Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Malapetaka Ketidaktahuan Kita akan Flank Collapse Gunungapi
email: [email protected]
18 Desember 2019 13:47 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 22 Desember 2018, publik dikagetkan oleh gelombang tsunami yang menghantam kawasan pesisir Banten dan Lampung. Akibat bencana itu, 426 orang tewas dan sekitar 7.200 lainnya luka-luka. Tsunami itu diakibatkan oleh runtuhnya sisi barat Gunung Anak Krakatau atau dikenal dengan istilah flank collapse.
ADVERTISEMENT
Tsunami ini tidak terprediksi, sebab tidak diawali oleh adanya gempa seperti tsunami pada umumnya. Padahal flank collapse Gunung Anak Krakatau ini ternyata setara dengan gempa berkekuatan magnitudo 3,4. Karena tak diawali dengan gempa, tsunami seperti ini dikenal dengan istilah silent tsunami.
Peneliti Gunungapi Anak Krakatau dari Departemen Teknik Geologi UGM, Haryo Edi Wibowo, mengatakan dari sisi lokasi, Gunung Anak Krakatau sudah memiliki keunikan. Salah satu keunikannya adalah dia berada di transisi antara subduksi yang relatif tegak lurus dengan Pulau Jawa dan Sumatera.
Ketua Tim Peneliti Gunungapi Anak Krakatau UGM, Suratman, mengatakan flank collapse yang dialami Anak Krakatau cukup merepotkan karena kejadiannya tidak terprediksi.
“Kalau kita salah memahaminya, salah mengamatinya, maka yang terjadi adalah malapetaka,” ujar Suratman.
ADVERTISEMENT
Lahirnya Anak Krakatau
Di sekitar Anak Krakatau terdapat empat pulau yang mengitarinya, yakni pulau Rakata, Panjang, Sertung, dan Anak Krakatau di tengahnya. Pulau-pulau kecil itu merupakan hasil dari erupsi dahsyatnya pada 1883 silam.
“Jadi proses pembentukan Anak Krakatau sampai yang kita jumpai saat ini, itu telah melewati dua kali fase destruktif yang menghasilkan struktur kaldera atau kawah dengan ukuran lebih dari 2 km,” ujar Haryo dalam Seminar Satu Hari Gunungapi Anak Krakatau di Ruang Siti Nurbaya Center, Gedung KLMB Fakultas Geografi UGM, Selasa (17/12).
Di awal sekali, Gunung Krakatau dikenal dengan Krakatau Tua yang kemudian meletus besar membentuk kaldera sebelum 1883. Dari letusan itu, terbentuk pulau-pulau kecil di batas kaldera atau yang sebelumnya merupakan kaki Krakatau Tua.
ADVERTISEMENT
“Pulau yang mengelilingi saat ini, itu merupakan lereng dari gunung Krakatau Tua,” lanjut Haryo.
Setelah itu, muncul aktivitas vulkanik di batas kaldera sisi sebelah Rakata. Baru pada 1883, tiga gunung tersebut meletus dan menghasilkan kaldera seperti yang ada saat ini.
Secara morfologi, bentuk Gunung Anak Krakatau tidak simetris. Dia memiliki punggung yang menghadap ke timur laut dan relatif lebih stabil ketimbang sisi sebaliknya. Sementara di bagian barat daya terdapat kawah yang langsung menghadap laut.
Ketika Anak Krakatau Runtuh
Flank Collapse pada 2018 bukanlah yang pertama, pada sekitar 1940 sampai 1950, Anak Krakatau juga pernah kolaps yang hanya menyisakan tiga perempat bagian di sisi timur laut. Sejak saat itu, pembangunan Gunung Anak Krakatau sangat fokus di sisi barat daya.
ADVERTISEMENT
“Bayangkan kita memiliki suatu cerukan berhadapan langsung dengan air, ada kontak air, ada kontak magma, kita membangun gunung api di situ sejak tahun 50,” ujar Haryo.
Pada sekitar 1970-an, Anak Krakatau sempat kolaps lagi, namun pembangunan masih terus terjadi. Pada Desember 2018, Anak Krakatau kembali mengalami flank collapse, dimana 64 hektar areal di sebelah barat daya runtuh.
Runtuhnya sebagian tubuh Anak Krakatau ini diakibatkan oleh sejumlah tremor akibat erupsi yang dia alami sejak Juni 2018. Longsoran itu jatuh ke kolom air di sekitar Anak Krakatau yang memicu terbentuknya gelombang tsunami yang menerjang kawasan Selat Sunda.
Ada beberapa faktor alami yang mengakibatkan tidak stabilnya lereng Anak Krakatau menurut Haryo. Pertama substratum dari Anak Krakatau yang lebih rendah dari produk Krakatau saat ini.
ADVERTISEMENT
“Terus kita punya struktur kaldera di depannya, dan kita punya batuan dasar pada sektor barat daya,” kata Haryo.
Selain itu, ada juga lava basah yang menumpang di atasnya serta struktur geologi Anak Krakatau itu sendiri. Adapun faktor pemicu terjadinya flank collapse bisa berasal dari aktivitas erupsi, gempa tektonik maupun vulkanik, serta erosi akibat gelombang air laut.
“Gelombang air laut ini bisa memicu abrasi, lerengnya jadi lebih terjal, lebih mudah longsor yang mengakibatkan tsunami,” lanjut Haryo.
Pemantauan terhadap aktivitas Anak Krakatau menurut Haryo sangat penting untuk dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa lagi. Ke depan, tim peneliti Gunung Anak Krakatau UGM menurutnya akan mencoba membuat sustainable deformationment monitoring system untuk memantau perubahan wujud Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
“Tapi itu masih versi akhir sekali. Tapi di fase awal, terutama di tahun pertama kita mencoba memahami mekanisme flank collapse di Anak Krakatau yang men-trigger tsunami,” ujar Haryo. (Widi Erha Padana)