Mengendalikan Kelaparan di Tengah Bencana

Konten Media Partner
11 April 2020 16:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para wanita tangguh di Desa Toaya, Kabupaten Donggala, Sulteng, membantu menanam kacang organik. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Para wanita tangguh di Desa Toaya, Kabupaten Donggala, Sulteng, membantu menanam kacang organik. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Di sebuah desa kecil, bernama Desa Toaya, Kecamatan Sindue, Sulawesi Tengah, lahir komunitas baru. Namanya Tana Sanggamu. Komunitas ini tercetus usai masa tanggap darurat bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, Sigi dan Donggala.
ADVERTISEMENT
Apa yang mendorong komunitas ini terbentuk? Seperti artinya, Tanah Sanggamu adalah tanah segenggam yang harus dijaga. Komunitas ini bergerak dalam bidang pertanian.
Koordinator Tana Sanggamu, Ade Nuriadin, Sabtu (11/4), menjelaskan, saat gempa terjadi, anak-anak desa yang mulai bekerja di kota besar termasuk dirinya, terdorong menjadi relawan di daerahnya sendiri.
Dari situ mereka mendapati berbagai persoalan. Yang paling krusial adalah hilangnya mata pencaharian warga setempat yang mayoritas petani.
"Beberapa irigasi rusak. Sehingga banyak sawah yang tidak teraliri dengan baik dan akhirnya mati," ujar Ade.
Atas dasar itu, selepas masa tanggap darurat, dibantu pemuda setempat, mereka meneruskan kerja mulia itu dengan membentuk Komunitas Tana Sanggamu yang wilayah kerjanya di bidang pertanian organik.
ADVERTISEMENT
Mengapa pertanian organik? Alasannya, karena didorong oleh kesadaran diri akan perlunya bertani secara sehat selaras dengan alam, tanpa menggunakan pupuk kimia yang dapat merusak lingkungan. Mereka yakin, peristiwa gempa, tsunami dan likuefaksi adalah jawaban bagaimana manusia tidak memperlakukan alam dengan semestinya.
Seorang pemuda di Desa Toaya, Kabupaten Donggala, Sulteng, memegang hasil panen kacang organik. Foto: Istimewa
"Maka kita mulai dengan hal kecil. Kami perkenalkan kepada petani tentang tanaman organik dan mereka semua tahu itu. Cuma kendala mereka, bertani organik tidak begitu menguntungkan dan rentang waktunya juga lama. Sehingga pilihan satu-satunya, petani memakai pupuk kimia agar hasil pertanian lebih optimal," kata Ade.
Namun, masyarakat tetap antusias mengikuti pertemuan-pertemuan komunitas itu. Bahkan, saat penanaman di ladang, seorang warga mau meminjamkan ladangnya untuk ditanami tanaman organik. Tanaman perdana komunitas itu diawali dengan kacang organik.
ADVERTISEMENT
Lalu, persoalan muncul. Kacang organik sukses tumbuh sumbur, namun terkendala dengan pemasaran.
Akhirnya, komunitas itu berinisiatif kembali mencari cara agar niat mulia itu tetap berjalan dengan menginisiasi menanam tanaman organik dalam skala kecil.
"Maka munculah ide kebun organik di halaman rumah. Harapannya, bagaimana dapur masyarakat tetap terisi. Itu dulu yang penting," ujar dia.
Saat ini, untuk menjalankan misi itu, pihaknya sedang melakukan riset kecil-kecilan. Sebab, komunitas itu sadar, ilmu pertanian yang mereka miliki sangat minim karena banyak dari mereka tidak memiliki latar belakang ilmu pertanian.
Sudah Saatnya Menggalakan Urban Farming
Dua pemuda di Desa Toaya, Donggala, menanam kacang organik. Foto: Istimewa
Kali ini, berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari Desa Toaya, ke Kota Montreal, Kanada. Seorang dosen Universitas Tadulako (Untad), Palu, Sulteng, Dr. Stepanus W. Bo'do mendapat kiriman foto dari keluarga istrinya di Kota Montreal. Sebuah potret makanan di waktu siang. Berupa nasi, bakso daging tanpa sayuran.
ADVERTISEMENT
Suplai sayuran, buah, ikan, beras dan makanan kemasan, umumnya dari China, Thailand dan Vietnam, namun terganggu akibat pandemi COVID-19.
Akhirnya, masyarakat kembali menengok pangan lokalnya. Jagung, gandum, daging, susu dan telur yang tentu saja terbatas. Penduduk di kota itu sudah lama dimanja produk impor.
Tahun 2019, Stepanus berhasil menyelesaikan promosi doktornya di bidang Ilmu Sosial dengan mengakat judul penelitian 'Media Sosial, Ruang Publik dan Diskusi Pergerakan oleh Urban Farming di Indonesia'
Dalam penelitiannya itu, ia menjelaskan secara rinci bagaimana media sosial seperti Twitter, Facebook, Line berpengaruh besar melahirkan aktivis-aktivis digital yang menggerakan masyarakat kota, menggerakan Urban Farming yang diberi nama Indonesia Berkebun dengan pendirinya Ridwan Kamil pada tahun 2010 .
ADVERTISEMENT
Semakin populernya grup itu menunjukkan betapa masyarakat Indonesia sebenarnya tidak bisa lepas dari Urban Farming.
Urban Farming dianggap sebagai solusi mempromosikan kesehatan masyarakat, lingkungan dan pembangunan ekonomi mandiri dengan memanfaatkan lahan kosong di perkotaan, mendekatkan dapur dengan pasar dan mendorong orang untuk menanam makanannya sendiri.
Harapannya, tidak akan ada rakyat yang kelaparan. Apalagi menghadapi pendemi virus Corona di tahun 2020 ini. Yang saat ini mulai terasa mempersulit pergerakan ekonomi masyarakat. Menutup dan membatasi akses-akses penghidupan warga.
"Pada akhirnya kita perlu menengok lahan di rumah. Seperti apa yang dilakukan warga Amerika saat perang dunia II. Saat itu terjadi kelaparan. Maka Pemerintah mewajibkan masyarakatnya bertani di lahan kosong mereka, bahkan sampai di atap-atap rumah," ujar Step.
Koordinator Tana Sanggamu, Ade Nuriadin berfoto di ladang kebun organik di Desa Toaya, Kabupaten Donggala, Sulteng. Foto: istimewa
Hal serupa juga dialami Negara Kuba. Ketika tiba-tiba perdagangan terputus karena blok Uni Soviet dan embargo AS. Tahun 1989 negara itu mengalami krisis ekonomi yang parah. Kelaparan meluas. Maka pemerintah menanggapinya dengan pertanian organik dengan berkebun secara gerilya. Sekarang Kota Havana menjadi model teladan penyediaan pangan mandiri.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan seperti Ade Nuriadin dan kawan-kawannya di Desa Toaya?
Menurut Stepanus, gerakan itu patut diapresiasi sebagai kegiatan positif untuk mandiri pangan.
Selain itu, studi terbaru menunjukkan kurang dari setengah penduduk desa masih mengonsumsi pangan lokal. Sisanya, adalah makanan kemasan. Ketersediaan makanan jenis itu karena akses yang mudah. Sehingga makin menggerus pangan lokal.
"Sarapan bukan lagi ubi bakar, pisang rebus. Tetapi lauk diganti menjadi mi instan," kata Stepanus.
Pangan kesukaan anak bukan lagi kacang. Tetapi, Chiki-chiki, sosis yang saban hari dilihat di televisi. Itu yang lebih populer. Mereka menjadi asing dengan pangan lokal.
Untuk ketersediaan di kota, sudah ada Urban Farming. Tetapi belum menjadi program yang massif. Hasilnya juga belum signifikan.
ADVERTISEMENT
Untuk di wilayah pedesaan. Soal akses relatif lebih mudah. Yang sulit adalah mengubah pola konsumsi yang kadang berubah dan menyingkirkan pangan lokal dari meja makan.
"Karena itu, berkaca pada pengalaman pandemik COVID-19 di Kanada. Saya mengajak kita semua kembali ke produk dan konsumsi pangan lokal. Untuk di kota, mari galakkan Urban Farming. Untuk yang di desa, ayo jauhkan makanan kemasan dari jangkauan anak-anak," kata Step.