Kepergian Raksasa Studi Jawa M.C. Ricklefs, Kehilangan Terbesar Jogja
email: [email protected]
Konten dari Pengguna
29 Desember 2019 23:26 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa rasanya jadi Merle Calvin Ricklefs? Berita menerjang setiap detik, bersiap menjadi sejarah begitu detik itu lewat. Dan di antaranya Ricklefs meninggal dunia. Nasib catatan peristiwa adalah kesunyian para sejarawan dan kesunyian paripurna milik semua raksasa pembelajar. Prof MC Ricklefs, lahir 1943, meninggal dunia hari ini, Minggu 29 Desember 2019, pada pukul 10.30 waktu setempat di Melbourne.
ADVERTISEMENT
“Duka terdalam untuk kepergian Prof Ricklefs, ini adalah kehilangan besar Jogja, Indonesia, dan studi sejarah Indonesia,” kata Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Sri Margana, saat saya hubungi melalui sambungan telepon, Minggu (29/12) petang.
Jogja, berhutang besar pada Ricklefs sebab beliau adalah orang pertama yang menulis sejarah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang kemudian disusul oleh banyak sekali studi tentang Jawa, pada masa Kartosuro, perkembangan Islam Jawa, dan sejarah Indonesia modern periode 1200 – 2008.
“Studi terakhir dia yang merupakan perkembangan dari disertasi pertamanya, Yogyakarta di bawah Mangkubumi 1749-1792. Berjudul Pangeran Sambernyawa dan bercerita tentang Mangkunegaran,” kata Margana.
Sejarawan Pertama dengan Babad sebagai Sumber Utama
Pada tahun 1957 untuk pertama kalinya para sejarawan Indonesia menggelar Seminar Sejarah berskala nasional di Jogjakarta. Kala itu, para sejarawan senior penulisan sejarah Indonesia mengemukakan pentingnya penulisan sejarah Indonesia yang berspektif Indonesia. Sebab, pada waktu itu sebagian besar sejarah Indonesia ditulis oleh orang Belanda dengan menggunakan perspektif kolonial.
ADVERTISEMENT
Dan baru pada awal 70-an, seorang Indonesianis yang berasal dari Australia, M.C. Ricklefs menulis disertasi untuk program doktoral di Universitas Cornell Amerika Serikat, seperti yang diimpikan oleh para sejarawan Indonesia di tahun 1957.
“Ricklefs lah yang pertama menulis sejarah Jawa, Indonesia, dengan menjadikan sumber-sumber Indonesia, yakni naskah babad, sebagai rujukan utama,” terang Margana.
Sebelum Rickelfs memulai, profesor-profesor Belanda meremehkan validitas sumber-sumber sejarah Jawa yang ditulis oleh orang Jawa sendiri.
“Babad itu dianggap entut berut, omong kosong, penuh mistik dan tidak rasional,” jelas Margana.
Prof Ricklefs lah yang kemudian bisa meyakinkan komunitas keilmuan barat bahwa Babad yang ditulis oleh pujangga-pujangga Jawa memiliki value yang sangat kuat untuk mempelajari Jawa terutama jika ingin melihat bagaimana perspektif Jawa atas yang mereka alami sendiri.
ADVERTISEMENT
“Mitologi dalam babad Jawa di tangan Ricklefs bisa dibuka tabur pasemonnya. Pasemon atau fakta yang disembunyikan adalah metoda pujangga Jawa dalam menulis sejarah. Pasemon itu ternyata akurat saat diperbandingkan dengan sumber-sumber Belanda,” Margana melanjutkan.
Margana menunjuk HJ De Graff sebagai pendahulu Ricklefs dalam usahanya menggunakan teks babad sebagai rujukan utama. De Graff memang orang pertama yang menggunakan babad, namun di tangan De Graff, babat belum menjadi rujukan utama, baru digunakan sebagai naskah pembanding. Ricklefs juga pernah menjadi asisten De Graff sehingga selain mematangkan metoda yang telah dirintis De Graff, Ricklefs juga mendapat banyak hibah manuskrip dari De Graff.
“Sehingga bisa kita katakan Ricklefs adalah pewaris dan penyempurna tradisi keilmuan sejarah Jawa dan Indonesia oleh De Graff,” kata Margana.
ADVERTISEMENT
Pangeran Samber Nyawa
Beberapa waktu lalu, sebelum kesehatannya terus menurun, Ricklefs sempat menyelesaikan buku terakhirnya yang mengulas mengenai Pangeran Samber Nyawa julukan dari Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I.
Ricklefs ingin terjemahan bukunya dalam bahasa Indonesia bisa diluncurkan sebelum ia meninggal. Tapi sayang, baru tahun depan penerbit Kompas Gramedia bisa menerbitkannya.
Sri Margana punya kenangan khusus mengenai proses penerjemahan naskah Pangeran Samber Nyawa yang ditulis dalam bahasa Inggris itu.
Ricklefs ingin penerjemahan dalam bahasa Indonesia ditangani oleh orang yang benar-benar menguasai budaya Jawa. Ricklefs menulis surat kepada Indonesianis besar lainnya, Prof Peter Carey, mengenai keinginannya itu. Namun, Carey tidak punya banyak waktu untuk mengerjakan penerjemahan Pangeran Samber Nyawa. Lalu, Ricklefs mengarahkannya pada Sri Margana yang juga tidak punya waktu yang cukup untuk menyelesaikan dalam deadline yang dinginkan Ricklefs.
ADVERTISEMENT
“Saya bilang bagaimana kalau dikerjakan kolega saya, Doktor Yuanda Zara sejarawan UNY. Coba dulu satu dua bab, kata beliau. Dicoba dan cocok dan kemudian diurus oleh Gramedia,” terang Margana.
Ricklefs memulai studinya tentang Jawa dengan Pangeran Mangkubumi pendiri Kraton Yogya dan mengakhiri studinya dengan Pangeran Samber Nyawa pendiri Pura Mangkunagaran di Surakarta.
Di antara itu, karya penting Ricklefs lainnya, menurut Sri Margana, di antaranya; Mataram pada masa Kartasura, yang disusul dengan trilogy sejarah Islam Jawa yakni, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourtheenth to Early Nineteenth Centuries (2006), Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930 (2007), dan Islamisation and Its Opponents in Java (2012).
ADVERTISEMENT
“Total ada 5 karya beliau yang sudah terbit dan memang dikaji berdasar sumber Jawa sebagai bahan utama dan juga sumber Belanda,” kata Margana.
Mengedit dan menerjemahkan babad Sengkala yang kini jadi koleksi British Museum juga disebut Margana sebagai kerja penting Ricklefs. Ricklefs juga membuat bibliografi naskah Jawa yang ada di Inggris yang dulu dirampas oleh Rafles, yang kini sudah diterbitkan.
Warisan Paleografi VOC untuk Margana
Kenangan terakhir yang begitu membekas bagi Sri Margana dimulai dari email Ricklefs kira-kira dua tahun yang lalu seusai Ricklefs menyelsaikan buku Pangeran Samber Nyawa. Ricklefs menulis bahwa dirinya sudah tua dan terkena kanker yang menurut dokter umurnya tak akan panjang lagi. Oleh karenanya dia harus pindah ke rumah yang lebih kecil untuk mendekati lokasi rumah sakit. Konsekuensinya, Ricklfes harus mengurangi koleksi perpusnya, lalu menanyakan apakah Margana dan UGM mau menerima beberapa koleksi naskahnya sebelum dia mati. Untuk itu Margana harus mau membayar paket dari Australia ke Jogja.
ADVERTISEMENT
“Ya prof, saya bersedia. Total ada 9 box container besar yang berupa arsip sejarah periode VOC yang sudah dibikin jadi microfilm. Itu naskah lengkap periode VOC selama 2 abad,” kata Margana.
Bukan tanpa alasan UGM dan Sri Margana menerima warisan naskah tua periode VOD. Sebab saat ini di Indonesia, Sri Margana adalah satu-satunya sejarawan yang bisa membaca Paleografi (ilmu yang mempelajari tulisan tangan kuno) Belanda era VOC. Ya, teks-teks koleksi Ricklefs adalah laporan-laporan VOC yang semuanya berupa tulisan tangan.
“Dulu ada Dokter Muridan Sastrowardoyo yang sudah almarhum dan ada Mas Bondan Kanumoyoso yang sekarang menekuni bidang lain. Kami sama-sama lulusan Leiden yang belajar Paleografi Belanda kolonial. Maka ini adalah amanah besar untuk kami di UGM,” jelas Margana.
ADVERTISEMENT
Begitu mendengar kabar meninggalnya Prof Ricklefs, Sri Margana langsung berencana membuat seminar besar yang akan mengundang Indonesianis dari seluruh Indonesia untuk mengenang dan mencatat warisan keilmuan Ricklefs.
“Mungkin 3 bulan lagi ya, agar semuanya layak, untuk mengenang jasa besar Ricklefs bagi Indonesia,” jelas Margana.
Terakhir Margana mengingatkan bahwa untuk mempelajari teks-teks babad, Ricklefs mempelajari bahasa Jawa dan fasih menggunakan bahasa Jawa dengan seluruh stratanya dari ngoko hingga kromo halus. Dan sampai saat ini, menurut Margana, belum ada sejarawan Indonesia yang mendekati Ricklefs dalam kemampuannya berbahasa Jawa.
Tapi, kini Ricklefs telah pergi, meninggalkan Jawa selama-lamanya. Dalam pusaran sejarah dan imaji panjang masa lalu Jawa, bagaimana rasanya kita, menjadi Jawa di hadapan jenazah Ricklefs yang kini terbaring di Melbourne ?
ADVERTISEMENT
Untuk utang-utang yang tak akan terbayar, nyuwun pangupunten lan maturnuwun, Profesor Merle Calvin Ricklefs. (ES Putra)