Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kartu Tani dan Problem Penyaluran Pupuk Bersubsidi
email: [email protected]
10 September 2020 19:52 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mulai September ini, penyaluran bantuan pemerintah untuk petani seharusnya dilakukan melalui kartu tani. Salah satu bantuan yang disalurkan lewat kartu tani adalah pupuk bersubsidi. Dengan adanya perubahan mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi ini, membuat petani wajib memiliki kartu tani untuk bisa menebus pupuk bersubsidi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini dilakukan berdasarkan Surat Ketua KPK No. 8/4079/KSP.001/1-16/08/2020 yang mewajibkan penggunaan kartu tani dalam penebusan pupuk bersubsidi. Namun karena pada pelaksanaannya masih banyak petani yang belum memiliki kartu tani, maka kebijakan tersebut dilakukan secara bertahap.
“Para petani yang belum memiliki kartu tani dalam melaksanakan penebusan pupuk bersubsidi tetap menggunakan metode atau cara manual,” ujar Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy pada seminar daring yang diadakan oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Selasa (8/9).
Saat ini, petani yang sudah tercatat dalam sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompoktani (eRDKK) adalah sebesar 13,9 juta petani. Sementara kartu tani yang sudah tercetak baru sekitar 66,7 persennya, yakni sekitar 9,3 juta petani. Sementara kartu tani yang sudah terdistribusikan baru sekitar 6,2 juta kartu atau 44,6 persen, dan kartu tani yang sudah digunakan baru sekitar 1,2 juta kartu atau sekitar 8,6 persen.
ADVERTISEMENT
“Sehingga pelaksanaannya kita juga harus menyesuaikan dengan kondisi petani di lapangan,” lanjutnya.
Terpisah, dalam webinar yang bertajuk Meninjau Ulang Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, Selasa (8/9), Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, mengatakan bahwa DPR sebenarnya belum sepakat dan belum mewajibkan petani memiliki kartu tani untuk mendapatkan pupuk subsidi. “Pertemuan rapat DPR dan Kementan, kita tidak mewajibkan adanya kartu tani ini,” katanya.Pada rapat kerja bersama Komisi IV DPR pada Kamis (27/8) Mentan Syahrul Yasin Limpo pun telah menyetujui bahwa penggunaan Kartu Tani akan diundur setahun menunggu kesiapan semua daerah.
Mengapa Alokasi Pupuk Bersubsidi Turun
Sarwo Edhy membocorkan alasan berkurangnya alokasi pupuk bersubsidi pada 2020. Persoalan anggaran, membuat volume alokasi pupuk bersubsidi berkurang sekitar 1 juta ton dari tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Pada 2019, volume alokasi pupuk bersubsidi sebesar 8,87 juta ton dengan perhitungan luas sawah sebesar 7.125.000 hektar. Sementara pada 2018 volume alokasi pupuk bersubsidi sebesar 9,28 juta ton. Pada 2018, perhitungan luas sawah sebesar 7.750.000 hektar.
Namun setelah dilakukan verifikasi dan validasi ulang, pada Desember 2019 luas sawah yang tercatat menjadi 7.463.948 hektar. Akibatnya, dengan luas lahan baku sawah yang lebih tinggi namun volume subsidi turun menjadi 7,9 juta ton mengakibatkan alokasi pupuk bersubsidi di tiap daerah menjadi berkurang.
“Sehingga harap maklum kalau misalnya ada di beberapa titik mungkin pupuk sudah menipis atau mungkin juga realisasinya sudah di atas 100 persen,” ujar Sarwo Edhy.
Untuk mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut, maka pemerintah melakukan realokasi pupuk bersubsidi. Realokasi pertama dilakukan antar desa dan kecamatan dalam satu kabupaten. Namun jika kuota dalam satu kabupaten sudah habis, maka realokasi dilakukan antarkabupaten dalam satu provinsi.
ADVERTISEMENT
“Kalau dalam satu provinsi itu habis juga kami mengambil inisiatif melakukan realokasi antarprovinsi tentunya dengan kewenangan Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian,” ujarnya.
Langkah lain untuk memenuhi kebutuhan pupuk berjalan adalah dengan melakukan penarikan alokasi pupuk dari bulan-bulan yang akan datang. Misalnya ketika pada September alokasi sudah habis, maka bisa menarik pupuk yang mestinya dialokasikan untuk bulan Oktober atau November.
“Lalu bagaimana kalau habis? Kalau habis kita akan melakukan realokasi antarprovinsi atau antarkabupaten,” lanjutnya.
Yang Terlibat dalam Program Pupuk Bersubsidi
Kementerian Pertanian (Kementan) bukan satu-satunya komponen pemerintahan yang menjadi stakeholder dalam program pupuk bersubsidi. Komponen pertama yang terlibat dalam pengadaan pupuk bersubsidi adalah Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan dalam hal ini berperan dalam penetapan dana subsidi, cara penyediaan anggaran, perhitungan pembayaran dan pertanggung jawaban, serta penetapan mekanisme pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi.
ADVERTISEMENT
“Jadi uangnya ada di Kementerian Keuangan, sebagai pelaksana penugasannya ada di Pupuk Indonesia tentunya dengan semua anak perusahaannya,” ujar Sarwo Edhy.
Sarwo Edhy menampik anggapan bahwa penunjukkan Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk bersubsidi merupakan bentuk monopoli. Menurutnya, kebijakan tersebut bertujuan untuk stabilisasi harga pupuk supaya petani bisa membeli pupuk dengan harga murah sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah.
Komponen berikutnya yang terlibat adalah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang memiliki kewenangan untuk pengaturan distribusi pupuk bersubsidi ke tiap daerah. Dalam proses penyalurannya, terdapat beberapa lini. Lini pertama ada di produsen, lini II gudang produsen di provinsi, lini III gudang produsen di tingkat kabupaten atau distributor, serta lini IV merupakan kios pengecer yang merupakan kepanjangan tangan dari para distributor. Alur distribusi dari produsen sampai ke tangan petani inilah yang menjadi kewenangan Kemendag.
ADVERTISEMENT
“Di kios pengecer inilah kunci dalam penyaluran pupuk bersubsidi dan berhubungan langsung dengan para petani kita,” lanjutnya.
Komponen berikutnya ada Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang memiliki kewenangan melakukan standarisasi pupuk bersubsidi. Sehingga pupuk bersubsidi yang disalurkan kepada petani memiliki kualitas yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sementara penetapan produsen pupuk bersubsidi merupakan kewenangan Kementerian BUMN, dimana PT Pupuk Indonesia ditetapkan sebagai produsen pupuk bersubsidi.
Lalu, di mana peran Kementan? Sarwo Edhy mengatakan bahwa Kementan memiliki kewenangan untuk menetapkan alokasi pupuk bersubsidi berdasarkan rapat yang dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian setelah mendapat persetujuan DPR.
“Kemudian menetapkan HET melalui review dengan BPKP,” ujarnya.
Belakangan kata Sarwo Edhy, ada saran dari sejumlah pihak untuk menaikkan HET. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penghematan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah maupun untuk menambah volume pupuk bersubsidi yang bisa disediakan. Namun kenaikan HET ini belum bisa direalisasikan karena dikhawatirkan akan semakin memberatkan petani di tengah situasi pandemi ini.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita menaikkan per kilogramnya Rp 300 saja, maka kita akan mendapatkan kalau 8 juta ton berarti Rp 2,4 triliun. Ini bisa untuk menambah kekurangan pupuk untuk tahun berikutnya,” lanjutnya.
Petani Awam, Butuh Pendampingan Lebih Intensif
Agung Widadi, salah seorang petani di Lendah, Kulon Progo mengatakan bahwa saat ini dia masih kesulitan menebus pupuk bersubsidi meski sudah menggunakan kartu tani karena stok di kios eceran sudah tidak tersedia.
“Mau ndak mau beli pupuk nonsubsidi. Saya pakai oplosan, Urea, TS, sama ZA,” ujar Agung menggunakan bahasa Jawa, Rabu (9/9).
Selain sulit karena kerap kehabisan stok, mekanisme penebusan pupuk bersubsidi menggunakan kartu tani juga dinilai masih rumit. Pasalnya, di desanya banyak petani-petani yang sudah tua sehingga masih awam dengan teknologi.
ADVERTISEMENT
“Banyak yang punya (kartu tani), tapi ndak dipakai. Soalnya ribet, harus nabung ke bank dulu, orang ndak pernah nabung di bank,” lanjutnya.
Apalagi kualitas pupuk bersubsidi dan nonsubsidi menurutnya juga memiliki perbedaan yang cukup jauh, lebih bagus pupuk nonsubsidi. Sehingga masih banyak petani yang memilih membeli pupuk nonsubsidi, meski harus merogoh kocek lebih dalam.
Menurutnya, perlu ada pendampingan yang lebih intensif terhadap para petani, khususnya petani-petani yang sudah berumur dan belum terbiasa menggunakan teknologi. Sejauh ini, pendampingan seperti itu menurutnya masih kurang dilakukan, sehingga realisasi kartu tani belum optimal.
“Daripada ngantri di bank, harus nunggu lama, mending ke sawah,” ujar Agung. (Widi Erha Pradana / YK-1)