Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Konten dari Pengguna
Anak Butuh Sikap Ilmiah dalam Menghadapi Bencana
email: [email protected]
8 Januari 2020 5:20 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam setiap bencana yang terjadi, dibutuhkan sikap ilmiah agar resiko bencana di kemudian hari bisa dikurangi. Dan pengenalan sikap ilmiah harus lah dimulai sejak dini.
ADVERTISEMENT
Dosen Psikologi UGM yang juga Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Novi Poespita Candra, berpendapat bahwa Indonesia memiliki kebutuhan krusial untuk mengajak anak sejak dini melihat sesuatu dengan sudut pandang lebih ilmiah. Indonesia mesti meniru Jepang dalam upaya pengurangan risiko bencana dengan mengajarkan sikap sadar bencana pada anak-anak sejak sangat dini.
“Sudah seharusnya anak diajak berpikir dan belajar berbasis masalah (problem based learning) supaya bisa melihat bencana dari sudut pandang yang lebih ilmiah. Biar anak bisa jadi bagian dari problem solver masalah negara kita,” jelasnya.
Kepala Pusat Studi Kreativitas, Literasi, dan Pembelajaran Sepanjang Hayat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Pangesti Wiedarti, mengatakan pentingnya anak-anak Indonesia sejak dini terbiasa menghadapi bencana. Bencana, baik yang terjadi secara alami seperti erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami, maupun karena kelalaian manusia seperti kebakaran dan banjir akibat kerusakan alam, seharusnya sudah dijelaskan kepada anak di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dan bukan hanya faktor-faktor penyebabnya saja, mereka juga harus mulai dididik bagaimana melakukan upaya pencegahan dan penyelamatan ketika terjadi bencana.
“Di Indonesia, upaya demikian ini sayangnya belum jadi budaya,” kata Pangesti ketika dihubungi, Selasa (7/1) siang.
Peran Orang Tua di Rumah
Dalam keseharian di rumah, peran orang tua menjadi sangat penting agar anak lebih melek bencana. Orang tua harus bisa menjelaskan penyebab bencana seperti banjir, gempa, erupsi gunung berapi, tanah longsor, kebakaran, dan sebagainya secara ilmiah dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh anak.
“Misalnya anak diajak dialog, membaca buku cerita tentang banjir, tanya ke anak kira-kira menurut mereka banjir dari mana?” kata Novi.
Selain mengajak anak berdialog dan membaca cerita tentang banjir, orang tua juga bisa mengajak anak untuk melakukan eksperimen sederhana tentang banjir.
ADVERTISEMENT
“Bisa pakai tanah di belakang rumah atau air di ember untuk menganalogikan bendungan dan kapasitas tanah,” jelas Novi.
Melalui simulasi tersebut, anak akan memiliki gambaran ilmiah bagaimana banjir bisa terjadi.
Senada dengan Novi, Pangesti juga sangat menekankan pendidikan anak terkait antisipasi bencana di kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks banjir misalnya, di rumahnya Pangesti memiliki tiga sumur resapan untuk menampung air hujan agar tidak terbuang percuma. Selain untuk mengatasi banjir, sumur resapan itu juga membuat sumur di rumahnya tidak pernah kering meski terjadi kemarau panjang seperti kemarin.
“Dari situ kan bisa sekalian dijelasin ke anak kalau fungsi sumur resapan ini bisa untuk mencegah banjir sekaligus untuk mengatasi kekeringan,” ujarnya.
Untuk bencana-bencana lain, hal serupa juga sangat penting. Untuk mengantisipasi gempa misalnya, pendidikan terhadap anak bisa dimulai dari penggunaan tempat tidur berkolong dan berbahan besi yang cukup kuat. Kolong tempat tidur itu bisa digunakan untuk berlindung ketika terjadi gempa apabila tidak memungkinkan keluar rumah. Dari situ, anak akan belajar bagaimana menyelamatkan diri ketika terjadi gempa dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan apikasi BMKG untuk mengetahui prakiraan cuaca juga penting. Pangesti menekankan kepada seluruh anggota keluarga, termasuk anaknya untuk menginstal aplikasi BMKG di gawainya.
“Saya bahkan beri tahu semua mahasiswa saya agar install aplikasi ini di HP masing-masing,” tegasnya.
Sebagai mantan aktivis KSR (Korps Sukarela) PMI ketika kuliah dulu, Pangesti menjadi sangat waspada terhadap bencana. Dia sadar betul bagaimana sebuah bencana bisa terjadi dan bagaimana cara yang tepat mengantisipasinya.
Namun tak semua orang tua punya pengetahuan tanggap bencana seperti Pangesti. Jika seperti itu, siapa yang kemudian bisa diandalkan?
“Sekolah,” jawab Novi singkat dan tegas.
Sekolah Adalah Kunci
Menurut Pangesti, pemahaman terhadap bencana sebenarnya sudah bisa diajarkan kepada anak saat masih duduk di bangku sekolah dasar melalui mata pelajaran sains. Masalahnya, pembiasaan menghadapi bencana itu yang belum jadi budaya.
ADVERTISEMENT
“Mestinya dalam satu semester pembelajaran, dapat dilakukan dua kali latihan evakuasi jika terjadi bencana,” kata Pangesti.
Di kampus pun, ternyata, pelatihan evakuasi bencana masih sangat jarang dilakukan. Tak hanya itu, fasilitas pencegahan bencana yang disediakan juga tidak memadai. Misalnya akses darurat dan titik kumpul saat terjadi bencana.
“Mestinya ini menjadi bagian penting saat perencanaan pembangunan gedung,” ujar Pangesti.
Sementara dari pandangan seorang psikolog anak, Novi menekankan pentingnya sekolah untuk menerapkan pembelajaran berbasis masalah agar perspektif anak terhadap bencana bisa lebih ilmiah.
Menurut Novi, ada lima tahap proses pembelajaran yang harus dikembangkan sekolah, yaitu keterlibatan, eksplorasi, penjelasan atau explaining, elaborasi, dan evaluasi.
Dalam tahap keterlibatan, anak-anak bisa diajak untuk mengamati, membaca artikel, atau menonton video mengenai banjir.
ADVERTISEMENT
Di tahap eksplorasi, anak diajak mengeksplorasi apa yang mereka temukan dengan menanyakan apa yang mereka baca, lihat, dengar, rasakan, pikirkan, dan ingin tanyakan.
“Selanjutnya explaining itu bisa dengan cara memilih satu pertanyaan dari mereka sendiri. Misal apa yang menyebabkan banjir, atau bagaimana langkah mencegah banjir,” kata Novi.
Di tahap elaborasi, anak diajak mencari tahu lebih dalam dengan cara mengulas literatur terkait fenomena banjir. Sementara di tahap evaluasi anak-anak bisa diajak untuk mengevaluasi pendapatnya masing-masing.
“Dengan itu maka anak-anak terbiasa dengan cara pikir scientific saat ia melihat sebuah fenomena,” lanjutnya.
Novi mencontohkan teknis penerapan pembelajaran berbasis masalah yang bisa dilakukan oleh guru di dalam kelas.
Pertama, guru menyajikan sebuah video berkaitan dengan banjir. Siswa lalu dibentuk berkelompok dan diberi tugas untuk mengamati serta mencoba menemukan sebab dan dampak banjir.
ADVERTISEMENT
Dari situ, siswa kemudian diminta untuk mencari solusi atas dampak yang diakibatkan oleh banjir dan mempresentasikan solusinya di depan kelas. Siswa lainnya bertugas menanggapi, bisa menyanggah maupun mendukung argumen kelompok yang melakukan presentasi.
“Terakhir, tiap kelompok mengambil kesimpulan dari dampak banjir,” jelas Novi. (Widi Erha Pradana / YK-1)
Keterangan redaksi : untuk tidak menimbulkan salah baca pada keseluruhan artikel, redaksi pandangan jogja mengubah judul dan paragraf pertama. Selebihnya, artikel tetap sama seperti semula. Kesalahan ada pada redaksi pandangan jogja, bukan pada tim kolaborasi Kumparan. Demikian, semoga menjadikan maklum.