Konten Media Partner

Sejarah Buaya di Palu dan Kisah Warga Jerman yang Bunuh Buaya dengan Peluru Emas

28 Februari 2020 18:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejarah Buaya di Palu dan Kisah Warga Jerman yang Bunuh Buaya dengan Peluru Emas
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Buaya yang hidup di Sungai Palu, Sulawesi Tengah, menyimpan banyak cerita sejarah. Salah satu sejarah yang kini terekam di memori warga Suku Kaili, penduduk asli Lembah Palu, Sulawesi Tengah, adalah pembunuhan seekor buaya ganas dan berukuran besar yang menerkam seorang penambak pasir di Sungai Palu.
ADVERTISEMENT
Tossi Fischer adalah si penembak buaya itu. Ia dan ayahnya, John Fischer, adalah warga negara Jerman. Mereka membunuh buaya itu dengan peluru emas di Kampung Baru, tepatnya di Jembatan III Palu sekitar tahun 1957.
Buaya besar yang dibunuh itu kemudian dibelah dan didapati potongan-potongan manusia di dalam isi perutnya.
Setelah kejadian pertama itu, warga kemudian menghentikan aktivitasnya di Sungai Palu.
Setelah ditembak mati oleh Tossi Fischer, bagian perut buaya kemudian dibelah dan didapati potongan-potongan manusia. Foto: Dok. Komunitas Historia Sulteng
“Semenjak itu sampai saat ini cerita buaya makan orang itu adalah terakhir dan hingga sekarang tidak pernah lagi ada cerita buaya makan manusia lagi,” kata Koordinator Komunikasi Historia Sulteng, Moh Herianto kepada PaluPoso, Jumat (28/2).
Tahun 1957 hingga 1960, katanya, populasi buaya di Sungai Palu perlahan populasinya makin berkurang. Bahkan, sama sekali punah. Sebab, buaya kala itu diburu dan dikonsumsi oleh sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kemunculan buaya kembali di Sungai Palu sejak tahun 2000-an pasca-banjir yang terjadi di Kabupaten Sigi.
Manuskrip Buaya di Tanah Kaili
Manuskrip yang diawali dengan tulisan Syahadat dalam aksara Arab Gundul ini, merupakan manuskrip yang berada di Kabupaten Sigi. Uniknya, dalam manuskrip tersebut tergambar jelas dua ekor buaya diantara hewan lainnya.
Manuskrip tersebut merupakan milik keluarga kerajaan Sigi yang berada di Desa Bora. Hal tersebut mengindikasikan bahwa buaya menjadi salah satu hewan yang disakralkan oleh Suku Kaili sejak dahulu kala.
Untuk diketahui, buaya di Sungai Palu digunakan sebagai perlambang kebesaran seorang bangsawan. Hal tersebut dilihat dari bentuk handle (gagang) Guma yang dimiliki seorang bangsawan Kaili. Senjata khas Suku Kaili tersebut dikenal sebagai Guma Vo’o Kapuna (kepala buaya).
Guma Vo’o Kapuna yang berarti Kepala Buaya. Guma merupakan senjata khas suku Kaili. Foto: Komunitas Historia Sulteng
Guma Vo'o Kapuna adalah Guma (Penai) khusus yang dimiliki raja. Vo'o Kapuna berarti kepala buaya. Nama tersebut diberikan karena bentuk gagangnya yang mirip dengan kepala buaya. Benda tersebut merupakan lambang kebesaran yang diturunkan secara turun-temurun kepada pemegang takhta kerajaan
ADVERTISEMENT
Bahkan pada zaman dulu, warga Suku Kaili di Kota Palu percaya jika buaya adalah salah satu penolak bala atau sial.