Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Baru Bumi Manusia, Belum Indonesia Raya
email: [email protected]
22 Agustus 2019 12:20 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika pertama kali mendengar kabar novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer jadi difilmkan, sebagai pembaca novel-novel Pram, abang tentu merasa gembira, Alina.
ADVERTISEMENT
Namun, kegembiraan itu segera sirna setelah tahu siapa yang akan menyutradarainya. Kenapa? Enam tahun lalu, Sang Sutradara pernah membuat abang ilang feeling ketika menginstruksikan semua penonton bioskop berdiri untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebelum salah satu film karyanya yang berjudul “Soekarno: Indonesia Merdeka” diputar di bioskop, Alina.
Terus terang, sampai sekarang abangmu ini masih bingung, sebenarnya dia itu sutradara atau inspektur upacara. Kok pake nyuruh-nyuruh penonton berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Tapi itu bukan karena abang tidak mencintai Indonesia Raya, Alina. Menurut abang, lagu kebangsaan seindah “Indonesia Raya” tidak perlu dinyanyikan di ruang-ruang gelap seperti gedung bioskop. Indonesia Raya perlu dinyanyikan di ruang-ruang terbuka yang terang benderang dengan gagah berani. Segagah Sukarno-Hatta yang dengan penuh percaya diri menyatakan kemerdekaan Indonesia. Seindah sayatan biola Wage Rudolf Supratman yang memberikan segala-galanya untuk sebuah republik yang sangat dicintainya meski belum terlahir. Sebuah Republik bernama Indonesia yang masih ada di dalam cita-cita.
ADVERTISEMENT
Kau pernah bilang ketika kita berdua masih jadi mahasiswa di Jogja, Alina, jika segala sesuatunya tidak perlu kita lalui dengan tergesa. Namun apa daya, di film “Bumi Manusia”, sang sutradara kembali mengulanginya dengan meminta seluruh penonton di bioskop berdiri untuk menyanyikan “Indonesia Raya” sebelum film dimulai.
Maka, tidak ada yang bisa abang lakukan selain tetap duduk sesuai dengan nomor tiket. Terus terang abang bingung, Alina. Kita berdua telah membaca novelnya berkali-kali ketika masih jadi mahasiswa. Abang yang sudah semester tujuh mengagumi sosok Raden Mas Minke, pribumi terpelajar yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan Eropa sebelum akhirnya memutuskan untuk melawan dengan segenap tenaga dan pikiran bangsa yang menjadi penjajah sekaligus gurunya.
ADVERTISEMENT
Sementara kamu, Alina, tak pernah berhenti mengagumi Nyi Ontosoroh hingga hari ini. Seorang perempuan pribumi yang dengan gagah berani melawan pengadilan kolonial untuk mempertahankan haknya sebagai ibu yang melahirkan Annelies Mellema. Dan kita berdua juga sangat terinspirasi Juffrouw Magda Peters yang mengingatkan Minke agar jangan sekalipun mempercayai Astrologi dengan memberi contoh meskipun tanggal, bulan dan tahun kelahiran Minke di Jawa sama persis dengan Ratu Juliana di Den Haag, keduanya memiliki nasib yang bertolak belakang. Yang terlahir di Jawa menjadi hamba, sementara yang terlahir di Den Haag menjadi Ratu bagi provinsi di seberang lautan alias tanah terjajah yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda, belum Indonesia, Alina.
ADVERTISEMENT
Jadi, Alina, bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa untuk menyanyikan Indonesia Raya di hadapan Bumi Manusia. Karena ini baru Bumi Manusia kan Alina? Belum Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca apalagi Indonesia Raya.
Sekali lagi, Bumi Manusia dan Indonesia Raya memang indah, Alina. Tapi bukankah keduanya memiliki keindahan masing-masing. Seperti pernah kamu bilang Alina, seringkali kedua keindahan yang berbeda justru kehilangan pesonanya ketika dipersatukan dengan paksa secara semena-mena?
Oh ya, Alina. Ini bukan kritik film lho ya. Kan abang juga bukan kritikus film. Cuma pembaca novel dan penonton film.
Terakhir, Alina. Abang minta maaf baru bisa menjawab pertanyaanmu, Rabu pekan lalu waktu filmnya dirilis: “Apik opo orak, Mas?. Sudah dulu ya Alina, jam lima nanti abang ada meeting sama klien. Nanti kalau ada waktu, diceritain lagi filmnya seperti apa. (Yudho Raharjo)
ADVERTISEMENT