Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sejarah Buaya di Palu dan Kisah Warga Jerman yang Bunuh Buaya dengan Peluru Emas
28 Februari 2020 18:01 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tossi Fischer adalah si penembak buaya itu. Ia dan ayahnya, John Fischer, adalah warga negara Jerman. Mereka membunuh buaya itu dengan peluru emas di Kampung Baru, tepatnya di Jembatan III Palu sekitar tahun 1957.
Buaya besar yang dibunuh itu kemudian dibelah dan didapati potongan-potongan manusia di dalam isi perutnya.
Setelah kejadian pertama itu, warga kemudian menghentikan aktivitasnya di Sungai Palu.
“Semenjak itu sampai saat ini cerita buaya makan orang itu adalah terakhir dan hingga sekarang tidak pernah lagi ada cerita buaya makan manusia lagi,” kata Koordinator Komunikasi Historia Sulteng, Moh Herianto kepada PaluPoso, Jumat (28/2).
Tahun 1957 hingga 1960, katanya, populasi buaya di Sungai Palu perlahan populasinya makin berkurang. Bahkan, sama sekali punah. Sebab, buaya kala itu diburu dan dikonsumsi oleh sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kemunculan buaya kembali di Sungai Palu sejak tahun 2000-an pasca-banjir yang terjadi di Kabupaten Sigi.
Manuskrip Buaya di Tanah Kaili
Manuskrip yang diawali dengan tulisan Syahadat dalam aksara Arab Gundul ini, merupakan manuskrip yang berada di Kabupaten Sigi. Uniknya, dalam manuskrip tersebut tergambar jelas dua ekor buaya diantara hewan lainnya.
Manuskrip tersebut merupakan milik keluarga kerajaan Sigi yang berada di Desa Bora. Hal tersebut mengindikasikan bahwa buaya menjadi salah satu hewan yang disakralkan oleh Suku Kaili sejak dahulu kala.
Untuk diketahui, buaya di Sungai Palu digunakan sebagai perlambang kebesaran seorang bangsawan. Hal tersebut dilihat dari bentuk handle (gagang) Guma yang dimiliki seorang bangsawan Kaili. Senjata khas Suku Kaili tersebut dikenal sebagai Guma Vo’o Kapuna (kepala buaya).
Guma Vo'o Kapuna adalah Guma (Penai) khusus yang dimiliki raja. Vo'o Kapuna berarti kepala buaya. Nama tersebut diberikan karena bentuk gagangnya yang mirip dengan kepala buaya. Benda tersebut merupakan lambang kebesaran yang diturunkan secara turun-temurun kepada pemegang takhta kerajaan
ADVERTISEMENT
Bahkan pada zaman dulu, warga Suku Kaili di Kota Palu percaya jika buaya adalah salah satu penolak bala atau sial.