Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mapala di Tengah Stigma dan Diksar Mematikan
6 Oktober 2019 13:30 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Mapala kembali jadi sorotan setelah seorang mahasiswa Universitas Lampung (Unila) meninggal dunia ketika mengikuti Diksar Mapala Cakrawala Unila pada 29 September lalu.
ADVERTISEMENT
Sabtu (5/9) akhir pekan lalu, jam sudah menunjuk pukul 11.00 WIB, sudah tidak bisa disebut pagi lagi. Tapi anak-anak Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) masih terlelap di sekretariatnya. Ada tiga anggota Mapala yang masih tidur di sekretariat Komunitas Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (KPALH) Carabiner, Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (FT UNY). Karena sudah ada Mapala universitasi dan administrasi kampus tidak memperbolehkan ada 2 Mapala di 1 kampus, maka sejak lima tahun silam nama Mapala Carabiner diubah menjadi KPALH Carabiner.
Mengetahui membangunkan anak Mapala saat tidur adalah sesuatu yang mustahil, saya putuskan menunggu di depan sekretariat. Sekitar sejam berselang, Jamal Winarhadi Kusumo a.k.a Wagu, salah seorang anggota KPALH Carabiner akhirnya bangun. Seperti diketahui, setiap anak mapala pasti memiliki nama lapangan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Bersama Jamal, saya kemudian berangkat ke sekretariat Mahasiswa Pecinta Alam Trisula (Mapatris) di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) di depan Balai Kota Yogyakarta. Di sana, kami bertemu dengan Danis S. Wicaksana a.k.a Dengkek, anggota Mapatris yang cukup senior. Selain itu, Dengkek juga merupakan pengurus Sekretariat Bersama Perhimpunan Pecinta Alam (Sekber PPA) DIY. Di sana dia fokus di bidang SAR. Kami sudah membuat janji untuk membicarakan hal-hal tentang Mapala yang tidak banyak orang ketahui, bukan Mapala yang hadir hanya saat ada kabar berita jatuh korban di Pendidikan (diksar) mereka.
Bagaimana Orang-orang Melihat Mapala
“Pertama kali lihat (anak-anak Mapala) takut, kelihatan ugal-ugalan, nakal gitu,” ujar seorang mahasiswi UNY yang enggan disebutkan namanya, Sabtu (5/9/2019).
ADVERTISEMENT
Hal itu tidak jauh beda dengan kesan pertama saya ketika menjadi mahasiswa baru lima tahun silam. Dari penampilannya, anak-anak Mapala memang terlihat urakan. Rambut gondrong, merokok, pakaian kumal, itulah stigma yang diberikan masyarakat kepada Mapala.
“Malah katanya mereka juga suka mabuk-mabukan,” lanjut mahasiswi itu.
Mahasiswi UNY lainnya, Lailaturrahmi Ramadhani yang ternyata mantan Siswa Pecinta Alam (Sispala) semasa SMA memiliki perspektif lain soal anak Mapala. Menurutnya, anak-anak Mapala justru menyenangkan dan memiliki pikiran yang terbuka. Karena kerap berhubungan dengan alam secara langsung, menurutnya anak-anak Mapala juga mudah menyesuaikan diri dengan kondisi seperti apa saja.
“Karena mereka bisa survive, menurutku tak susah pula bagi mereka untuk beradaptasi di lingkungan mana saja dalam masyarakat,” ujar mahasiswi yang akrab dipanggil Mimi itu.
ADVERTISEMENT
Dia juga kurang sepakat soal stigma ‘nakal’ yang ditujukan kepada anak-anak Mapala. Mimi memang tidak menampik kalau ada anak-anak Mapala yang mabuk-mabukan, merokok, ugal-ugalan.
“(Tapi) kita nggak bisa ngecap semua anak Mapala orang yang seperti itu (nakal),” lanjutnya.
Stigma masyarakat soal anak Mapala juga diamini Galih Jati Mumpuni, mahasiswi Akuntansi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Galih tidak menampik fakta bahwa ada anak-anak Mapala yang ‘nakal’. Namun, hal itu menurutnya bukan masalah karena setiap orang punya cara sendiri untuk mengekspresikan dirinya.
“Dan sejauh ini meskipun mereka ugal-ugalan dan pemabuk, mereka nggak merugikan orang,” ujar Galih.
Lebih dari itu, Galih bahkan memiliki pandangannya sendiri soal anak-anak Mapala. Di matanya, anak-anak Mapala adalah anak-anak yang santai, bebas, dan tegas. Indikator santai menurutnya bisa dilihat dari cara anak-anak Mapala berbusana dan bergaul, bebas bisa dilihat dari cara berpikir mereka.
ADVERTISEMENT
“Dan tegas dari bagaimana cara mereka mengatur anggota di dalam Mapalanya,” lanjut Galih.
Yang Dirasakan Mapala
Jamal mengamini adanya stigma negatif yang diarahkan kepada Mapala. Bahkan, beberapa anggota KPALH Carabiner ada yang mengalami diskriminasi karena menjadi anggota Mapala. Diskriminasi itu ada yang berasal dari dosen, teman-teman sesama mahasiswa, ada juga yang dilarang oleh orangtuanya untuk bergabung dengan Mapala. Bahkan karena ketidaksukaannya dengan Mapala, ada beberapa dosen yang memberikan nilai jelek kepada mahasiswa yang menjadi anggota Mapala.
Meski begitu, Jamal tidak menyalahkan orang-orang yang memberikan justifikasi buruk kepada Mapala. Menurutnya, masyarakat juga punya hak untuk memberikan justifikasi semacam itu. Namun yang perlu diketahui oleh masyarakat luas menurut Jamal bahwa tidak semua anak Mapala itu ‘nakal’.
ADVERTISEMENT
“Ada juga (anggota Mapala) yang nggak minum, nggak merokok, bahkan salatnya tertib, ibadahnya tertib. Banyak sekali orang-orang yang begitu (di dalam Mapala),” lanjut Jamal.
Hal senada juga dikatakan Dengkek, menurutnya persoala-persoalan tersebut bergantung pada prinsip yang dipegang masing-masing individu. Dia menyayangkan, karena stigma-stigma negatif yang diarahkan kepada Mapala biasanya datang dari orang-orang yang kurang mengenal Mapala itu sendiri.
“Tapi itu justru kami jadikan motivasi untuk menunjukkan bahwa Mapala tidak seburuk itu,” kata Dengkek.
Karena stigma negatif itu, Jamal dan Dengkek mengatakan sangat berdampak pada jumlah anggota mereka. Implikasi dari stigma negatif itu adalah sedikit sekali mahasiswa baru yang berminat untuk menjadi anggota Mapala.
Mapala Mengasah Daya Kritis Anggotanya
“Tidak, Mapala bukan sekadar soal fisik, tapi otak juga harus jalan,” kata Jamal.
ADVERTISEMENT
Kemampuan literasi menjadi barang mewah di tengah mahasiswa saat ini. Menyadari hal itu, Mapala punya cara sendiri bagaimana mengasah daya kritis anggotanya. Terlebih, Mapala juga bukan soal naik gunung seperti yang diketahui orang kebanyakan. Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang juga cabang-cabang pecinta-alaman yang ada. Karena itu, kemampuan memahami materi-materi tertentu juga mutlak bagi anggota Mapala.
Lalu bagaimana cara Mapala melatih daya kritis anggotanya? Jamal mengatakan kunci utama Mapala dalam menumbuhkan nalar kritis adalah dengan cara diskusi atau musyawarah. Ketika sudah duduk melingkar, anak-anak Mapala bisa tahan berdiskusi dari malam sampai subuh. Semua hal bias menjadi tema diskusi mereka, mulai dari isu politik, sosial, sains, ekonomi, bahkan sampai agama.
“Kalau kami menyebutnya srawung. Di sana kita bahas apa saja. Semua kita bahas, karena ilmu pengetahuan kan nggak terbatas. Jadi diskusi kami tidak hanya sebatas soal Mapala saja,” kata Jamal.
ADVERTISEMENT
Dengkek mengamini pernyataan Jamal. Menurutnya kunci utama menubuhkan nalar kritis pada diri anak-anak Mapala adalah dengan membuka ruang diskusi secara intens. Selain diskusi, membaca juga menjadi cara lainnya. Cara itulah yang menjadi kunci anggota Mapala bisa diajak ngobrol santai maupun serius.
“Tapi nggak ada bacaan khusus atau wajib. Mereka (anak Mapala) biasanya membaca buku apapun yang mereka sukai,” kata Dengkek.
Mapala di Pusaran Bencana
Berbicara soal Mapala tidak bisa dipisahkan dengan bencana dan kemanusiaan. Saat Lombok diluluhlantakkan oleh gempa bumi 2018 silam, Dengkek ada di sana. Dia merupakan salah seorang relawan yang dikirimkan oleh Sekber PPA DIY sat itu. Selama dua pekan Dengkek menjadi pendamping posko masyarakat korban gempa.
ADVERTISEMENT
Dengkek melihat dengan matanya langsung bagaimana luluhlantakknya Lombok saat itu. Bukan hanya fisik, banyak juga masyarakat yang trauma karena gempa bertubi-tubi yang mengguncang Lombok.
“Saat baru sampai Lombok, saya juga langsung disambut gempa susulan. Jadi benar-benar merasakan apa yang warga sana rasakan,” ujar Dengkek.
Saat itu, menurut Dengkek, manajemen bantuan logistik bisa dikatakan karut marut. Banyak bantuan yang tidak sampai kepada penyintas karena lebih dulu ‘dijarah’ oleh penyintas lainnya. Akhirnya, bersama timnya, Dengkek mendirikan sebuah posko masyarakat di sebuah desa bernama Sigarakaton, Gangga, Lombok Utara.
Tujuan utama posko yang didirikan yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi korban gempa. Akhirnya, karena manajemen posko yang lebih bagus dan rapi, kebutuhan dasar masyarakat sekitar pelan tapi pasti mulai terpenuhi.
ADVERTISEMENT
“Dari segi manajemen mereka sudah mulai bagus, sanitasinya sudah tertata, terus mengenai air bersih juga sudah ada setelah dua minggu kami di sana,” lanjutnya.
Jamal punya pengalaman lain. Ketika Gunung Agung di Bali mengalami erupsi pada 2017 silam, Jamal juga ikut turun menjadi salah satu relawan. Dia bertugas sebagai pencari data dan pemberian bantuan pertama kepada korban. Kondisi pengungsian saat itu menurut Jamal cukup miris saat itu.
“Tenda komando yang buat mengungsi itu bolong tengahnya, jadi kalau hujan neteslah airnya ke dalam. Alasnya hanya pakai bamboo-bambu. Toilet hanya tiga, sementara pengungsi lebih dari 50. Air jarang ada. Toilet portable ada, banyak sekali tapi tidak dipasang karena status siaga bencana ditarik oleh presiden,” ujar Jamal.
ADVERTISEMENT
Pengalaman turun langsung ke tempat bencana itu sangat berkesan bagi Jamal maupun Dengkek. Mereka akan selalu mengingat bagaimana mereka bahu membahu bersama masyarakat dan relawan lain untuk mengatasi bencana. Dari situ juga anak-anak Mapala belajar apa itu kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama.
“Yang membuat terharu ketika mau kembali ke Jogja. Saat itu masyarakat di sana sudah menganggap kami sebagai anggota keluarganya sendiri. Kami sudah dianggap menjadi bagian dari mereka,” kata Dengkek.
Alam Membentuk Karakter
Alam memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak-anak Mapala. Yang pertama, tentu menumbuhkan rasa cinta lingkungan dan alam. Dengkek bercerita ketika dia melakukan susur gua di Gua Kiskendo, Kulon Progo, dia menemukan sangat banyak sampah plastik di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Bukankah Tuhan tidak menciptakan plastik,” ujar Dengkek.
Bersama teman-temannya, Dengkek kemudian memunguti sampah-sampah itu dan membawanya keluar gua. Dari pengalaman-pengalaman seperti itulah anak-anak Mapala kemudian memiliki rasa cinta kepada alam dan lingkungannya.
“Kami juga selalu berusaha untuk menghasilkan sedikit mungkin sampah setiap kali mengadakan kegiatan,” katanya.
Jamal memiliki pandangan lain soal bagaimana alam membentuk karakter anak-anak Mapala. Menurutnya, pengaruh alam sangat besar dalam membentuk karakter seseorang. Yang paling dirasakan Jamal selama berinteraksi dengan alam adalah bagaimana alam memberikan pengalaman spiritualitas.
“Yang utama itu spiritualitas. Saya bisa merasakan bersyukur karena bisa merasakan indahnya alam tanpa sampah. Beda dengan yang saya rasakan ketika di kota,” pungkas Jamal.
Diksar Mapala yang “Mematikan”
Mapala beberapa kali mendapat sorotan media karena kecelakaan-kecelakan yang terjadi dalam kegiatan mereka. Awal tahun 2018, perhatian publik tertuju pada Mapala Unisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dalam kegiatan Diksarnya di kawasan camping Mrutu di Dukuh Tlogodringo, Desa Gondosuli, Tawangmangu, tiga anggota baru Mapala Unisi meninggal dunia. Buntutnya, enam anggota Mapala Unisi dinyatakan bersalah atas insiden itu dan divonis kurungan penjara.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, 29 September 2019 lalu, seorang mahasiswa Universitas Lampung (Unila) meninggal dunia ketika mengikuti Diksar Mapala Cakrawala Unila. Hal itu menjadi pukulan tersendiri lagi bagi anak-anak Mapala. Lalu, kenapa insiden semacam itu masih saja kerap terjadi di Mapala?
Sekjen Sekber PPA DIY, Muhammad Radoza Agatama mengamini bahwa di beberapa Mapala masih kerap terjadi praktik-praktik kekerasan di setiap kegiatannya. Persoalan utama yang dihadapi Mapala saat ini terutama karena belum ada sistem yang memayungi seluruh organisasi pecinta alam di Indonesia. Karena itu, prosedur yang pelatihan atau diksar masing-masing Mapala pun berbeda-beda. Ada Mapala yang sudah mulai berbenah, namun masih ada juga Mapala yang masih memakai cara-cara lama dalam pelatihannya.
Untuk itu, sejak kurang lebih dua tahun ini, Sekber PPA DIY tengah merancang kurikulum untuk dijadikan pedoman diksar Mapala. Hal itu bertujuan supaya pendidikan di dalam Mapala dapat mengikuti perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
“Karena kita sadar, Mapala itu kan sebenarnya dasarnya keterampilan, jadi kita butuh pedoman, kurikulum,” kata Agatama.
Selain itu, meninggalnya anak Mapala ketika pelatihan juga tidak selalu karena faktor kekerasan dari senior. Agatama menjelaskan, ada faktor-faktor lain yang juga dapat menjadi sebab meninggalnya anak Mapala itu. Faktor itu adalah penyakit gunung atau mountain sickness. Misalnya hipotermia atau kedinginan di gunung yang juga kerap memakan korban.
“Sayangnya orang yang ahli di bidang itu (mountain sickness) di Indonesia masih sangat sedikit, bahkan bisa dibilang belum ada,” ujarnya.
Selain itu, ada juga faktor lain, yaitu penyakit bawaan. Meski sebelum mengikuti pelatihan biasanya peserta dimintai surat keterangan sehat dari dokter, namun hal itu dinilai masih kurang. Pasalnya surat keterangan sehat biasanya hanya mencakup hal-hal standar saja, bukan untuk orang yang perlu fisik ekstra seperti mengikuti diksar di gunung.
ADVERTISEMENT
“Jadi faktor karena penyakit bawaaan di beberapa kasus sebenarnya juga ada,” tutup Aga. (Widi Hermawan)