Konten dari Pengguna

Main Layangan, Reuni Kecil Kala Pandemi bagi Siswa Sekolah

Pandangan Jogja Com
email: pandanganjogja@gmail.com
21 Agustus 2020 20:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Widi Erha
ADVERTISEMENT
Air muka Justin, 11 tahun, langsung sumringah ketika angin sore mulai berhembus kencang. Cukup lama dia menunggu datangnya angin yang cukup kencang untuk menerbangkan layangan barunya yang ukurannya nyaris satu meter.
ADVERTISEMENT
Andra Putra, 11 tahun, teman Justin yang duduk di sebelahnya langsung disuruh menerbangkan layangan itu. Dengan cekatan, Andra langsung berlari membawa layangan yang akan diterbangkan dengan jarak sekitar 10 meter.
“Yooo,” teriak Justin.
Andra yang sedang memegang layangan langsung melepaskan dengan sedikit dorongan ke atas untuk membantu layangan itu terbang. Justin langsung menarik benang dan sedikit berlari ke belakang. Ketika layangannya sudah terbang cukup stabil, baru dia mengulur kembali benang yang tergulung rapi di kaleng wafer yang dia pegang. Di lahan sawah yang kering karena belum dibajak itu, Justin dan teman-teman sebayanya akan menghabiskan sore dengan layangan masing-masing.
“Sudah lama, pas baru libur sekolah. Sampai pada beli layangan besar-besar,” ujar Justin dengan bahasa Jawa sembari duduk memegangi benang layangannya di pematang sawah di daerah Gamping Sleman, Agustus ini.
ADVERTISEMENT
Layangan yang sedang diterbangkan dia beli seharga Rp 35 ribu dari uang jajan yang dia tabung selama beberapa hari, ditambah uang pemberian orangtuanya. Sebelumnya dia hanya main layangan kecil dengan bentuk layang-layang yang dia beli juga seharga Rp 4 ribu. Tapi karena layangan yang dimainkan teman-temannya makin besar dan bervariasi, dia akhirnya membeli layangan baru.
Foto: Widi Erha
Menjelang maghrib, ketika matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya, biasanya mereka baru menurunkan layangannya dan beranjak pulang. Bagi Justin, keseruan utama ketika bermain layangan justru bukan ketika layangannya terbang tinggi, melainkan saat bertemu dengan teman-teman sebayanya yang biasanya selalu bertemu di sekolah.
“Bisa ketemu teman-teman, dulu kan main bareng di sekolah, sekarang sekolah libur,” lanjut anak yang baru saja naik ke kelas 4 SD itu.
ADVERTISEMENT
Bagi Justin dan teman-temannya, bermain layangan ibarat reuni. Pandemi corona membuat mereka tidak bisa bertemu dan bermain lagi di sekolah selama berbulan-bulan lamanya, dan sampai sekarang masih belum jelas kapan akhirnya.
Hubungan mereka memang tidak selalu harmonis, terkadang mereka juga bertengkar satu sama lain, saling mengumpat, saling mengejar, juga saling melempar sandal. Tapi layaknya anak-anak, pertengkaran itu tidak pernah bertahan lama. Saat angin berhembus, layangan terbang, semua pertengkaran sirna.
Belajar dari Youtube Bikin Layangan Sendiri
Foto: Widi Erha
Muhammad Hafid, 11 tahun, enggan membeli layangan. Katanya cuma buang-buang duit. Ketimbang untuk beli layangan, mending dipakai untuk beli kuota internet, kata dia.
Tapi bukan berarti dia tidak gemar main layangan, sore itu dia juga ikut bermain layangan bersama teman-temannya. Dia membuat sendiri layangan yang ukurannya cukup besar, dan sore itu menjadi salah satu yang paling tinggi di antara layangan lain yang di terbangkan di tempat itu.
ADVERTISEMENT
“(Belajar) dari Youtube,” kata Hafid singkat tanpa memalingkan pandangan dari layangannya.
Tak butuh waktu lama bagi Hafid untuk membuat layangan. Setelah setengah jam mengamati cara membuat layangan di Youtube, dia langsung mengumpulkan bahan-bahan utamanya berupa sebilah bambu dan kertas sebagai penutup semua sisi layangan.
Setelah memipihkan beberapa bilah bambu, mengukur, dan mengaitkannya satu sama lain menggunakan benang, baru Hafid memasang kertas warna-warni menggunakan lem di setiap sisi rangka layangan.
“Sehari jadi kok,” lanjutnya.
Dan hasilnya, layangan buatannya kini sudah terbang tinggi. Bahkan dia tidak ragu jika ada temannya yang mengajak untuk mengadu layangan satu sama lain. Dan dengan membuat sendiri layangannya, Hafid bisa menghemat puluhan ribu rupiah.
“Ngapain beli, di Youtube semua ada mas,” ujar bocah yang menggunakan jersey AC Milan dengan nomor punggung 45 itu.
ADVERTISEMENT
Daripada Hanya Main Gawai
Foto: Widi Erha
Lahan yang tidak seberapa luas itu tidak hanya diramaikan oleh anak-anak kecil saja, beberapa orang dewasa juga ada di sana, salah satunya adalah Hartanti. Sore itu, Hartanti sedang menemani anaknya yang masih TK bermain layangan.
Hartanti memegang kaleng yang penuh dengan gulungan benang layangan, sementara sang anak sibuk menarik ulur benang supaya layangannya tetap terbang dengan stabil di udara. Sudah beberapa pekan ini, menemani sang anak bermain layangan menjadi kegiatan rutinnya setiap sore.
“Daripada di rumah aja, main HP terus,” ujar Hartanti.
Foto: Widi Erha
Karena sekolah masih berlangsung online, anaknya kini sering uring-uringan karena jenuh di rumah terus. Imbasnya, gawai menjadi pelarian untuk mengusir kejenuhan. Melihat layangan yang sedang menjadi tren, Hartanti mencoba mengalihkan perhatian anaknya dari gawai ke layangan. Harapannya, sang anak tidak makin kecanduan gawai karena ada hobi baru.
ADVERTISEMENT
“Beli Rp 55 ribu di Cebongan,” kata dia memberi tahu dari mana mendapatkan layangan sang anak yang cukup unik itu.
Berbeda dengan layangan anak-anak lain, bentuk layangannya cukup nyeleneh, yakni dua kubus dengan sampul kertas hijau dan putih. Menurutnya bermain layangan jauh lebih baik bagi anaknya untuk mengisi waktu luang di saat pandemi ini ketimbang bermain gawai.
“Sekolah sudah pakai HP, main pakai HP, kasihan masih kecil. Selain bisa kecanduan kan kasihan juga matanya, takut minus padahal masih kecil,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)