Kabupaten Konservasi di Tambrauw, Papua Barat, ala Sepus Marten

Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 19:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepus Marten Fetem di Fakultas Kehutanan UGM, Rabu (16/10). Foto oleh : Widi Erha Pradana
Lahir di tanah Papua membuat Sepus Marten Fatem sangat dekat dengan alam. Sejak kecil, Sepus sudah akrab dengan hutan dan seisinya. Sepus Marten kecil dan teman-teman sebayanya di Papua sudah dididik bagaimana mengelola kebun dan menggembala ternak. Sampai beranjak dewasa, alam tetap tak bisa dipisahkan dengan hidup Sepus.
ADVERTISEMENT
Hal itu dia ceritakan dua hari setelah berhasil meraih gelar doktor di Fakultas Kehutanan UGM pada Senin (14/10).
Sepus menempuh pendidikan S3-nya dalam waktu 3 tahun 8 bulan, IPK-nya 3,82, yang membuat ia lulus dengan predikat cumlaude. Judul disertasi yang ditulis Sepus Martin, “Konstruksi Kabupaten Konservasi Tambrauw: Kontestasi Aktor, Peran Power, Biofisik dan Adaptasi”.
“Hutan adalah ibu kandung bagi kami masyarakat Papua,” kata Sepus di kantin Fakultas Kehutanan UGM, Rabu (16/10).
Orang tua Sepus selalu menekankan agar anak-anaknya senantiasa menghormati tatanan adat dan alam. Dia dibesarkan di sebuah daerah pedalaman di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat yang dikelilingi oleh hutan. Bagi Sepus dan masyarakat Papua lainnya, hutan adalah laboratorium yang menyediakan makanan dan semua kebutuhan hidup.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Sepus meraih gelar sarjananya di Fakultas Pertanian Universitas Cendrawasih. Berkat pengabdiannya di bidang social justice yang fokus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, Sepus mendapatkan beasiswa S2 di Tropical Forest and Nature Conservation, Belanda.
Kawasan konservasi Foto: Iqbal Tawakal/kumparan
Kini, Sepus bekerja sebagai seorang dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Papua sekaligus sebagai Staf Ahli Bupati Tambrauw yang mengurusi masalah masyarakat adat dan konservasi sumber daya alam. Dari sana, Sepus menemukan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat di Tambrauw dan upaya konservasi sumber daya alam. Masalah itu yang kemudian menjadi latar belakang disertasinya.
Model yang Tepat untuk Papua
Di kabupaten yang memiliki luas wilayah 11.373,96 kilometer persegi ini, agenda pembangunan seringkali berlawanan dengan upaya mempertahankan Kawasan konservasi. Sebanyak 77 sampai 80 persen wilayah Tambraw memang merupakan kawasan konservasi yang seharusnya tidak boleh ada aktivitas pembangunan. Upaya mendamaikan dua kepentingan itulah yang jadi perhatian utama Sepus Martin
ADVERTISEMENT
“Muncullah gagasan, coba kita mengadopsi atau mendorong gagasan kabupaten konservasi,” katanya.
Bukan hal mudah, sebab pembangunan ekonom hampir tak pernah selaras dengan kepentingan pelestarian lingkungan. Problem makin kompleks mengingat seluruh lahan di tanah Papua adalah lahan milik masyarakat adat.
Dalam konteks ini, negara bisa saja menetapkan lahan-lahan di Papua menjadi kawasan konservasi. Sayangnya, meski secara aturan hal itu dianggap legal, namun secara adat apa yang dilakukan negara belum tentu terlegitimasi. Sebab, bagi masyarkat Papua, aturan yang terlegitimasi adalah yang lahir dari masyarakat Papua, yang lahir dari akar rumput (grass root). Dan sampai hari ini, negara belum bisa menemukan model yang tepat untuk Papua.
“Proses kearifan masyarakat adat yang diangkat menjadi satu manajemen model adaptif, karenanya, penting menjadi dasar kinerja,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Sepus, tidak bisa skema-skema yang sudah dilakukan di wilayah lain dipaksakan untuk diterapkan begitu saja di Papua. Ada perbedaan yang sangat signifikan, misalnya antara hutan adat di Jawa dengan di Papua. Sampai sekarang, tidak ada satupun skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat yang diterima oleh negara. Hal ini yang menurut Sepus menjadi indikator kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam yang ada di Papua.
“Usulan (skema) yang diajukan selama ini ditolak,” kata Sepus.
Misalnya usulan pada 2011 tentang sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat di Papua. Usulan itu ditolak oleh kementerian dengan alasan nomenklatur atau tata nama yang digunakan belum ada di dalam UU Kehutanan. Padahal, menurut Sepus UU Otonomi Khusus yang mengakui inisiatif lokal, yang dijadikan dasar Pemerintah Papua mengusulkan skema itu, posisinya lebih tinggi ketimbang UU Kehutanan.
ADVERTISEMENT
Kepentingan ekonomi warga dan kurangnya edukasi di sebagian masyarakat Papua di Tambrauw atas kelestarian lingkungan juga jadi persoalan tersendiri. Karena alasan ekonomi, masih ada saja masyarakat yang melakukan pembalakan liar dan perburuan satwa-satwa dilindungi yang tentunya akan mengancam kelestarian hutan di sana. Berdasarkan penelitian yang sudah dia lakukan, ada enam distrik dari total 28 distrik di Tambrauw yang masih banyak ditemui praktik-praktik seperti itu.
Sepus sangat memahami bahwa berbicara hutan tidak sesempit hanya berbicara bagaimana menjaga dan melindungi saja. Hutan tidak bisa dilepaskan dari masyarakat yang menggantungkan hidup kepadanya.
“Bagaimana supaya mereka jaga hutan, pada saat yang bersamaan bagaimana hutan itu juga bisa menjadi sumber kehidupan mereka yang berkelanjutan,” kata pria yang kini berusia 42 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Cendrawasih dan Penyu Raksasa Terbesar di Dunia
Penyu Belimbing. Sumber foto : steemitages.com
Konservasi, menurut Sepus, tidak hanya sebatas soal tumbuhan dan satwa saja, tapi juga manusia di dalamnya. Sepus berpikir bagaimana caranya agar hutan tetap bisa terjaga kelestariannya, tapi masyarakat bisa kenyang. Untuk itu, dia menyebutnya sebagai konservasi adaptif.
Sepus memilih daerah pariwisata berbasis budaya dipilih sebagai solusi. Kuncinya, bagaimana mengemas kearifan lokal mulai dari budaya masyarakat, flora, fauna, dan seisi alam menjadi daya tarik wisatawan. Karena yang menjadi daya tarik wisatawan, terutama wisatawan asing menurut Sepus adalah keaslian itu sendiri. Dengan begitu, masyarakat dapat mendapatkan manfaat dari alam tanpa harus mengganggu kelestariannya.
Lalu, bagaimana cara mewujudkannya? Yang pertama tentu mendesak agar pemerintah pusat memberikan ruang atau kewenangan kepada daerah untuk melakukan upaya konservasi berbasis masyarakat adat. Dia berharap regulasi-regulasi yang selama ini jadi penghalang untuk ditinjau lagi dan direvisi. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun harus memperhatikan kearifan lokal dan berpihak pada masyarakat di Papua.
ADVERTISEMENT
“Bicara aset masyarakat Papua itu tidak bicara mobil. Itu kita bicara menyangkut tanah, hutan sagu, sungai, batu, pohon, burung cendrawasih. Itu asetnya mereka,” kata dia.
Aset-aset itulah yang harus bisa dikemas untuk dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan kepada masyarakat Papua. Di Tambrauw ada 12 jenis spesies burung pintar (smart bird). Belum termasuk sekitar 12 jenis burung cendrawasih atau bird of paradise yang hidup di Tambrauw.
“Karena itu, bird watching menjadi salah satu potensi besar dalam pengembangan pariwisata di Tambrauw berbasis kearifan lokal,” jelas Sepus.
Tambrauw juga memiliki empat jenis kanguru pohon, penyu belimbing sejenis penyu raksasa terbesar di dunia yang bisa mencapai panjang dua meter dan merupakan reptil keempat terbesar di dunia setelah tiga jenis buaya. Penyu belimbing hanya bertelur di Tambrauw dan selama bertahun-tahun bermigrasi ke Florida untuk mencari sumber makanan. Setelah mencari makan di Florida, penyu belimbing akan kembali ke Tambrauw untuk bertelur sebab suhu pasir di Tambrauwlah yang sesuai dengan yang ia butuhkan.
ADVERTISEMENT
Sepus menekankan pentingnya pemerintah dan masyarakat setempat memanfaatkan konstruksi tradisional untuk membangun destinasi wisata berbasis kearifan lokal. Misalnya dengan tidak berburu satwa-satwa dilindungi seperti burung cendrawasih. Masyarakat didorong untuk membangun infrastruktur-infrastruktur tradisional seperti jalan setapak, cottage, jajanan tradisional, menyiapkan local guide, dan sebagainya.
“Turis datang bapak ibu yang akan angkut barang, yang akan masak makanan, satu hari taruhlah (dapat penghasilan) Rp 500 ribu, dikalikan satu minggu, berapa yang didapat. Daripada dengan satu kali kalian tembak burung kuning dapat satu juta tapi setelah itu tidak ada keberlanjutannya. Lebih baik itu burung kita foto bersama turis, itu kita dapat manfaatnya terus,” kata Sepus.
Dengan mendapat manfaat ekonomi lebih ketimbang menebang pohon, berburu satwa liar, dan aktivitas merusak lainnya, masyarakat akan terus menjaga hutan dan kearifan adat lainnya.
ADVERTISEMENT
“Tantangan terberat saat ini adalah mengubah mindset pemerintah pusat untuk memahami semangat konservasi itu yang agak susah,” ujar Sepus.
Sepus menyebut tantangan lain terkait pola kepemimpinan di Indonesia yang belum sistemik yang membuat kebijakan akan berganti seiring bergantinya pemimpin baik di tingkat daerah maupun pusat. Perubahan regulasi seperti sudah tidak adanya dinas kehutanan di tingkat kabupaten atau kota, misalnya, padahal di daerah-daerah tertentu seperti di Papua ada urusan di bawah yang harus diselesaikan. Hal itu menurut Sepus membuka celah illegal loging sebab biaya untuk mencegahnya yakni dengan mengurus masalah agraria yang jadi sebab illegal loging itu, masyarakat harus pergi ke Jakarta dengan biaya yang tak sedikit.
Setelah menyelesaikan studi S3 di UGM, Sepus akan pulang ke kampung halamannya di Tambrauw. Dia bertekad mewujudkan semua konsep-konsep itu.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya, akan menjadi seorang akademisi atau bekerja di pemerintahan, Sepus enggan memilih salah satu. “Saya tetap dua-duanya, akademisi yang mempengaruhi kebijakan pemerintah,” katanya. (Widi Erha Pradana / YK-1)