Banteng Jawa: Tak Dikenal, Dilupakan, Dikalahkan Akasia Berduri

Konten dari Pengguna
21 September 2020 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi banteng jawa. Foto: wikidata
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi banteng jawa. Foto: wikidata
ADVERTISEMENT
Banteng jawa barangkali simbol paradoks terkuat di negeri ini. Di arena politik, ia adalah lambang partai pemenang: berkuasa dan sangat kuat. Tapi banteng di alam liar, sepi dari perhatian, relatif tak dikenali, tak banyak dikaji oleh ilmuwan, jadi sasaran pemburu liar, dan tak jelas apa fungsinya bagi ekologi secara luas. Ada dugaan saat ini banteng jawa terdesak bahkan hanya oleh keberadaan pohon akasia berduri.
ADVERTISEMENT
Tercatat, populasi banteng sebagai satwa liar di habitatnya makin mengecil. Di Jawa, hanya tinggal empat jangkauan (range) ekologis banteng. Yakni di Taman Nasional Ujung Kulon, Meru Betiri, Alas Purwo, dan Baluran. Di Kalimantan range ekologis banteng ada di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kutai, serta di Belantikan Raya, Lamandau.
Di Jawa, ada banyak habitat-habitat banteng yang sudah hilang, tempat-tempat yang dulu menjadi habitat banteng, namun sekarang sudah tidak menjadi habitat banteng lagi. Misalnya di Cikepuh-Cibanteng, Bojonglarang-Jayanti, Cimapag, Cikamurang, Pangandaran, Kediri, Blitar, serta Malang.
“Problemnya apakah ecological range yang kita buat saat ini masih valid atau tidak?” ujar Pakar Konservasi Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM sekaligus Kepala Studi Arkeologi dan Sumber Daya Lahan UGM, Satyawan Pudyatmoko dalam seminar daring yang diadakan oleh Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BPTH) Yogyakarta, Jumat (18/9).
ADVERTISEMENT
Secara global, ada tiga subspesies banteng yang masih hidup di dunia, dan dua di antaranya ada di Indonesia. Pertama ada Bos javanicus javanicus di Jawa dan Bos javanicus lowi di Borneo atau Kalimantan, keduanya berstatus terancam punah. Rata-rata di setiap habitat, populasinya tidak sampai 100 individu.
Estimasi penghitungan populasi dua sub spesies banteng di Indonesia juga masih menemui sejumlah masalah. Pertama, belum adanya metode standar untuk inventarisasi banteng, sehingga untuk melakukan penghitungan populasi setiap taman nasional menggunakan metode yang berbeda.
“Bahkan dalam satu taman nasional pun sering kali metodenya berbeda antara satu waktu dengan waktu yang lain,” lanjutnya.
Akibatnya, hasil inventarisasi tidak bisa dibandingkan antartempat dan antarwaktu. Tak hanya bisa dibandingkan, hasil inventarisasi juga seringkali tidak bisa diketahui presisinya.
ADVERTISEMENT
Problem Habitat dan Kecilnya Populasi
Ada beberapa persoalan yang dialami habitat banteng. Pertama adalah manajemen habitat banteng di luar kawasan konservasi, misal di Kalimantan Tengah di hutan produksi terbatas, di TN Alas Purwo di hutan produksi, serta di perkebunan yang berbatasan langsung dengan TN Meru Betiri.
Minimnya pengetahuan tentang home range juga menjadi persoalan tersendiri dalam upaya konservasi banteng. Menurut Satyawan Pudyatmoko, penelitian terkait home range banteng sampai sekarang masih sangat minim.
“Baluran sudah melakukan penelitian dengan radio collar, tentu saja kita harapkan dengan radio collar yang dipasang di banteng kita bisa tahu sebenarnya home range banteng itu seperti apa,” ujar Satyawan Pudyatmoko.
Sulitnya meningkatkan populasi banteng salah satunya disebabkan karena sumber daya finansial yang terbatas. Sehingga, di dalam melakukan strategi peningkatan populasi perlu dipertimbangkan lagi, apakah akan menggunakan metode breeding seperti di Baluran atau lebih fokus pada pencegahan dan penindakan perburuan liar.
ADVERTISEMENT
“Karena perburuan itu luar biasa besarnya, terutama Baluran. Karena akses yang sangat mudah dari mana-mana,” lanjutnya.
Kecilnya populasi banteng menurut Satyawan juga perlu diteliti kembali, apakah disebabkan karena faktor habitat atau ada faktor lainnya. Menurutnya, kemungkinan terbesar penyebab kecilnya populasi banteng adalah faktor lain, entah itu perburuan liar ataupun penyakit.
Pengaruh sebaran spesies invasif terhadap populasi banteng juga perlu diteliti lebih jauh. Misalnya seperti di Baluran, dimana pohon akasia berduri disebut-sebut menjadi pengganggu serius banteng-banteng di sana.
“Apa betul akasia itu berpengaruh negatif terhadap populasi banteng?” ujarnya.
Konservasi Bukan Sekadar Memperbanyak Satwa
Foto: Taman Safari
Konservasi satwa liar tidak sepragmatis mengembang biakannya di satu tempat tertentu secara eksitu. Menurut Satyawan Pudyatmoko, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi sebagai tolok ukur konservasi satwa liar.
ADVERTISEMENT
Pertama, populasinya secara ekologis harus berfungsi. Artinya, dengan populasi yang ada, satwa liar tersebut masih bisa memainkan perannya di habitat.
“Kalau tinggal satu atau dua, secara populasi memang masih ada, tapi secara ekologis tidak ada fungsinya,” ujar Satyawan Pudyatmoko.
Yang lebih penting lagi, keberadaan satwa liar harus mendapat apresiasi. Hal ini yang menurut Setyawan masih kurang mendapatkan perhatian dari para konservasionis. Hal ini menurutnya sangat penting untuk menciptakan hubungan yang selaras antara satwa liar dan manusia di sekitarnya.
Tolok ukur berikutnya yakni populasi yang ada harus merepresentasikan keragaman genetik dari spesies. Misalnya saat ini ada tiga subspesies banteng, semuanya harus bisa terepresentasikan dengan baik dan ada replikasinya.
“Jadi masing-masing subspesies ada replikasinya di semua setting ekologis. Misalnya di daerah banteng jawa ada yang setting ekologisnya agak basah, di Jawa Barat ada setting ekologisnya kering, di Jawa Timur Baluran ada yang agak basah,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Minimnya Kajian Genetik Banteng
Peneliti dari Balai Besar Litbang BPTH Yogyakarta, Maryatul Qiptiyah, mengatakan bahwa konservasi genetik tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan habitat, pengendalian terhadap perburuan liar, polusi, eksploitasi berlebih, dan sebagainya.
Untuk melakukan konservasi genetik, diperlukan analisis biologi molekuler yang meliputi identifikasi spesies, identifikasi individu, determinasi tetua, determinasi jenis kelamin, identifikasi populasi, serta estimasi komposisi populasi.
“Secara umum, untuk kajian genetik banteng di Indonesia itu databasenya sangat terbatas,” ujar Maryatul Qiptiyah.
Padahal, kajian genetik ini diperlukan untuk menentukan unit konservasi seperti apa yang perlu dilakukan, kemurnian genetik banteng, asal-usulnya, serta keragaman genetiknya.
“Belum banyak data yang menjelaskan tentang itu semua,” lanjutnya.
Karena itu, Balai Besar Litbang BPTH Yogyakarta menurutnya mulai melakukan penelitian-penelitian genetik banteng sejak 2012. Pengambilan materi genetik banteng yang dilakukan yakni menggunakan metode non-invasif, atau tidak memegang langsung. Materi genetik yang diambil untuk diteliti hanya berupa feses banteng saja di tiap lokasi penelitian.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, menurutnya masih perlu adanya pengembangan peneitian genetika populasi banteng sebagai bahan untuk melakukan konservasi. Upaya pelestarian banteng mesti dilakukan secara multidisiplin IPTEK, sehingga bisa merepresentasikan fakta-fakta lapangan.
“Konservasi genetik memang memerlukan investasi besar dan perlu kerja sama berbagai pihak,” ujar Maryatul Qiptiyah. (Widi Erha Pradana / YK-1)