Situasi Pesisir Pantai di Palu usai Diterjang Tsunami

Konten Media Partner
19 Februari 2019 17:21 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu lokasi warga Kampung Lere, yang kini digenangi air laut setelah dihantam tsunami pada 28 September 2018 lalu. Foto: Fikran/PaluPoso (Selasa/19/2/2019).
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu lokasi warga Kampung Lere, yang kini digenangi air laut setelah dihantam tsunami pada 28 September 2018 lalu. Foto: Fikran/PaluPoso (Selasa/19/2/2019).
ADVERTISEMENT
Perubahan kontur pantai sepanjang pesisir laut di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, membuat warga yang masih berharap bisa kembali menempati lahannya setelah dilanda tsunami pada 28 September 2018, sulit terwujud.
ADVERTISEMENT
Selain karena sebagian wilayah ini masuk zona merah sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah, yakni antara 100 hingga 200 meter dari bibir pantai, wilayah ini juga mengalami penurunan permukaan tanah atau downlift.
Sesuai pantauan PaluPoso, penurunan permukaan tanah di wilayah Kampung Lere (sebutan warga setempat untuk Kelurahan Lere) membentang sepanjang kurang lebih 200 meter. Tepatnya mulai dari Jembatan Palu IV hingga hampir mencapai titik lokasi Masjid Terapung.
Akibatnya, Kampung Lere yang merupakan salah satu wilayah terdampak tsunami cukup parah di Palu ini akan digenangi air saat sore hari.
Salah satu lokasi warga Kampung Lere, yang kini digenangi air laut setelah dihantam tsunami pada 28 September 2018 lalu. Foto: Fikran/PaluPoso (Selasa/19/2/2019).
Aco (43 tahun), warga Kampung Lere, mengatakan air laut menggenangi Kampung Lere hingga ke Jalan Tembang setiap sore hari. Jika ditaksir, jauhnya dari pinggir pantai hingga Jalan Tembang kurang lebih 500 meter.
ADVERTISEMENT
Aco yang mengaku rumahnya ikut tersapu tsunami menjelaskan genangan air laut di Kampung Lere akan lebih tinggi jika sedang pasang. “Jadi laut semua lokasi pemukiman kalau kita lihat mulai sekitar pukul 17.00 WITA, sampai di ujung kampung itu terendam,” ujarnya, Selasa (19/2).
Pria yang berprofesi nelayan ini hanya bisa pasrah melihat perubahan alam tersebut. Ia berharap kebijakan pemerintah mengenai hunian yang bersifat permanen bisa segera ditempatinya. Karena dia bersama puluhan warga Kampung Lere lainnya, saat ini masih menempati tenda-tenda pengungsian di sekitar Jalan Diponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat .
Suasana Kampung Lere, tepatnya di Pantai Tamanria yang sering digenangi air laut pada sore harinya setelah dihantam tsunami pada 28 September 2018 lalu. Foto: Amar Burase/PaluPoso (Selasa/19/2/2019).
Lokasi lainnya yang mengalami downlift di sepanjang Pantai Talise adalah di sekitar Jalan Rajamoili, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur. Lokasi ini tak jauh dari Anjungan Nusantara atau berhadapan langsung dengan Kantor Dirlantas Polda Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
Lokasi downlift di Jalan Rajamoili ini, sebenarnya tak jauh dari Kampung Lere karena hanya dibatasi oleh Jembatan Palu IV (jembatan kuning). Diketahui, usai gempa bumi dan tsunami melanda Kota Palu, Jembatan IV sebagai penghubung antara kedua lokasi ini ambruk dihantam tsunami.
Sehingga, untuk menuju Jalan Rajamoili, terlebih dahulu memutar ke arah Jalan Diponegoro melewati Jembatan Palu III di Jalan Ki Madja.
Hasnur (35), yang ditemui di sekitar downlift di Jalan Rajamoili mengatakan tempat tersebut sebelumnya merupakan lokasi favorit bagi warga Palu maupun pendatang dari luar kota Palu melepas penat setelah beraktivitas seharian.
Sebab, di lokasi ini telah dibangun Soki-soki (sebutan warga setempat untuk pondok kecil) yang di sekitarnya ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Lokasi ini juga sering digunakan sebagai tempat pameran produk kuliner Kota Palu. Tak jauh dari lokasi ini, juga ada tempat bermain anak-anak yang mulai ramai jelang sore hari.
Lokasi yang digenangi air laut pada saat air pasang tiba pada sore harinya, di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Dulunya lokasi ini merupakan jalan utama menuju ke wilayah Donggala. Foto: Amar Burase/PaluPoso (Selasa/19/2/2019)
Tapi kini, di sekitar lokasi itu telah berubah. Pantai yang sebelumnya selalu ramai dikunjungi warga, kini jadi sunyi. Hanya terlihat beberapa warga sekitar yang memancing di sekitar lokasi downlift pada pagi hingga siang hari.
ADVERTISEMENT
Menanggapi fenomena alam tersebut, Akademis Universitas Tadulako (Untad), Abdulah, menjelaskan penurunan permukaan tanah atau downlift itu ketika terjadi gempa besar, seperti yang melanda Kota Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018. Jika terjadi penurunan permukaan tanah bukan karena gempa, maka itu disebut tanah amblas atau subsidence.
“Selain terjadi downlift, juga akan terjadi kenaikan permukaan tanah atau uplift jika terjadi gempa besar,” ujarnya, Selasa (19/2).
Menurut mantan Dekan FMIPA Untad ini, sebenarnya penurunan permukaan tanah pascagempa berkekuatan 7,4 magnitudo di Palu dan sekitarnya, terjadi di beberapa lokasi. Di antaranya, Lere, Silae, Pantai Mamboro, Lompio di wilayah Pantai Barat, serta di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala.
Downlift ini bukan hanya terjadi di wilayah pantai melainkan juga terjadi di wilayah yang jauh dari pantai,” ujarnya. Untuk mengukur luas area downlift, bisa dilihat dari luasan wilayah yang digenangi air ketika laut pasang.
ADVERTISEMENT
Penulis: Abidin/Amar Burase