Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Didi Kempot Kepergok Ngamen Mamiek Prakoso: Potret Keluarga Seniman Besar
6 Mei 2020 5:59 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Matahari mulai meninggi di langit Ibukota. Seorang pemuda berdiri di halte bus dengan gitar bolong di tangannya. Dia adalah Dionisius Prasetyo atau publik mengenalnya dengan hangat sebagai Didi Kempot. Dionisius langsung masuk ke bus pertama yang berhenti di halte tempatnya berdiri. Aroma oli cukup menyengat, bus melaju meninggalkan asap hitam yang mengepul.
ADVERTISEMENT
Sembari bersender di sebuah kursi yang masih kosong, Didi mulai menggenjreng gitar kesayangannya. Suaranya yang merdu mulai menggema, memenuhi seluruh ruangan bus. Selesai menyanyikan sebuah lagi, Didi mulai berjalan dari satu kursi ke kursi lain untuk meminta uang seikhlasnya sebagai bayaran atas suara merdunya.
Di sebuah kursi, Didi melihat seorang penumpang yang cukup aneh. Penumpang itu mengenakan topi, namun bagian depannya diturunkan ke bawah sehingga menutupi wajahnya. Tak di sangka, penumpang aneh itu menyodorkan selembar uang Rp 10 ribuan seri Kartini yang merupakan nilai tertinggi saat itu, tahun 1987.
Mendapat uang sebesar itu, Dionisius kaget, tanpa berpikir panjang dia langsung menarik uang itu dari si penumpang. Namun si penumpang ternyata tak melepaskan uangnya begitu saja, dia masih memegang erat ujung uang. Tarik menarik antara si pengamen dan penumpang terjadi, hingga akhirnya Dionisius tahu bahwa penumpang itu adalah kakaknya sendiri: Mamiek Prakoso.
ADVERTISEMENT
Sepenggal kisah itu adalah salah satu yang paling sering diceritakan oleh Didi Kempot ketika mengenang masa-masa sulitnya di Ibukota. Padahal, Didi Kempot dan Mamiek adalah kakak beradik dari pasangan seniman andal. Sang ayah adalah sosok komedian sekaligus penulis lagu. Salah satu gubahannya yang paling hit adalah Cucak Rowo. Sementara sang Ibu adalah sosok pesinden andal. Darah seniman keduanya tampaknya mengalir deras dalam diri kakak-beradik Mamiek dan Didi Kempot.
Sejatinya Sekolah adalah Kehidupan yang Dijalani
Didi Kempot lahir dari keluarga seniman. Ayahnya, Suharanto atau lebih akrab dikenal Mbah Ranto Edi Gudel adalah seorang seniman ketoprak. Sekitar 40 tahun lamanya Ranto Gudel menekuni pekerjaan itu. Sebagai seorang seniman ketoprak, Ranto Gudel dikenal juga sebagai sosok yang multitalenta. Dia lihai bermain karawitan, melawak, bermain peran, melukis, hingga menciptakan lagu. Selepas menyelesaikan pendidikan SMP-nya, Ranto menolak ketika ditawari untuk melanjutkan ke bangku SMA. Sebab baginya sejatinya sekolah adalah kehidupan yang dia jalani.
ADVERTISEMENT
Puluhan tahun menekuni seni ketoprak, Ranto Gudel menjadi perhatian publik karena tetiba merilis sebuah lagu beraliran pop Jawa dengan judul Anoman Obong pada 1995. Kenapa menjadi perhatian publik? Karena Ranto dikenal tak pernah menguasai satupun instrumen musik.
Lagu yang menceritakan kisah pewayangan Ramayana ini seketika meledak di pasaran. Musiknya dinilai memiliki keunikan tersendiri, yakni perpaduan antara pop Jawa, langgam, melayu, jaipongan sunda, serta keroncong. Lagu pertamanya ini sampai direkam dalam 10 versi yang berbeda. Selain Anoman Obong, beberapa lagu ciptaannya yang terkenal di antaranya Cucak Rowo, Ayah, Joko Lelur, serta Kuncung dan Tuyul Amburadul yang dinyanyikan oleh sang anak, Didi Kempot.
Sementara Ibu Didi Kempot, Umiyati Siti Nurjanah juga seorang seniman. Dia dikenal sebagai seorang pesinden andal di Ngawi, Jawa Timur. Suara emasnya ternyata menurun ke sang anak, Didi Kempot.
ADVERTISEMENT
Mamiek Prakoso, Pewaris Multi Talenta Sang Ayah
Mamiek Podang atau dikenal Mamiek Prakoso, kakak Didi Kempot juga dikenal sebagai seniman yang multitalenta. Mamiek seolah mewarisi sosok sang ayah yang menguasai banyak bidang. Nama Mamiek dikenal masyarakat luas setelah dia membentuk grup lawak Srimulat.
Mamiek sempat bermain di sejumlah film seperti “Kanan Kiri OK” (1989), “Makelar Kodok” (1989), “Boleh Dong Untung Terus” (1992), Mas Suka, “Masukin Aja-Besar Kecol It’s Okay” (2008), “King” (2009), “Finding Srimulat” (2013), serta “Air Mata Terakhir Bunda” (2013).
Meski dikenal sebagai seorang pelawak, bukan berarti Mamiek tidak bisa memerankan peran serius. Mamiek berhasil memainkan karakternya yang serius dengan sangat ciamik ketika bermain untuk film King. Atas peran brilian itu, dia berhasil mendapatkan penghargaan nominasi Piala Citra 2009 sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik. Setahun berikutnya, dia juga memenangkan penghargaan sebagai Pemeran Pembantu Pria Terpuji pada Festival Film Bandung 2010.
ADVERTISEMENT
Di bidang tarik suara, kemampuan Mamiek juga layak diperhitungkan. Dia pernah merilis beberapa tembang campursari seperti Ora Tak Gagas, Grojogan Sewu, serta Cidro. Bersama Srimulat, Mamiek berhasil menghibur masyarakat dengan cara yang berbeda. Ketika banyak pementasan dari grup-grup lain yang sarat akan kritik sosial, Srimulat justru membebaskan dirinya dari patron politik.
“Makbenduduk” dan “maknjegagik”, adalah kata yang selalu dikeluarkan setiap dia tampil. Dua kata itu, ketika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti tiba-tiba atau sekonyong-konyong.
Mamiek meninggal pada usia yang sama dengan Didi Kempot, 53 tahun, pada 2014 lalu. (Widi Erha Pradana / YK-1)