Konten dari Pengguna

Keramaian Burung Kedasih Migran di Langit Jawa Setiap Musim Pancaroba

10 Juni 2020 21:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto burung kedasih dari Birds of India
zoom-in-whitePerbesar
Foto burung kedasih dari Birds of India
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi, suara burung kedasih dikabarkan kerap terdengar di Yogyakarta, bahkan hingga ke permukiman padat penduduk. Burung yang memiliki nama latin Cacomantis merulinus ini ada yang menyebut dengan nama burung daradasih, kukuk atau burung wiwik.
ADVERTISEMENT
Ada mitos, kehadiran burung kedasih dengan suaranya yang dianggap mengerikan oleh kebanyakan orang ini dapat membawa petaka. Slamet Raharjo, salah seorang Dosen di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKH UGM membenarkan adanya mitos di tengah masyarakat tentang burung kedasih.
Sebagian masyarakat Jawa selama ini mempercayai bahwa kehadiran burung kedasih merupakan pertanda akan datangnya wabah atau bencana. Slamet mengatakan mitos tersebut berkembang karena kehadiran burung kedasih yang memang bersamaan dengan musim pancaroba yang kerap menimbulkan berbagai penyakit.
“Di masyarakat Jawa memang ada mitos begitu, karena pas burung ini lewat Jawa selalu pada musim pancaroba dari musim hujan ke kemarau,” jelas Slamet Raharjo ketika dihubungi, Senin (1/6).
Pada masa-masa peralihan musim itu, banyak terjadi kasus penyakit yang menyerang masyarakat. Namun setelah memasuki musim kemarau dan cuaca kembali stabil, penyakit dengan sendirinya akan menghilang bersamaan dengan hilangnya suara burung kedasih.
ADVERTISEMENT
Burung Kedasih Bermigrasi
Burung-burung kedasih yang berbunyi tepat pada musim pancaroba menurut Slamet dikarenakan mereka sedang bermigrasi. Kebetulan, ketika pancaroba, mereka sedang melewati pulau Jawa. Ribuan burung kedasih migran ini berasal dari Asia Daratan seperti India menuju Benua Australia. Ketika musim pancaroba seperti sekarang, ribuan kedasih kembali dari Aussie ke utara dan melewati pulau Jawa, tidak terkecuali Yogyakarta.
Mereka akan menghindari musim dingin, sehingga ketika di utara sedang mengalami musim dingin mereka akan bermigrasi ke selatan. Begitupun sebaliknya, jika di Australia dan Selandia Baru sedang mengalami musim dingin, mereka akan kembali ke utara.
“Sekarang di selatan sedang menjadi dingin, mulai Maret sampai April mereka akan kembali ke Asia dan melewati Indonesia,”kata Slamet Raharjo.
ADVERTISEMENT
Ketika burung ini sampai di utara, di sana akan memasuki awal musim semi yang merupakan awal musim kawin bagi mereka. Karena itu, ketika melintasi wilayah Indonesia para kedasih jantan akan lebih sering berkicau untuk menarik perhatian kedsih betina.
“Sehingga kalau sudah sampai di tempat asalnya, mereka sudah dapat jodoh dan siap untuk breeding,” lanjutnya.
Apalagi saat ini aktivitas manusia sedang menurun drastis karena adanya pandemi. Sehingga burung-burung kedasih tersebut tidak hanya melewati wilayah pedesaan yang masih sepi, tapi juga sampai ke kota. Karena belum memahami fenomena migrasi burung inilah, masyarakat kuno beranggapan bahwa kehadiran burung kedasih akan menyebabkan bencana atau pageblug.
“Jadi sebetulnya bunyi burung kedasih sama sekali bukan alarm pageblug (bencana). Kondisi ini oleh masyarakat Jawa yang berbasis budaya ‘klenik’ menjadikan suara burung kedasih ini ‘digoreng’ dan dikaitkan dengan munculnya penyakit atau pageblug,” tegas Slamet.
ADVERTISEMENT
Diasuh Oleh Ibu Tiri
Asman Adi Purwanto dari Paguyuban Pengamat Burung Yogyakarta mengatakan beberapa jenis burung kedasih memang ada yang bermigrasi, namun sebagian ada juga yang penetap. Di Indonesia, beberapa jenis burung kedasih yang kerap dijumpai di antaranya kedasih kelabu, kedasih uncuing, kedasih lurik, dan kedasih hitam
Asman juga tidak menampik bahwa di tengah masyarakat Jawa, burung kedasih sering dikaitkan dengan beragam mitos mengerikan. Tak hanya dimitoskan sebagai pembawa pageblug, sejumlah orang juga ada yang percaya bahwa suara burung kedasih merupakan tanda akan ada orang yang meninggal.
“Tapi itu semua sekadar mitos,” ujar Asman saat dihubungi.
Habitat burung kedasih sebenarnya cukup luas, mereka bisa hidup di dataran rendah hingga tinggi. Mereka juga biasa tinggal di kawasan pemukiman, terutama yang di sekitarnya masih banyak pepohonan. Sehingga tidak heran jika masyarakat kerap mendengar suara burung kedasih.
ADVERTISEMENT
Saat ini, populasi burung kedasih menurutnya masih banyak dan relatif aman, sebab kedasih bukan jenis burung yang digemari para penghobi burung kicau. Di balik berbagai mitosnya yang mengerikan, burung kedasih juga punya manfaat bagi ekosistem tempatnya tinggal.
“Dia pemakan serangga seperti ulat, belalang, dan sebagainya. Sehingga burung kedasih bisa bermanfaat sebagai pengendali hama untuk dunia pertanian,” ujarnya.
Burung kedasih juga punya perilaku unik yang mendekati ke arah mengerikan. Indukan burung kedasih biasanya tidak akan mengerami telurnya sendiri. Mereka akan meletakkan telurnya di sarang burung lain yang lebih kecil, burung itulah yang nantinya akan mengerami telur kedasih.
Yang mengerikan, setelah menetas anakan kedasih akan membuang telur asli milik indukan pemilik sarang, sehingga hanya dia sendiri yang bisa hidup. Burung lain itu kemudian akan menjadi ibu tirinya dan memberinya makan seperti halnya mengasuh anak sendiri.
ADVERTISEMENT
“Biasanya telur kedasih menetas lebih dulu, dan si anak akan membuang telur asli dan anak akan diasuh induk burung yang punya sarang,” jelas Asman. (Widi Erha Pradana / YK-1)