Nelayan Keluhkan Perizinan Rumit, Ini Kata Kadis Kelautan dan Perikanan Sulteng

Konten Media Partner
15 Juli 2022 16:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi nelayan. Foto: Moh Fajri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nelayan. Foto: Moh Fajri/kumparan
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah, Arif Latjuba angkat bicara terkait rumitnya kepengurusan izin seperti yang dikeluhkan para nelayan daerah setempat.
ADVERTISEMENT
Nelayan mengeluhkan rumitnya birokrasi perizinan di Perikanan dan Kelautan itu mulai dari pengurusan perizinan kapal, jarak penangkapan, hingga memperoleh BBM.
Misalnya, dalam kewenangan ruang laut, Pemerintah Provinsi diberi kewenangan mengelolanya hingga 12 mil. Padahal, nelayan saat ini pada umumnya melaut di atas 12 mil, terutama kapal penangkap tuna.
“Kewenangan dalam hal pengelolaan ruang laut itu provinsi hanya menangani jarak tangkap nelayan dari titik 0-12 mil laut. Di atas 12 mil laut itu sudah kewenangan pusat,” kata Arif Latjuba dihubungi, Jumat, 15 Juli 2022.
Begitupula dalam segi bobot kapal nelayan, pemerintah provinsi diberikan kewenangan mengelolanya hingga bobot kapal 30 gross ton (GT). Sedangkan di atas 30 GT, sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
ADVERTISEMENT
Menurut Arif, dari dua poin kewenangan tersebut malah implementasinya di lapangan menimbulkan permasalahan dan seolah-olah membatasi nelayan untuk menggarap potensi perikanan yang dikandung oleh bumi pertiwi. Sebab, kapal-kapal nelayan yang bertonase mulai 5 GT hingga 30 GT, sudah beroperasi di luar batas jarak 12 mil.
Artinya, dari sisi bobot kapal masih menjadi kewenangan provinsi tapi dari sisi jarak sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat, sehingga nelayan harus berurusan lagi dengan kementerian untuk pengurusan izinnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) Arif Latjuba. Foto: PaluPoso
“Di atas 12 mil laut, mau kapal kecil mau kapal apa itu, sudah kewenangan pusat. Apakah dengan bobot kapal yang ada dengan jarak tangkap di atas 12 mil tadi itu harus minta perizinan lagi ke pusat. Nah, di sini masalahnya kepada nelayan kita yang ada saat ini,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, jumlah kapal nelayan di Donggala saat ini sekitar 600-an unit dengan rata-rata bobot kapal 30 GT. Dan, jarak penangkapannya juga rata-rata sudah di atas 12 mil. Sehingga, mereka terkendala pada pembuatan izin sarana, area tangkap, serta alat bantu penangkapan.
“Tiga poin ini harus dipenuhi oleh nelayan,” katanya.
Sedangkan untuk mendapatkan izin sarana saja lanjutnya, kapal harus memiliki sertifikasi kelayakan kapal, buku kapal, izin penangkapan, dan izin usaha berbasis risiko melalui Sistem Online Single Submission (OSS). Selain itu, bila ingin melaut harus mengantongi Sertifikat Layak Operasi (SLO) dan Surat Persetujuan Berlayar (SPBB).
Belum lagi untuk pasokan BBM, untuk mendapatkannya, nelayan harus punya kelengkapan syarat tadi. Lantas, bila nelayan beroperasi di atas jarak 12 mil walau bobot kapal maksimal 30 GT, lagi-lagi nelayan harus kembali berurusan dengan pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Olehnya, Arif mengusulkan kewenangan pengurusan izin beroperasi di atas jarak 12 mil, diberikan ke pemerintah provinsi untuk mempermudah ratusan kapal nelayan yang selama ini terkendala persoalan perizinan.
“Bisa tidak bergeser kewenangan pengurusan izin itu lebih dari 12 mil diterbitkan provinsi. Atau pusat memberikan kewenangan kepada daerah bagi kapal-kapal yang menangkap. Misalnya, batasan 35 atau 45 GT itu diberikan kewenangan atau perpanjangan tangan pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin tersebut,” katanya.
“Ini saran dan solusinya seperti itu. Tujuannya agar nelayan juga tidak harus ke pusat izinnya dan bisa di daerah saja,” tambahnya. *(AR)