Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kisah Kecil Buruh Gendong Pasar Beringharjo Melawan Corona
20 Oktober 2020 12:51 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Adzan Dzuhur sudah berkumandang. Tapi Mbah Giyah, 75 tahun, baru mendapat satu klien yang menyewa jasanya untuk menggendong barang belanjaan dari lantai dua Pasar Beringharjo menuju pintu keluar pasar.
ADVERTISEMENT
Mbah Giyah adalah satu dari 200 lebih buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo yang masih terus bergelut melawan pandemi virus corona.
Setiap pagi, dia harus berangkat dari Sentolo, Kulon Progo, dan tiba di Pasar Beringharjo pukul sembilan. Mayoritas, buruh gendong di Pasar Beringharjo memang berasal dari Kulon Progo. Mereka berangkat dan pulang rombongan menggunakan bus dengan tarif Rp 7 ribu sekali jalan.
“Setelah corona benar-benar sepi. Dulu buat istirahat saja susah nyari waktu, sekarang lebih banyak istirahatnya malah,” kata Mbah Giyah berbahasa Jawa, Senin (19/10).
Sudah sekitar 40 tahun dia menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo, dan masa-masa pandemi ini adalah masa-masa paling berat bagi dia, dan tentunya ratusan buruh gendong yang lain.
ADVERTISEMENT
Beruntung, di Pasar Beringharjo pekerjaan utamanya bukan hanya buruh gendong. Pekerjaan utamanya adalah bantu-bantu di sebuah warung sembako di pasar, sehingga meski tidak mendapat satu gendonganpun dia masih membawa sejumlah uang ketika pulang.
“Ndak khusus gendong, sudah ndak laku gendong sekarang,” ujarnya.
Saat masih muda dulu, Mbah Giyah mampu menggendong beban 50 sampai 60 kilogram. Sekarang, biasanya dia menggendong beban setengahnya, antara 25 sampai 30 kilogram. Berat yang menakjubkan bagi perempuan yang sudah berusia 75 tahun seperti Mbah Giyah.
“Saya itu minum jamu tradisional, minimal seminggu sekali. Pokoknya diseduh di gelas terus diaduk, itu ada yang jual di desa,” kata Mbah Giyah membocorkan rahasianya masih kuat menggendong beban berat sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Biasanya, Mbah Giyah mengonsumsi jamu temulawak. Jamu inilah yang menurutnya membuat staminanya tetap terjaga dan tetap bugar setiap bangun pagi meski setiap hari harus membawa beban-beban yang berat di usia tuanya.
Bekerja di Bawah Ketakutan
Sama dengan Mbah Giyah, Tumijem, 65 tahun, juga sudah 40an tahun menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Menurunnya penghasilan karena pandemi tentu dia rasakan juga. Meski begitu, dia bersyukur karena sejauh ini, dia dan teman-temannya masih diberikan kesehatan sehingga bisa tetap bekerja.
“Alhamdulillah sehat, tidak ada apa-apa,” ujarnya berbahasa Jawa di sela istirahat selepas menggendong bawang merah seberat 40 kilogram.
Kendati demikian, Tumijem juga masih kerap diliputi kekhawatiran. Berita dan obrolan tentang virus corona yang mengerikan, membuatnya merasa takut terutama ketika pasar sedang ramai-ramainya.
ADVERTISEMENT
“Tapi ya bagaimana, kalau sepi kan malah ndak ada pelanggan,” ujarnya.
Salah seorang anggota Sentong Endong-Endong, sebuah paguyuban buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo, Isah, 45 tahun juga mengatakan demikian. Menurutnya, para buruh sampai sekarang masih diliputi ketakutan terhadap virus.
Bagaimana tidak, sebagai salah satu pasar induk terbesar di Yogyakarta, Pasar Beringharjo adalah yang paling ramai ketimbang pasar-pasar lain di Yogyakarta. Apalagi letaknya di tengah kota dan ada di kawasan pariwisata, membuat orang yang datang sangat variasi dari berbagai daerah.
“Dulu memang beberapa ada yang ndak nggendong waktu awal-awal (pandemi). Tapi masa ya mau libur terus, nanti ndak ada pemasukan,” ujar Isah.
Mayoritas dari Kulon Progo, Usia di Atas 50 Tahun
Di kalangan buruh gendong Pasar Beringharjo, Isah tergolong masih muda. Pasalnya menurutnya mayoritas buruh gendong di Pasar Beringharjo sudah berumur lebih dari 50 tahun.
ADVERTISEMENT
“Ada yang sudah 80 tahun masih berangkat, tapi sudah ndak gendong yang berat-berat,” ujar Isah.
Masa pandemi memang bukan masa-masa yang mudah untuk bertahan. Tapi dia tetap bersyukur karena masih diberi tenaga lebih untuk menggendong beban-beban yang berat. Setiap hari, dia harus menggendong beban antara 50 sampai 60 kilogram, naik turun tangga. Sekali gendong, biasanya dia dibayar Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu.
“Tidak tentu, tergantung pengguna jasa kita tega apa enggak,” lanjutnya.
Sudah 11 tahun dia menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo, dan lagi-lagi itu masih tergolong sebentar jika dibandingkan para buruh gendong lainnya. Setiap pagi, dia juga harus menempuh perjalanan panjang dari Sentolo, Kulon Progo.
“Mayoritas memang dari Kulon Progo. 90 persen buruh gendong di sini dari Kulon Progo,”ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Warsiati, 39 tahun, koordinator buruh gendong di lantai 2 Pasar Beringharjo, ada sekitar 218 buruh gendong perempuan yang tergabung dalam paguyuban.
“Itu yang tergabung dalam kelompok saja, yang belum tergabung juga masih banyak,” ujar Warsiati.
Dan nasib ratusan buruh gendong itu sekarang makin sulit karena pandemi. Kehidupan di pasar tak kunjung normal, dan pagebluk tak juga reda. Namun lagi-lagi, mereka tak punya banyak pilihan.
“Ya harus tetap gendong mas. Ya, semoga (pandemi) segera berakhir lah,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)