Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kancil Enggak Pernah Nyolong Timun Lho, Moms
email: [email protected]
8 Desember 2019 8:22 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Si Kancil anak nakal, suka mencuri timun
Ayo lekas dikurung, jangan diberi ampun”
ADVERTISEMENT
Lirik lagu Si Kancil Nakal yang diajarkan guru SD dulu langsung terpatahkan ketika saya mendengar cerita Taufiq Kurniawan, 38 tahun, tentang wayang kancil. Taufiq tak sepakat dengan lagu karya Ibu Soed itu, sebab berdasarkan Serat Kancil yang ada, menurutnya kancil adalah lambang kesatria Jawa.
Kesatria Jawa tidak berbadan besar, layaknya penggambaran kesatria-kesatria atau superhero ala Eropa. Meski berbadan kecil, namun kesatria Jawa memiliki watak yang cerdik namun memiliki kebijaksanaan. Karena itu, dalam dunia wayang kancil, tokoh kancil dijuluki sebagai jaksa yang selalu bisa menyelesaikan setiap persoalan.
“Satria Jawa itu tidak pernah digambarkan seperti kesatria Eropa seperti Avenger yang badannya besar-besar. Satria Jawa itu orangnya kecil, kurus, cerdik tapi dia memiliki kebijaksanaan,” ujar Taufiq ketika ditemui di Sanggar Wayang Kancil Mbah Ledjar, Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta, Selasa (26/11).
ADVERTISEMENT
Stigma kancil sebagai hewan yang licik dan nakal kemudian mulai berkembang pada 1950-an ketika Ibu Soed menciptakan lagu Si Kancil Nakal. Taufiq yang merupakan murid Mbah Ledjar, tokoh yang menghidupkan lagi wayang kancil pada sekitar 1980-an bercerita bagaimana Mbah Ledjar menyayangkan penggambaran tokoh kancil dalam lagu anak-anak itu.
Mbah Ledjar, seperti yang diceritakan Taufiq menduga kalau Ibu Soed belum mengetahui cerita kancil yang sebenarnya. Sehingga dalam membuat lagu tersebut, dia hanya mengambil sepotong-sepotong dari kisah yang termuat dalam Serat Kancil.
“Dan ini akhirnya menjadi stigma buruk bagi orang Jawa,” lanjut Taufiq.
Taufiq juga memiliki persepsi bahwa lagu Si Kancil Nakal tak sesuai dengan norma keagamaan. Hal itu dia lihat dari lirik “Jangan diberi ampun” yang menurutnya sangat tidak sesuai dengan ajaran agama. Akibatnya, ketika lagu itu didengar oleh anak-anak, maka akan membuat mereka memiliki karakter keras dan enggan memberi maaf.
ADVERTISEMENT
“Gusti Allah itu Maha Pengampun lho. Tuhan itu di manapun Maha Pengampun. Itu kan malah kayak nggak bertuhan,” kata dia.
Si Kancil dan Kolonialisme
Taufiq mengatakan ada dugaan kuat kolonialisme sengaja mengaburkan ajaran-ajaran leluhur nusantara, termasuk kisah Si Kancil. Stigma licik atau nakal yang melekat pada kancil, menurutnya, kental dengan unsur politis.
Dongeng kancil sebagai hewan yang licik dan nakal diceritakan di sekolah-sekolah yang merupakan konsep pemerintahan kolonial seperti HIS, MULO, dan sebagainya.
“Yang notabene (siswanya) itu anak orang-orang kaya, anak pejabat, anak orang-orang penting, mereka diajari itu. Sekolah itu kan sangat terpengaruh kolonial, karena itu konsep sekolah tidak pernah digunakan Ki Hadjar Dewantara,” kata Taufiq.
Sistem pendidikan di Jawa menurut Taufiq sebenarnya tidak mengenal sekolah seperti yang berkembang sekarang. Yang dikenal dalam sistem pendidikan di Jawa pada mulanya seperti padepokan atau pondok pesantren. Namun ketika pemerintah kolonial masuk menjajah Indonesia, semua sistem itu diganti dengan yang disebut-sebut sebagai pendidikan modern ala Eropa: sekolah klasikal yang berlangsung di ruang kelas yang baku.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang jaksa, kancil memang harus cerdik yang kemudian banyak diartikan licik. Tetapi kelicikannya itu digunakan untuk membela hewan-hewan lemah yang kerap ditindas, misalnya, kerbau, kambing, dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan manusia, jika menghadapi musuh orang-orang jahat yang memiliki kekuasaan, maka jalan perlawanan yang harus ditempuh adalah kecerdikan. Sebab, jika mengandalkan otot untuk melawan, mustahil musuh bisa dikalahkan.
“Licik menurut siapa? Menurut musuhnya. Kalau menurut yang dibela, dia (kancil) cerdik,” ujar Taufiq.
Pemerintah kolonial sangat takut dan terusik dengan simbolisasi-simbolisasi yang dimiliki orang Jawa. Maka, mereka berusaha bagaimana merusak simbol-simbol itu untuk menjatuhkan kepercayaan diri orang Jawa. Sehingga konsep cerita-cerita seperti Si Kancil Nyolong Timun yang ditonjolkan selalu mencurinya.
Melalui cerita itu, pemerintah kolonial memberikan stigma kepada orang Jawa bahwa mereka suka mencuri. Tujuannya, selain untuk memutus warisan leluhurnya juga untuk menjatuhkan kepercayaan diri orang Jawa.
ADVERTISEMENT
“Sehingga pada saat itu, Mbah Ledjar merasa susah sekali, sedih kalau dengar lagu Si Kancil ini. Kancil kok jadi seperti ini,” kata Taufiq.
Kancil Nyolong Timun dan Keserakahan Manusia
“Kamu sudah mencuri mau kabur kamu?” kata Pak Tani kepada Kancil.
“Lho, yang aku curi apa?” Kancil berbalik tanya.
“Kamu makan mentimunku,” jawab Pak Tani.
“Memang mentimunmu itu dari mana?”
“Aku menanam, di lahanku sendiri”
“Lho lahanmu itu dari mana?”
“Aku menebang pohon di hutan”
“Hutan itu milik siapa? Milik kami kan? Ketika kamu memotong pohon di hutan, dan kemudian menggunakan itu sebagai area pertanian, maka pangan kami juga terancam. Saya nggak bisa makan, Pak Tani. Ketika saya nggak bisa makan, maka saya akan mati. Apakah salah saya memakan mentimunmu yang itu ada di lahan hutanku. Yang dulu itu hutanku tiba-tiba nggak tahu apa-apa, kamu tidak punya perjanjian sama saya, tiba-tiba kamu potongin. Pohon-pohon kamu habiskan lalu kamu tanami mentimun, tentu saja saya makan di sini. Jadi yang mencuri siapa? Sampean atau saya?” jawab Kancil.
ADVERTISEMENT
Mendengar jawaban Kancil, Pak Tani mulai berpikir, benar juga apa yang dia katakan. Akhirnya Pak Tani yang tadinya berniat menyembelih Si Kancil mengurungkan niatnya dan membolehkan dia makan mentimun di kebunnya.
“Iya Pak Tani. Sekarang seberapa kuat saya makan? Apakah habis ladang mentimun yang berhektar-hektar hanya karena saya? Nggak akan habis,” jawab Kancil lagi.
Percakapan antara Pak Tani dan Kancil itu ada di penghujung cerita Kancil Nyolong Timun yang dikembangkan Mbah Ledjar. Kisah itu tak pernah saya dengar ketika SD dulu, yang saya tahu pokoknya kancil itu nakal, licik, dan suka mencuri timun milik Pak Tani.
Taufiq mengatakan, dari kisah itu Pak Ledjar ingin menyampaikan agar menjadi manusia itu jangan serakah, harus tahu proporsi dan berbagi dengan mahluk lain baik hewan maupun tumbuhan. Pesan-pesan itu yang sering digunakan Mbah Ledjar dulu untuk berkampanye, mengajak agar masyarakat menjaga keseimbangan alam melalui wayang kancil.
ADVERTISEMENT
Menurut Taufiq, pesan itu sampai sekarang semakin relevan. Misal ketika ada berita monyet masuk ke ladang warga, gajah atau harimau masuk ke perkampungan, dan sebagainya, manusia langsung memusuhinya. Manusia menganggap hewan-hewan itu adalah perusak dan subjek utama atas permasalahan.
“Padahal mereka (hewan) itu kan ke lahan warga karena kehilangan tempat tinggal. Siapa yang merebut tempat tinggal mereka? Manusia,” kata Taufiq.
Menumbuhkan Karakter Melalui Wayang Kancil
Di beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Australia, dan negara-negara Eropa, wayang kancil sudah mulai dikembangkan menjadi media pembelajaran. Menurut Taufiq, selain untuk berkampanye soal lingkungan serta mengenalkan jenis-jenis hewan kepada anak, wayang kancil juga bisa digunakan sebagai media menumbuhkan karakter anak.
Misalnya bagaimana Si Kancil menyelesaikan berbagai masalah dengan ide-ide cerdiknya. Selain itu, tokoh Kancil yang selalu membela hewan-hewan yang lemah juga dinilai penting dalam menumbuhkan karakter anak.
ADVERTISEMENT
Misal dalam kisah kerbau dan buaya. Ketika banjir, sebuah pohon tumbang menimpa buaya. Kerbau yang lugu kemudian memindahkan pohon itu dan menggendong buaya untuk naik ke darat. Namun bukannya berterima kasih, si buaya justru tak mau turun dan hendak memakan kerbau. Beruntung tak lama kemudian si kancil datang.
Sebagai tokoh yang memang sering dimintai solusi, kancil lalu meminta adegan kerbau yang menyelamatkan buaya direkontruksi ulang. Buaya masuk lagi ke sungai, lalu pohon yang sudah disingkirkan sebelumnya diletakkan lagi di atas buaya yang tak tahu terima kasih. Buaya memohon agar pohon itu disingkirkan lagi, namun kancil menolak sampai buaya mau minta maaf kepada kerbau.
“Di situ kan anak diajarkan agar kebaikan itu harus dibalas dengan kebaikan,” kata Taufiq.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita di dalam wayang kancil juga lebih dekat dengan anak-anak. Tidak seperti lakon-lakon dalam wayang purwa yang tragis-tragis, lakon wayang kancil selalu dibuat happy ending. Sebelum dikenalkan dengan wayang purwa, menurut Taufiq anak-anak perlu dikenalkan dulu dengan wayang kancil.
“Wayang purwa itu tragis, perang terus. Nanti malah anak-anak kecil suka perang. Karena itu perlu ada jembatannya, pakai wayang kancil ini,” lanjut Taufiq.
Pada dasarnya, wayang kancil ini memang didesain untuk anak-anak, sebagai jembatan sebelum mereka mengenal wayang purwa. Cerita yang lebih sederhana dan memungkinkan banyak improvisasi dinilai lebih cocok untuk anak-anak, terutama usia TK dan SD.
Selama ini, anak-anak dikenalkan pada wayang menggunakan nalar dewasa dengan cerita-cerita yang tak terjangkau oleh nalar mereka. Menurut Taufiq, hal itu justru akan lebih sulit diterima anak-anak, terlebih semakin sedikit yang paham dengan Bahasa Jawa kuno seperti yang sering dipakai dalang pada umumnya.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya wayang justru semakin tidak berkembang,” kata dia.
Kendati demikian, wayang kancil bukanlah saingan wayang purwa. Selain segmennya berbeda, setelah di usia dini mengenal wayang kancil, nantinya pasti seorang anak akan berkembang untuk mengenal wayang purwa dengan sendirinya. Karena itu, Taufiq yang sudah menekuni wayang kancil bersama Mbah Ledjar sejak 2003 menyebut wayang kancil sebagai jembatan seorang anak untuk mengenal wayang purwa.
Wayang Kancil, Tasawuf, dan Seni Adiluhung
Dalam Serat Kancil, menurut Taufiq, sebenarnya wayang kancil lebih banyak menyinggung soal tasawuf atau ajaran-ajaran ketuhanan. Misalnya tentang sifat-sifat Tuhan, bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, hingga didapat kebahagiaan yang abadi.
Nuansa itulah yang ke depan ingin dibawakan oleh Taufiq di dalam wayang kancil. Namun, untuk saat ini, dia masih fokus bagaimana mengajarkan dan mengenalkan anak-anak pada wayang kancil.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, wayang menurut Taufiq merupakan seni budaya yang adiluhung. Keadiluhungan itu dia lihat dari selalu adanya pesan atau gagasan dalam setiap pementasan wayang. Bahkan pementasan wayang yang sama, ketika dilihat ulang melalui video misalnya, akan selalu ada pesan atau gagasan berbeda yang didapat dari penontonnya.
“Misalnya lakon Kancil Nyolong Timun, itu divideo. Hari ini saya melihat video itu, dengan besok saya melihatnya lagi, lusa melihatnya lagi, itu selalu ada gagasan berbeda yang saya dapat. Di video yang sama itu yang kita dapatkan beda, nah adiluhung itu di situ,” ujar Taufiq.
Sehingga meski lakon yang sama dibawakan berkali-kali, orang tak akan bosan melihatnya. Latar belakang orang yang menonton wayang juga sangat mempengaruhi gagasan atau pesan yang dia dapat.
ADVERTISEMENT
“Kalau wayang dilihat oleh anak-anak, dia akan dapat nalarnya sendiri, dilihat seorang militer, maka dia akan mendapatkan jawaban dari permasalahannya. Ketika dilihat oleh seorang guru, maka dia juga akan mendapatkan pencerahan dari wayang itu. Ketika dilihat oleh seorang petani, maka dia juga akan dapat solusi dari masalahnya,” kata Taufiq. (Widi Erha Pradana / YK-1)