Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bertaruh Nyawa demi Lampu Tetap Nyala
email: [email protected]
30 Januari 2021 16:22 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Pandangan saya sampai gelap. Saya kira waktu itu saya sudah mati,” kata Budi Sukirno, 39 tahun, saat memulai kisahnya kepada redaksi yang mengikuti tim PLN Yogya melakukan pekerjaannya pada Selasa (26/1) siang.
ADVERTISEMENT
Budi Sukirno adalah salah seorang petugas lapangan di Pelayanan Teknik Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) PLN Yogyakarta. Setiap hari, dia bersama tim bertugas mengatasi berbagai gangguan jaringan listrik.
Kisah hampir kehilangan nyawa yang Budi ceritakan ini terjadi saat ia mengerjakan tanggungjawabnya di Tegal sekitar satu dekade silam. Saat itu, Budi sedang membersihkan kabel dengan tegangan 220 Volt dari karat. Entah bagaimana, bagian kabel yang mestinya tidak dia pegang melintir dan menyentuh tangannya, hingga sekujur tubuhnya tersengat listrik bertegangan tinggi. Seketika, dia seperti merasa sedang dihimpit dan dikoyak beban ratusan kilogram.
Celakanya, tangannya tak bisa langsung lepas begitu saja dari kabel mematikan itu. Semenit lebih tubuhnya dikoyak sengatan listrik. Semenit mungkin terdengar sebentar, tapi dalam situasi seperti itu, waktu serasa melambat berkali-kali lipat. Jangankan satu menit, lima detik saja rasanya sangat lama dan menyakitkan.“Saya cuma bisa nyebut, sudah pasrah. Untung teman saya narik tangganya dari bawah, jadi saya bisa lepas. Untung saya pakai sabuk pengaman kan, saya pasang di pool, jadi saya jatuh dalam keadaan nggantung,” ujarnya mengenang lagi momen menyakitkan sepuluh tahun silam.
ADVERTISEMENT
Dalam posisi menggantung, semua pandangannya sudah gelap. Dia mengira saat itu dia sudah mati. Tapi perlahan, gelap itu mulai terang karena silau oleh sinar matahari yang sedang terik-teriknya. Budi baru sadar, bahwa dia masih hidup, dan saat itu juga seluruh tubuhnya serasa remuk terutama tangan kirinya yang bersentuhan langsung dengan sumber listrik yang nyaris membawanya ke kematian.
Budi masih beruntung, karena yang menyengatnya bukan listrik saluran utama yang memiliki tegangan 20 KV. Jika tersengat oleh saluran utama, jangankan satu menit, dalam hitungan detik saja nyawanya tak akan tertolong.
Serupa, Prasetyo, 53 tahun, juga nyaris kehilangan nyawanya ketika sedang melakukan perbaikan jaringan listrik di sebuah gedung di Yogyakarta. Bukan sengatan listrik yang nyaris mengantar Prasetyo pada maut, melainkan atap yang rapuh.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Prasetyo harus naik ke atap sebuah gedung setinggi belasan meter untuk melakukan perbaikan jaringan. Sial baginya, asbes yang dia injak ternyata tak kuat menopang beban tubuhnya. Dan hanya dalam hitungan detik, brakkkk, tubuhnya sudah terkapar di lantai bersama puing-puing asbes dan plafon yang ambrol.“Harus dirawat di rumah sakit 6 bulan, ini tangan saya masih ada bekasnya di-pen,” kata Prasetyo sembari menunjukkan bekas luka di tangan kirinya.
Budi dan Prasetyo hanya sedikit dari petugas penanganan gangguan jaringan listrik yang sempat mengalami kecelakaan kerja dan nyaris kehilangan nyawa. Tak semua bisa lepas dari rasa trauma setelah melihat maut di depan matanya. Tapi Budi dan Prasetyo berhasil mengalahkan trauma itu dan masih bertahan dengan profesinya sampai sekarang.“Banyak, teman saya ada yang minta pindah job, ada juga yang bahkan milih resign karena trauma lihat ledakan trafo, tersengat listrik, dan resiko lainnya,” kata Prasetyo.
ADVERTISEMENT
Hujan Angin dan Petir, Jadi Musuh Utama
Petugas Pelayanan Teknik PLN sedang memangkas pohon yang berpotensi menyebabkan gangguan jaringan listrik, Selasa (26/1)
Memasuki musim penghujan seperti sekarang, Bayu Imam Prasetyo, 29 tahun, dan kawan-kawan petugas pelayanan teknik lainnya semakin sibuk. Kopinya masih setengah gelas, ketika ia mendapatkan panggilan tugas.
Saat itu, dia mendapatkan jadwal sif malam, sehingga butuh kopi supaya matanya tetap tajam dan pikirannya tetap fokus. Tugasnya malam itu semakin berat, karena bertepatan dengan hujan angin disertai petir. Dan Bayu harus memperbaiki jaringan listrik yang terputus karena terkena ranting pohon yang patah.“Bisa dibilang musuh terbesar kita adalah hujan angin dan petir. Kalau masih hujan biasa, hujan ringan, itu masih aman lah,” ujar Bayu Imam Prasetyo.
ADVERTISEMENT
Ketika musim hujan, dalam satu sif saja Bayu dan petugas lainnya bisa mendapatkan panggilan tugas hingga 20 kasus gangguan jaringan. Dari masalah kelistrikan di rumah pelanggan, jaringan terkena ranting pohon, tertimpa pohon tumbang, sampai trafo meledak.“Jadi dari malam sampai subuh itu benar-benar enggak ada istirahat, benar-benar full,” ujarnya.
Pekerjaannya makin berisiko karena selain gelap, hujan juga dapat memperbesar risiko tersengat listrik. Apalagi ditambah dengan petir, terkadang jaringan yang sudah diamankan masih bisa mengalirkan arus listrik.“Harus ekstra hati-hati. Yang bisa dilakukan ya pakai APD (alat pelindung diri) lengkap sama bekerja sesuai prosedur, sisanya serahkan sama Allah,” ujarnya.
Beruntung, musim hujan awal tahun ini di Kota Yogyakarta menurutnya masih bersahabat. Tidak seperti musim-musim penghujan sebelumnya yang disertai angin kencang dan petir.“Kalau awal tahun ini agak santai walaupun musim hujan, enggak kayak yang kemarin-kemarin,” kata Bayu bersyukur.
ADVERTISEMENT
Macam-macam Sifat Pelanggan
Selama 27 tahun bekerja sebagai petugas penanganan gangguan di PLN membuat Prasetyo sudah menemui berbagai jenis karakter pelanggan. Tidak jarang, dia harus menerima amarah bahkan cacian dari pelanggan karena merasa dirugikan dengan adanya gangguan.
Karena itu, selain harus kompeten di bidang jaringan listrik, menjadi petugas penanganan gangguan juga harus bertelinga tebal.“Sudah kenyang sama makian pelanggan, mas. Dicaci maki lah, dimarah-marahin lah. Alasannya pasti itu, karena pelanggan itu merasa sudah bayar, jadi merasa dirugikan kalau ada gangguan,” kata Prasetyo.
Sebagai manusia, tidak setiap saat Prasetyo bisa menerima makian atau amarah pelanggan. Meski hal itu adalah makanan sehari-hari, tapi tetap saja dia masih kerap merasa sakit hati. Kadang, emosinya juga kerap terpancing, terutama saat kondisi sudah capek baik secara fisik maupun pikiran.“Kita datang mau benerin kok malah dimarahin, padahal kalau mau komplain kan ada tempatnya, bukan ke kita. Tapi ya sudah lah, saya tahan saja, kan memang kebanyakan pelanggan enggak paham gimana di baliknya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pelanggan juga kerap marah ketika keluhan atau laporannya tidak segera ditangani. Padahal, pada saat yang bersamaan, gangguan yang ditangani oleh petugas tidak hanya satu titik saja.
Seringkali, gangguan di berbagai titik terjadi secara bersamaan. Jika situasi itu terjadi, maka petugas harus memilih mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki dulu. Dan yang akan diprioritaskan adalah gangguan yang dampaknya lebih besar dan luas. Tidak jarang juga gangguan terjadi ketika cuaca sedang memungkinkan untuk melakukan perbaikan.“Sayangnya kan tidak semua pelanggan memahami itu. Tapi kita maklumi, sepanjang hanya sebatas ucapan,” ujarnya.
Tapi tidak semua pelanggan menyambut mereka dengan amarah dan makian. Banyak juga pelanggan yang menyambut mereka dengan ramah, bahkan menyuguhkan teh atau kopi, terkadang lengkap dengan cemilannya.Sebenarnya, Prasetyo dan petugas lainnya selalu menolak ketika ditawari apapun, termasuk makanan atau minuman. Sebab, aturan di PLN tidak membolehkan petugas menerima apapun dari pelanggan. Tapi tidak jarang pelanggan membuatkan minuman lebih dulu tanpa menawarkan, sehingga mereka tidak bisa menolak.“Mau tidak mau ya kita minum. Tahu sendiri, kalau orang Jawa sudah dibuatkan minuman tapi enggak diminum, kan malah dikira enggak menghargai,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebab, pernah ada salah seorang pelanggan yang memberi makanan dan uang kepada petugas, namun petugas tetap menolak meski pelanggan tersebut sudah memaksanya. Beberapa hari berselang, tukang parkir di rumah makan milik pelanggan tersebut mengatakan pada petugas, kalau pelanggan tadi sakit hati karena petugas menolak pemberiannya.“Katanya dia sudah ikhlas, tapi ditolak, jadi sakit hati. Kan kita jadi sering serba salah juga kalau situasinya kayak gitu,” ujar Prasetyo.
Meningkatnya Kesadaran Keselamatan Kerja
Kecelakaan kerja yang nyaris merenggut nyawa Prasetyo dan Budi Sukirno 10 tahun silam sudah sangat jarang terjadi sekarang. Menurut Budi, saat itu kesadaran dunia kerja di Indonesia atas Kesehatan dan Kerja (K3) memang masih sangat kurang.Satu-satunya APD yang diberikan perusahaan kepada petugas saat itu hanyalah helm proyek sebagai pelindung kepala. Tidak ada sarung tangan, tidak ada juga sepatu safety yang standar.“Makanya dulu sering terjadi kecelakaan kerja, ada yang tersengat listrik lah, ada yang jatuh lah. Kalau sekarang sudah jarang banget, hampir enggak ada,” ujar Budi.
ADVERTISEMENT
Berkurangnya kasus kecelakaan kerja itu mulai terasa sejak beberapa tahun terakhir, ketika K3 mulai dikampanyekan secara masif di Indonesia di semua lini. Sekarang, penggunaan APD menurut Budi sudah sangat ketat, mulai dari seragam kerja, helm, sarung tangan tebal, serta sepatu safety. Dan perlengkapan keamanan itu akan semakin banyak ketika mereka harus menangani gangguan dengan risiko yang lebih tinggi.“Dari supervisor K3 itu ketat banget, kalau ketahuan ada yang APD-nya enggak lengkap, pasti kena marah,” ujarnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Budi Santoso, Koordinator Pelayanan Teknik Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) PLN Yogyakarta. Pada 2006 silam, dia juga pernah terjatuh dari tiang listrik setinggi 6 meter ketika sedang melakukan perbaikan jaringan.
Tangga bambu yang dia kenakan, tiba-tiba terbelah menjadi dua, dan hanya hitungan sepersekian detik, tubuhnya menghempas ke tanah. Kecelakaan kerja itu membuat tangannya patah sehingga harus dirawat di rumah sakit selama tiga bulan.“Kalau dulu memang belum terlalu ditekankan K3 itu. Kalau sekarang, enggak boleh pakai tangga bambu, harus tangga khusus dari PLN,” kata Budi Santoso.
ADVERTISEMENT
Karena itu, dia selalu menekankan kepada para petugas untuk selalu mengenakan APD secara lengkap sesuai peruntukannya. Pasalnya, pekerjaan mereka sudah sangat berisiko, jangan malah dibuat semakin berisiko lagi dengan tidak menggunakan APD lengkap dan prosedur kerja yang benar.
Ketika situasi tidak memungkinkan, misalnya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan petugas, proses perbaikan juga akan ditunda. Sebab menurutnya, keselamatan petugas ada di atas segalanya.“Pekerjaan teman-teman di lapangan itu risikonya besar sekali, tapi masyarakat belum menyadari itu. Mungkin kelihatannya sepele ya petugas di lapangan itu, tapi kalau tidak ada mereka, siapa yang akan memastikan listrik tetap mengalir dan lampu tetap nyala?” ujarnya.
Di tengah hujan yang tak kunjung henti di Januari-Februari ini, mari ucapkan salut untuk para petugas lapangan yang bertaruh nyawa untuk lampu tetap nyala. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT