluPoso berkenan mewawancarai wanita ini. Bagaimana pun, berkat idenya Lalampa Toboli banyak dikenal orang dan membantu perekonomian warga sekitar.
Cik Sungi saat ini berusia sekitar 70-an tahun. Perawakannya masih terlihat sehat bugar. Saat ditemui ia nampak ceria, hangat dan sederhana. Di usianya yang mulai sepuh, ia dihabiskan waktunya hanya untuk bercanda dengan cucu dan karyawan di warung tersebut. Sedangkan usaha tersebut kini diteruskan saudaranya.
"Saya punya mama dulu yang ajar saya buat lalampa. Dia bilang sini sa ajar kamu buat lalampa. Supaya sebelum saya mati, ada kamu punya keahlian sedikit," kenang Cik Sungi dengan logat khas masyarakat Parigi.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya apa resep lalampa milik Cik Sungi sehingga sampai saat ini laris manis? Rupanya hanya satu rahasianya. Bumbu untuk abon ikan diperbanyak dari biasanya.
"Bumbunya dikasih lebih. Misalnya bawang putih, ya ukurannya dikasi lebih, itu yang bikin orang suka," kata Cik Sungi.
Proses pembakaran Lalampa Toboli, Parigi Moutong, Sulteng. Foto: Intan/PaluPoso