Konten dari Pengguna

Belajar Stereotyping dan Typing Perempuan Bergunjing dari Film Tilik

26 Agustus 2020 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: tangkapan layar Film Tilik di Youtube.
zoom-in-whitePerbesar
Foto: tangkapan layar Film Tilik di Youtube.
ADVERTISEMENT
Film pendek Tilik, garapan sutradara muda Yogyakarta, Wahyu Agung Prasetyo, menjadi pembicaraan hangat beberapa hari ini setelah diunggah ke Youtube pada 17 Agustus kemarin. Perdebatan tentang film ini terus berlanjut hingga hari ini, bahkan melibatkan para pakar di dunia perfilman.
ADVERTISEMENT
Dari segi sinematografi, Tilik memang tidak diragukan lagi. Bahkan sutradara Joko Anwar dan Ernest Prakasa memuji teknik sinematografi yang digunakan dalam film ini. Namun di sisi lain, film ini juga mendapat kritik yang cukup keras. Salah satu kritikan yang cukup keras adalah, Tilik dianggap telah melanggengkan stereotype perempuan.
Salah seorang yang cukup keras mengkritik film Tilik karena dianggap telah melanggengkan stereotype adalah Hikmat Darmawan, seorang penulis sekaligus pengamat budaya pop. Dalam tulisan yang dia unggah di media sosial Facebook-nya, Hikmat menuliskan bahwa Tilik telah melanggengkan stereotype bahwa ibu-ibu hobi bergunjing.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal itu mungkin biasa ditemui. Tapi menurut Hikmat, di dalam film, terutama ketika dikarikaturkan, unsur kenyataan pun bisa jadi sebuah stereotype. Lagi pula, kata dia, dalam keseharian pun bisa jadi kita punya prasangka dan stereotip yang sudah terlalu tertanam, sehingga tanpa sadar stereotype tersebut telah dipersepsi sebagai sebuah kenyataan.
ADVERTISEMENT
“Misalnya, bahwa Ibu-ibu adalah tukang gosip, bawel, dan lelaki (dalam film ini, terlihat pada sosok sopir truk dan polisi lalu lintas) selalu bingung dan kalah pada kecerewetan ibu-ibu,” tulis Hikmat.
Akhir film Tilik, menurutnya juga makin menguatkan stereotype yang ada. Scene Dian bersama ayah Fikri berdua dalam satu mobil sebagai akhir film menurutnya merupakan gagasan yang buruk.
“Ini seakan mengukuhkan stereotipe perempuan lajang, bekerja, cantik, tak berjilbab sebagai bukan perempuan baik-baik,” lanjutnya.
Stereotyping dalam Film
Foto: tangkapan layar Film Tilik di Youtube.
Dosen Ilmu Komunikasi UGM yang juga pernah menjadi Festival Director Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) sejak 2006 sampai 2016, Budi Irawanto, mengatakan dalam tulisan yang diunggah di media sosial Facebooknya bahwa kurang tepat jika film Tilik telah menguatkan stereotyping terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya, ketiga kritik itu salah sasaran karena kekurangcermatan menonton Tilik sehingga keliru menarik kesimpulan,” ujar Budi Irawanto dalam tulisan yang dia unggah pada Senin (24/8).
Menurut Budi, tidak tepat jika Tilik dianggap hanya melanggengkan stereotipe terhadap perempuan. Dalam film tersebut, perempuan tidak hanya menjadi karakter yang dominan, tetapi juga direpresentasikan secara beragam.
“Sehingga tak mengesankan adanya penguatan stereotip tertentu,” lanjutnya.
Budi menjelaskan, stereotip dapat ditemukan dalam penggambaran karakter yang digunakan untuk membangun narasi. Richard Dyer (1977) pernah menyatakan bahwa stereotype merupakan tipe sosial yang menarik garis batas yang tegas, jelas baku, dan musykil diubah. Pun dengan Steve Neale yang mengatakan bahwa stereotip dalam film sebagai struktur karakter yang stabil dan berulang. Dengan kata lain, penggambaran sifat-sifat karakter yang stereotipikal itu tak pernah berubah dan terus-menerus diulang.
ADVERTISEMENT
“Dalam film-film Hollywood klasik era 1930-an, umpamanya, karakter perempuan berambut pirang seperti diperankan Marilyn Monroe dan Jane Harlow secara stereotipikal digambarkan bodoh (dumb blonde stereotype),” tulis Budi.
Typing dan Stereotyping
Penulis skenario FIlm Tilik, Bagus Bacep Sumartono (kiri) dan Bu Tedjo karakter utama FIlm Tilik. Foto: Istimewa.
Mengutip pernyataan Richard Dyer (1977), Budi Irawanto membedakan antara typing dan stereotyping. Mustahil bagi seseorang untuk memahami suatu objek, manusia, dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya tanpa melakukan typing. Karena itu, typing menjadi bagian penting dari proses pemaknaan karena melakukan proses klasifikasi seturut dengan kultur tertentu.
Misalnya, kita menjadi ‘tahu’ seseorang karena kita ‘berpikir’ tentang peran yang dilakukannya entah sebagai orang tua, anak-anak, kekasih, teman, pekerja, atasan, dan sebagainya. Kita lantas memasukkan seseorang ke dalam kelompok tertentu berdasarkan kategori ras atau etnisitas, jenis kelamin, agama, kelas dan seterusnya serta menyusun ‘tipe karakter’ (personality type) tertentu.
ADVERTISEMENT
“Karena itu, gambaran tentang seseorang merupakan buah dari proses mengumpulkan informasi serta memposisikannya dalam tatanan tipifikasi tertentu,” ujar Budi Irawanto.
Sebaliknya, stereotyping merupakan tindakan pereduksian terhadap karakter seseorang dengan melebih-lebihkan sekaligus melakukan simplifikasi. Stereotyping juga melibatkan proses memilah apa yang ‘normal’ dan ‘tak normal.’
“Dalam bagian tertentu, Tilik memang melebih-lebihkan karakter Bu Tejo untuk memancing kelucuan, tapi tak lantas melakukan simplifikasi,” lanjutnya.
Sepanjang film, kita memang disuguhi dengan adegan ibu-ibu yang tampak menikmati pergunjingan. Tapi hal itu juga tidak cukup untuk mengklaim bahwa film tilik telah menggambarkan perempuan secara stereotipikal sebagai penggemar gosip dan penyebar hoaks.
“Lihatlah karakter sopir truk bernama Gotrek yang notabene laki-laki itu. Gotrek tampak mencuri dengar pergunjingan ibu-ibu itu dari tempat duduknya sembari menyetir truk,” lanjut Budi.
ADVERTISEMENT
Gotrek sesungguhnya mendengar, dan mungkin saja menikmati pergunjingan ibu-ibu di bak truk. Dalam scene lain, Gotrek juga tampak ingin tahu percakapan Yu Ning dengan Dian lewat telepon ketika truk berhenti di masjid. Adegan itu telah mematahkan anggapan bahwa film Tilik telah memperkuat stereotip perempuan suka gosip dan bergunjing.
“Jadi, rupanya lelaki juga menyukai pergunjingan,” ujar Budi Irawanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)