Mlampah-Mlampah ing Ngayogyakarta

Raka Pamungkas
Diplomat muda yang ingin mapan, bebas dan bahagia - Sesdilu Angkatan 75 aka SA75ET
Konten dari Pengguna
19 November 2023 10:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raka Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Raka, kita sudah di lobi hotel ya,” pesan WhatsApp dari seorang teman pagi itu. Saya pun langsung mempercepat gerakan saya untuk mengikat sepasang sepatu sneakers dan bergegas menuju lift lantai 5 untuk turun ke lobi. Kami berempat hendak berjalan kaki mengelilingi Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Kunjungan ke Yogyakarta kali ini bukan kebetulan. Sejak Agustus 2023 lalu, saya mengikuti Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) Angkatan 75. Salah satu diklat yang menjadi syarat agar gelar diplomatik para diplomat Indonesia bisa terus naik.
Selama seminggu di Yogyakarta, saya bersama 22 orang peserta lainnya memperoleh tugas khusus. Kita diwajibkan menyusun proyek kerja sama luar negeri dengan berbagai pihak di Yogyakarta.
Sudah 3 malam ini kami menginap di salah satu hotel di kawasan Pakualaman. Lokasinya cukup strategis. Meskipun sering macet saat rush hour, sejumlah daya tarik Yogyakarta bisa dijangkau dengan langkah kaki dari hotel ini. Belum lagi, tujuan-tujuan kuliner khas Kota Pelajar ini, seperti nasi gudeg, sate klathak dan ayam goreng kampung dengan bumbu bacem.
ADVERTISEMENT
Pagi itu, kami berempat memang sepakat untuk tidak naik mobil yang rapi disediakan oleh UPT Sesdilu. Kita ingin puas menghirup udara segar tanpa polusi. Suatu kemewahan yang tidak kita peroleh di Jakarta. Ayo ikuti perjalanan kami!
Penulis memasuki kawasan Malioboro
Pertama-tama kita masuk ke kawasan Malioboro. Suatu kawasan yang sudah dibangun sejak masa kolonial ratusan tahun lalu. Asal Namanya dari Marlborough, seorang kolonial Inggris yang sempat tinggal di Yogyakarta tahun 1811-1816.
Di sini, ekonomi rakyat bergerak dengan sangat cepat. Mulai dari jajanan pasar, pakaian hingga industri perbankan ada di kawasan ini.
Namun, ketika kami menyusuri jalan panjang dan lorong-lorong Malioboro, suasananya belum terlalu ramai. “Mungkin memang karena masih pagi. Lagipula, kawasan ini memang sempat direvitalisasi oleh Pemda DIY,” ujar seorang teman.
Suasana Malioboro di Pagi Hari
Meskipun demikian, Malioboro tidak kehilangan daya pikatnya bagi saya sejak jaman kuliah 15 tahun lalu. Malioboro justru semakin hari semakin cantik.
ADVERTISEMENT
Langkah kaki kami lanjutkan tanpa henti. Mulai dari Kantor Gubernur DIY, Kampung Ketandan, GPiB Marga Mulya, Museum Vredeburg, Pasar Beringharjo, hingga Gedung Agung Yogyakarta. Seluruhnya tampak indah khas Yogyakarta dibalut dengan langit cerah pagi itu.
Foto Bersama di depan Gedung Agung Yogyakarta
Dari Titik Nol Kilometer, kami sebenarnya bermaksud langsung berkunjung ke Museum Sonobudoyo. Namun, ternyata masih tutup. “Nanti bukanya jam 8 mas. Sebentar lagi. Mending keliling Alun-Alun Lor dulu saja,” saran penjaga museum kepada saya.
Tanpa berpikir panjang. Kami ikuti saran penjaga itu.
Pintu Samping Museum Sonobudoyo
Alun-Alun Lor adalah lapangan dengan luas 150 x 150 meter persegi. Lokasinya tepat di sisi utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan dua pohon beringin kurung terletak di tengah-tengahnya.
Sejak revitalisasi tahun 2020, Alun-Alun Lor semakin rapi dengan pagar yang mengelilinginya. Saat ini, pasir berkualitas tinggi sudah digunakan untuk menyelimuti seluruh lahannya.
ADVERTISEMENT
Persis di dekat situ, ada warung Soto Bathok Sor Ringin alias di bawah Pohon Beringin. Kami berhenti sejenak untuk menikmati sarapan Soto Ayam khas Yogyakarta yang menggunakan batok kelapa sebagai wadahnya.
Soto Bathok Sor Ringin
Rasanya gurih dan segar, apalagi ditemani dengan teh tawar panas dan suasana pagi area Kraton. Sempurna!
Kami pun lanjutkan langkah kaki menuju Museum Sonobudoyo. Di museum ini, kami sengaja meminta pendampingan jasa tour guide untuk lebih mengenal berbagai koleksinya.
Koleksi Busana Adat Tradisional Pria Jawa
Museum Sonobudoyo memiliki koleksi yang beragam dan berharga. Mulai dari wayang kulit, keris, topeng, hingga batik. Salah satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah wayang kulit yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Bali, Madura, dan Lombok.
Koleksi Keris di Museum Sonobudoyo
Namun, yang menarik perhatian saya adalah banyak anak-anak muda yang berada di museum ini. Bagi saya, ini pemandangan janggal. Kebanyakan anak-anak muda sekarang biasanya tidak nongkrong di museum tetapi di kafe atau mall sembari membuat konten video Tik-Tok. Ini sepenuhnya opini pribadi saya tanpa mewakili institusi apapun hehehe
ADVERTISEMENT
“Kebetulan kami baru saja membangun gedung baru di belakang. Ada wahana interaktif yang berbasis digital dan 3 dimensi,” jawab sang tour guide atas pertanyaan saya. “Bahkan, kita melayani sewa baju adat tradisional Yogyakarta beserta fotografernya. Berbagai workshop juga diselenggarakan di museum ini, termasuk membatik,” tambahnya.
Salah satu wahana interaktif di Museum Sonobudoyo untuk menonton sejarah masa lalu
Ini terobosan luar biasa dari Museum Sonobudoyo. Belajar sejarah dan budaya memang tidak lagi membosankan. Semuanya bisa dikemas dengan sangat menarik, bahkan untuk anak-anak muda masa kini.
Setelah menghabiskan 2 jam di Museum Sonobudoyo, kami beranjak menuju arah Kraton. Destinasi terakhir kami adalah Gadri Resto. Kami sekedar ingin menghindari terik matahari yang semakin tinggi di atas kepala dengan menikmati kudapan siang dan suasana ndalem Kraton Ngayogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Eh Raka, ini kita masuk ke rumah siapa?” tanya seorang teman lain yang penasaran. Gadri Resto memang bukan sembarang restoran. Ini adalah kediaman keluarga Pangeran Joyokusumo yang merupakan adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kediaman ini disulap menjadi restoran dengan suasana rumah asli bangsawan Kraton Ngayogyakarta.
Di sini kita bisa merasakan sensasi makan di dalam istana dengan pemandangan yang indah dan suasana yang tenang. Kami secara khusus memesan Bir Jawa dengan es. Bir Jawa adalah minuman khas Yogyakarta yang terbuat dari beras, gula merah, dan ragi. Rasanya manis dan menyegarkan, cocok untuk menghilangkan dahaga di siang hari.
Kudapan siang di Gadri Resto
Selain itu, kami juga memesan Telo Ijo, Pisang Bakar dan Arseng. Kabarnya, semua menu yang ada di restoran ini adalah favorit para bangsawan Kraton. Kami pun merasa disambut bak para bupati yang sedang mengantri menghadap Sri Sultan di masa lampau.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan kaki kembali ke hotel, saya membuka aplikasi Spotify dan memutar lagu Kla Project berjudul Yogyakarta lewat airpods.
"Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu."
"Nikmati bersama suasana Jogja."
Rasanya damai, tenang dan romantis.
Salah satu lorong jalan menuju hotel di Pakualaman
Demikian perjalanan kami berempat keliling Yogyakarata alias mlampah-mlampah ing Ngayogyakarta.