Intaian Perburuan dan Perdagangan Liar di Hari Primata Indonesia 30 Januari

Konten dari Pengguna
31 Januari 2021 12:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi primata untuk pertunjukan sirkus. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi primata untuk pertunjukan sirkus. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hari Primata Indonesia tahun ini yang jatuh pada 30 Januari tampaknya belum bisa dirayakan dengan penuh kegembiraan. Bukan karena pandemi, melainkan karena lebih dari 70 persen primata Indonesia terancam punah karena perburuan dan perdagangan liar. Data ini mengacu pada catatan ProFauna Indonesia sejak 2016 sampai 2018.
ADVERTISEMENT
Badan Konservasi Internasional (IUCN), bahkan menempatkan empat jenis primata endemik Indonesia ke dalam daftar 25 spesies primata paling terancam di dunia. Empat jenis primata endemik Indonesia malang itu di antaranya orangutan sumatera (Pongo abelii), tarsius siau (Tarsius tumpara), kukang jawa (Nycticebus javanicus), serta simakubo (Simias cocolor). Ancaman kepunahan itu terutama disebabkan karena perburuan liar yang biasanya berlanjut pada perdagangan ilegal.
Guru besar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang fokus melakukan penelitian primata, Pudji Astuti, mengatakan bahwa hari primata tahun ini merupakan momentum penting. Bukan hanya sebagai acara seremonial setahun sekali, tapi juga sebagai pendorong adanya langkah-langkah strategis penyelamatan primata dari kepunahan.
Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kelestarian primata di muka bumi ini. Sebab, dari sekitar 500 spesies primata di dunia yang tercatat oleh The Integrated Taxonomic Information System (ITIS), 62-nya ada di Indonesia. Jumlah itu menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki spesies primata terbesar ketiga setelah Brazil dan Madagaskar.“Banyak sekali spesies primata yang kita miliki, jangan sampai kita gagal menjaga warisan itu,” kata Pudji Astuti ketika ditemui, Jumat (22/1).
ADVERTISEMENT
Kegagalan menjaga primata, akan berimplikasi kegagalan yang lebih besar. Primata, adalah agen penyebar biji utama di hutan. Dari aktivitas mereka, biji dari satu pohon bisa tersebar ke seluruh penjuru rimba dan akan tumbuh menjadi pohon-pohon baru. Dengan adanya regenerasi pohon, maka kelestarian hutan akan terus terjaga.“Dan ini tidak mungkin dilakukan oleh manusia,” ujarnya.
Sayangnya, hal ini jarang disadari oleh manusia. Sebab, hasilnya tidak bisa disaksikan secara langsung, bahkan cenderung lama.“Hari primata ini harus jadi semacam pengingat untuk kita tentang pentingnya peran primata untuk alam ini,” ujar Pudji.
Perdagangan Ilegal dan Menyempitnya Habitat
Ilustrasi kebakaran hutan yang menyebabkan hilangnya habitat primata. Foto: Pixabay
Pudji Astuti mengatakan, ada dua faktor utama penyebab populasi primata di Indonesia terus menurun: maraknya perdagangan ilegal serta habitat alami yang semakin sempit.
ADVERTISEMENT
Menyempitnya habitat asli ini membuat intensitas primata bertemu dengan manusia semakin tinggi. Dan tidak jarang, pertemuan ini akan memicu konflik antara primata dengan manusia, meskipun keduanya berkerabat karena masih dalam satu ordo yang sama.“Mereka jadi sering dianggap hama karena memakan tanaman masyarakat, tapi sebenarnya yang hama kan manusia karena telah merebut habitat hewan primata,” katanya.
Perdagangan liar semakin marak dengan adanya perkembangan teknologi informasi, oknum-oknum semakin mudah memasarkan berbagai jenis primata lewat media sosial dan sejenisnya.“Ini kan membuat semakin sulit dideteksi,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY, Untung Suripto, mengatakan bahwa perdagangan ilegal ini tidak lepas dari masih banyaknya orang yang memelihara satwa-satwa eksotis, termasuk primata.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pemeliharaan satwa liar menjadi isu besar yang perlu menjadi perhatian serius pada momen hari primata kali ini.“Primata itu kan termasuk satwa liar, dan satwa liar itu mestinya hidup di alam, bukan dipelihara, jadi biarkan mereka tinggal di alam,” ujar Untung ketika dihubungi, Selasa (19/1).
Selain kaitannya dengan pelestarian primata, ada juga faktor potensi zoonosis atau penyakit yang menular dari satwa ke manusia maupun sebaliknya. Ini menjadi isu penting, mengingat saat ini umat manusia juga sedang berperang melawan COVID-19 yang juga termasuk zoonosis.“Jadi harusnya ini juga jadi pelajaran juga untuk kita ya, bahwa ini bukan hanya untuk kebaikan satwa tapi juga untuk keselamatan manusia,” ujarnya.
Konflik Monyet Vs Manusia di Yogyakarta
Ilustrasi monyet ekor panjang. Foto: Pixabay
Yogyakarta memiliki satu spesies primata yang memang hidup di alam liar, yakni monyet ekor panjang. Monyet ekor panjang ini ada di semua Kabupaten, baik di Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul. Sebenarnya ada beberapa jenis primata lain, namun mereka berada di penangkaran.
ADVERTISEMENT
Kabar monyet ekor panjang di Yogyakarta juga tidak terlalu baik. Saat ini, mereka berhadapan dengan adanya konflik dengan manusia. Monyet ekor panjang kerap dianggap hama, karena kerap memakan tanaman-tanaman pertanian, terutama ketika musim kemarau karena persediaan makanan di habitatnya semakin langka.
Menurut Untung, ancaman ini paling banyak terjadi di Kabupaten Gunungkidul, terutama ketika musim kemarau.“Ini masih menjadi perhatian kita bersama, masih terus kami cari solusinya dan jalan tengahnya dengan masyarakat di sana,” ujar Untung.
Semakin seringnya monyet turun ke lahan warga kerap dianggap populasi mereka meledak. Menurut Pudji Astuti, ini juga menjadi masalah lain karena bisa saja dengan alasan itu nantinya perburuan dianggap sah.
Menurut Pudji, pernyataan over populasi ini perlu dikonfirmasi lagi, apakah benar populasinya meledak. Bisa jadi, populasi monyet ekor panjang terlihat sangat banyak karena kepadatannya di habitat semakin tinggi.“Bisa jadi populasinya stabil, tapi habitatnya menyempit. Kan kerapatannya jadi meningkat, sehingga seolah-olah over populasi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Jikapun terjadi over populasi, menurutnya itu juga hanya terjadi di tempat-tempat tertentu saja, tidak bisa menggambarkan populasi monyet secara keseluruhan. Ini dibuktikan dengan data yang tercatat pada IUCN, bahwa populasi monyet ekor panjang masih stabil.“Bahkan Macaca nemestrina (beruk) itu malah justru sekarang turun, padahal banyak yang bilang itu sudah jadi hama, jadi musuh karena over populasi,” ujarnya.
Karena itu, pendataan populasi ini menurutnya sangat penting untuk menentukan kebijakan-kebijakan konservasi yang tepat.“Buktikan dulu, hitung dulu, baru boleh menyatakan kalau itu over populasi,” tegasnya.
Hidup Berdampingan dengan Primata
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Pudji Astuti. Foto: Widi Erha Pradana.
Yang perlu didorong saat ini adalah bagaimana manusia membiasakan diri hidup berdampingan dengan monyet maupun primata lainnya. Hal ini menurut Pudji bukan hal yang mustahil. Namun caranya bukan dengan menceramahi masyarakat supaya mereka tidak membunuh primata.“Mereka juga butuh makan, kalau cuman diceramahi jangan bunuh dan sebagainya, mereka sudah bosan,” ujar Guru besar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Pudji Astuti.
ADVERTISEMENT
Di Petungkriono, Pekalongan, Jawa Tengah, Pudji bersama kolega di Yayasan Swara Owa aktif melakukan perlindungan terhadap owa jawa. Di sana, habitat owa jawa berbatasan langsung dengan perkebunan kopi masyarakat.
Pudji bersama Swara Owa tidak hanya memberikan edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat supaya menjaga dan melindungi owa, tapi juga menawarkan solusi. Solusi yang ditawarkan adalah membantu memasarkan produk kopi yang petani hasilkan, dengan catatan mereka membiarkan owa jawa yang ada di sana hidup dengan aman.“Sekarang kopinya sudah dijual sampai ke Singapura. Jadi kita tidak bisa hanya nyuruh, tapi kasih mereka solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka,” ujarnya.
Langkah-langkah seperti ini yang menurutnya perlu dilakukan supaya masyarakat mau hidup berdampingan dengan primata. Di sisi lain, upaya-upaya konservasi lain seperti edukasi, sosialisasi, riset, serta perlindungan habitat juga harus terus digiatkan.“Kalau memang semuanya beres, dari habitatnya sampai pengetahuan masyarakatnya, bisa kok hidup berdampingan,” ujar Pudji Astuti. (Widi Erha Pradana / YK-1)  
ADVERTISEMENT