Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Air untuk Palestina
email: [email protected]
9 Februari 2020 11:46 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Satu dari sekian alasan yang membuat Palestina menolak proposal perdamaian Amerika Serikat adalah permintaan bagi Palestina untuk menyerahkan Tepi Barat dan keseluruhan Lembah Jordan pada Israel. Liga Arab juga menyuarakan ketidaksetujuannya pada usulan yang disebut sebagai “kesepakatan abad ini” tersebut.
ADVERTISEMENT
Penempatan ibukota Israel di Jerusalem memang sebuah masalah besar bagi Palestina, namun dua wilayah Lembah Jordan dan Tepi Barat adalah wilayah yang kaya air yang juga tidak kalah penting bagi Palestina.
Akses pada air menjadi masalah krusial dan konflik panjang Palestina-Israel, atau Israel dan tetangga lainnya, Suriah dan Yordania. Penguasaan atas Lembah Jordan adalah langkah terpenting untuk menguasai kawasan. Daerah aliran air sungai Jordan adalah tepian sungai paling berkonflik di dunia, dari Danau Galilea di utara, Laut Mati di tengah hingga Laut Merah di ujung selatan. Di Sungai Jordan-lah Jesus Sang Juru Selamat yang membawa perdamaian dunia diurap oleh Yohanes Sang Pembaptis.
Seperti dikutip oleh Foreign Policy, Perdana Mentri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, “dalam kesepakatan pedamaian manapun nantinya, pemintaan kami harus menyertakan keberadaan kami di sini (Lembah Jordan dan Tepi Barat) untuk keamanan Israel dan demi keamanan bersama.” Netanyahu juga menjanjikan bahwa 10 September nanti Israel akan menganeksasi Lembah Jordan jika dia memenangkan pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Dengan janji penguasaan akan Lembah Jordan, Benjamin Netanyahu sedang berusaha meningkatkan elektabilitasnya yang sempat diguncang isu korupsi. Palestina jelas menolak memberikannya dengan cara baik-baik dan menerima kemungkinan serangan mematikan untuk mempertahankan Lembah Jordan dan Tepi Barat, atau untuk sekedar bertahan hidup di wilayah tersebut.
“Yang mengejutkan saya adalah bahwa rencana itu tidak memiliki konteks sejarah. Tidak ada pengakuan dari masa lalu yang berurusan dengan air atau pengakuan atas langkah-langkah yang telah ditetapkan untuk memungkinkan pembagian air, atau pengakuan hak air, “kata Erika Weinthal, seorang pakar politik dan konflik air dari Duke University, masih dari Foreign Policy.
Lembah Jordan adalah jantung kehidupan di wilayah ini. Israel dan Palestina menggantungkan kebutuhan air minum dan pertanian dari sini, Sungai Jordan yang suci. Yordania dan Suriah juga membutuhkan Sungai Jordan dari sejarah peradaban zaman Nabi Ibrahim hidup hingga kini.
ADVERTISEMENT
“Bagaimanapun situasi politik, orang perlu air, dan itu pendorong besar untuk menyelesaikan masalah,” kata Chuck Lawson, mantan pejabat AS yang menangani masalah air Israel-Palestina tahun 1990-an. Sepertinya tidak masuk akal, tapi masalah air lebih penting daripada perang. Dalam kasus Palestina dan Israel, air adalah aset nasional, yang harus dipertahankan dengan sama baiknya seperti sumber daya mineral lainya dalam tanah, atau segala bangunan bersejarah dan suci di atas tanah.
Perang Enam Hari 1967 dipicu oleh salah satunya perebutan sumber air di Lembah Jordan dan akuifer pegunungan. Sebagai negara pemenang perang, Israel semakin mendekati kontrol penuh atas sumber air Palestina di Lembah Jordan dan Tepi Barat. Israel melarang Palestina mengakses Sungai Jordan dan menggunakan airnya. Kesepakatan Interim Oslo II 1995, juga membatasi pembagian air antara Israel dan Palestina.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan tersebut dimaksudkan berlaku hanya lima tahun saja, bukan 20 tahun atau selamanya, namun praktik di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Lembah Jordan masih berpedomankan pada Kesepakatan Oslo. Israel memperoleh bagian 71% dari air akuifer, sedangkan Palestina hanya mendapat jatah 17%.
ADVERTISEMENT
Itu belum termasuk instalasi air Palestina yang dihancurkan Israel, karena pembangunannya tidak mendapat izin dari JWC (Komite Bersama Urusan Air).
Palestina memang dapat membangun instalasi air untuk warganya sendiri, melalui Joint Water Committee (JWC). Namun, dalam JWC, Israel memilki hak veto untuk menggagalkan pembangun instalasi air Palestina dan merubuhkan yang sudah berdiri.
Mayoritas orang-orang itu tinggal di daerah pedesaan yang terpencil dan menghabiskan berjam-jam berjalan untuk mengumpulkan dan mengangkut air untuk keluarga mereka setiap hari. Air itu kotor dan terkontaminasi, membawa potensi penyakit yang ditularkan melalui air seperti diare, kolera dan tipus.
Tantangan lainnya adalah menurunkan kemampuan akuifer pantai Tepi Barat. Secara kuantitas dan kualitas. Akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air) saat ini dieksploitasi secara berlebihan, dengan total pemompaan melebihi total kemampuannya mengisi ulang. Selain itu, sumber polusi antropogenik mengancam persediaan air di pusat-pusat kota besar. Banyak parameter kualitas air saat ini melebihi standar air minum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
ADVERTISEMENT
Masalah kualitas air utama adalah peningkatan konsentrasi klorida (salinitas) dan nitrat di akuifer. Musim panas yang mengeringkan air, eksploitasi besar-besaran air tanah oleh Israel, masih ditambah perang yang menghancurkan infrastruktur dan sumur pompa memaksa 95 persen populasi Gaza mengambil air minum mereka dari produsen publik atau swasta, yang produksinya dan rantai pasokannya menghasilkan potensi kontaminasi hingga 68% dari pasokan air minum, yang mengekspos hampir 60% populasi terhadap risiko kesehatan masyarakat yang parah. Terlalu banyak angka? Ya, intinya parah.
Air Bersih untuk Warga Palestina
Dr. Mahmoud Shatat, seorang spesialis di bidang energi berkelanjutan dan air dari Universitas Nottingham Inggris, menjadi peraih penghargan Distinguished Researcher Award dalam kategori Inovasi Individu di Mohammed bin Rashid Al-Maktoum Global Water Award untuk proyeknya memberikan air bersih dan murah pada warga Palestina di Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
"Saya mengembangkan sistem desalinasi air tenaga surya untuk mengubah air asin atau kotor menjadi air tawar dengan biaya minimal yang mampu dibayar oleh orang-orang rentan dan masyarakat luas," katanya.
Implementasi instalasi desalinasi air payau skala menengah yang dibangun di Rafah timur - Gaza oleh Oxfam dan mitranya, Utilitas Air Perkotaan Pesisir untuk mengurangi tekanan air di jalur Gaza dan berkontribusi pada penyediaan air minum yang aman dan bersih.
Dr. Shatat memenangkan USD 40.000 untuk sistem desalinasi air rumah tangga (termal) berbiaya rendah yang terjangkau yang mengubah laut atau air yang terkontaminasi menjadi air tawar. Tangki penyimpanan memiliki sistem yang mampu berkerja pada malam hari memanfaatkan panas yang disimpan dari energi surya di siang hari. Tidak seperti sistem berbasis reverse osmosis, ini cocok untuk digunakan dengan air garam yang sangat pekat. Sistem beroperasi pada tekanan rendah dan suhu yang relatif rendah, memungkinkan unit diproduksi dari plastik yang murah, bukan dari logam.
ADVERTISEMENT
Shatat melatih mahasiswa PhD dalam teknologi air dan desalinasi di Institut Air dan Lingkungan Universitas Al-Azhar Palestina, ketika dia tidak sibuk menasihati lembaga internasional yang bekerja di desalinasi air.
Shatat, warga negara Palestina, mengatakan teknologinya dirancang untuk "orang yang tinggal di daerah terpencil atau zona konflik" di mana air bisa sulit ditemukan. Teknologi dengan sumber energi terbarukan yang menjanjikan akses air bersih dengan harga terjangkau. Dalam setiap kesulitan yang dihadapi warga Palestina, selalu ada jalan keluar untuk dapat bertahan hidup di bawah pendudukan Israel.
"Saya pergi ke Yaman untuk melatih para insinyur tentang desalinasi air surya, dan juga di Gaza," kata Shatat. "Saya melatih orang-orang yang saya cintai dan komunitas saya."
ADVERTISEMENT
Dengan hadiah tersebut Dr. Shatat ingin mengembangkan teknologi yang dikerjakannya untuk menjangkau lebih banyak orang dan komunitas. Masih akan ada lebih banyak daerah pengungsian, baik oleh sebab perang maupun bencana alam, teknologi yang memudahkan hidup para korban dan pengungsi semakin dibutuhkan. (Anasiyah Kiblatovski/YK-1)