Konten dari Pengguna

Matoa, Keajaiban Papua di Tanah Jawa

29 Oktober 2019 16:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buah Matoa. Gambar dari ebay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buah Matoa. Gambar dari ebay.
ADVERTISEMENT
Oktober sudah hampir selesai, hampir lunas masa berbuah pohon matoa di tahun ini. Secara teori, matoa berbuah pada Juli hingga Oktober, tapi di hari-hari ini sudah sulit mencari matoa di toko buah di Jogja. Begitu pula di pohon-pohon matoa di pekarangan warga sekitaran Jogja, tak tampak lagi ada buah matoa yang tersisa. Hari-hari ini, gantian datang musimnya mangga : di sepanjang jalan di banyak halaman warga di Jogja dan Sleman, ranumnya mangga bergelantungan sungguh menggoda iman.
ADVERTISEMENT
Matoa tak pernah sepopuler mangga atau bahkan dengan kelengkeng dan rambutan, kerabat dekatnya. Padahal saya menempatkan matoa sebagai buah paling enak sedunia. Dan saya memendam rasa penasaran lama, bagaimana bisa tanaman buah khas papua ini bisa begitu mudah dijumpai di pekarangan warga di Sleman dan Jogja, namun kenapa hasil buahnya tak sepopuler rambutan dan kelengkeng.
Atas pertanyaan pertama, jawaban pertama datang dari salah satu arsitek yang bermukim di Sleman yang menyebut metoda kerjanya sebagai cara kerja ugahari, ialah, Yoshi Fajar Kresno Murti.
“Matoa adalah salah satu keajaiban Papua di tanah Jawa,” katanya saat saya bertandang ke rumahnya beberapa waktu lalu.
Yoshi memilih kata keajaiban untuk menggambarkan betapa mudahnya tanaman khas dan asli Papua ini tumbuh di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
Salah seorang teman Yoshi, seorang desainer grafis, bernama Joko Supriyanto, menimpali dengan cerita, pernah dalam sebuah perjalanan dengan mobil menuju Gunung Kendeng Pati, mereka berpesta matoa dan membuang setiap bijinya ke kebun dan halalaman warga yang berada di tepi jalan yang mereka lewati dan berharap semuanya bisa menikmati keajaiban Papua di kemudian hari.
Ben kabeh duwe matoa, ben kabeh ngrasakke (biar semua punya matoa, biar semua bisa merasakan keajaiban Papua di pekarangannya). Ha ha ha,” kata Joko sambil terkekeh.
Saya membayangkan betapa serunya melempar biji matoa ke pekarangan warga dan bertahun kemudian si penghuni rumah mendapati ada keajaiban tumbuh di pagi hari, di halaman mereka.
Tapi perjalanan menyusuri rasa penasaran musti dilanjutkan. Yoshi dan Joko tak punya jawaban pasti bagaimana pohon matoa bisa terbang dari Papua sampai ke Jogja.
ADVERTISEMENT
Muso Suryowinoto, Sang Perintis
Guru Besar Fakultas Biologi UGM, Purnomo, menunjukkan 2 Pohon Matoa yang ditanam bersisihan oleh Muso Suryowinoto di parkiran motor Fakultas Biologi UGM. Foto oleh : ES Putra
Sebagaimana setiap usaha menjawab pertanyaan, hipotesa musti disusun. Setidaknya, ada tiga jawaban sementara yang saya ajukan pada diri sendiri bagaimana matoa bisa melanglang buana hingga jauh, dari Papua hingga ke pekarangan tetangga saya di Sleman.
Hipotesa pertama, langsung terbukti kebenarannya, bahwa matoa dikembangkan oleh pasar. Ada mekanisme jual beli yang memungkinkan bibit tanaman apapun dari seluruh dunia, tak hanya tanaman asli Papua bahkan dari Meksiko, bisa sampai ke Jogja.
“Ya dulu, 10 tahun yang lalu, beli di penjual bibit buah to mas, masak nyuri !,” jawab salah satu tetangga saat saya tanya darimana bibit pohon matoa dulu ia dapatkan.
Hipotesa kedua, tantara lah yang membawa matoa dari Papua ke Jawa. Tantara adalah kelompok khusus masyarakat Indonesia, banyak jumlahnya, yang punya berkah untuk keliling Indonesia di periode bahkan sebelum ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang musti siap ditempatkan di manapun di seluruh pelosok Indonesia. Untuk hipotesa ini, susah melacaknya. Ditunda dulu saja pembuktiannya.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Biologi UGM, Purnomo, memberi terang pada, tak hanya hipotesa ketiga, tapi juga pada pertanyaan kenapa matoa tak sepopuler kerabat dekatnya, rambutan dan kelengkeng. Darinya pula, kenapa matoa mudah tumbuh di Jawa, pelan-pelan tersibak jawabnya.
Di awal 1980-an, Prof Muso Suryowinoto, dosen Fakultas Kehutanan UGM yang kemudian menjadi salah seorang perintis Fakultas Biologi UGM, mengadakan ekspedisi ke Papua. Ada beberapa mahasiswa yang diajak ikut serta. Purnomo salah satu yang beruntung ikut di ekspedisi itu, bersama dengan beberapa nama yang kini juga melanjutkan karir sebagai akademisi. Di antaranya, seperti disebut Purnomo, ada Agus Pujoharianto, Anton Sukahar, Narto, dan Aziz Purwantoro.
“Nah pohon matoa yang ditanam di depan Fakultas Biologi itu satu-satunya kenang-kenangan dari ekspedisi itu,” kata Purnomo awal Oktober ini. Hipotesa saya terbukti, akademisi atau penelitilah yang membawa matoa dari Papua ke Jawa.
ADVERTISEMENT
Purnomo bercerita, matoa sangat menarik perhatian seluruh rombongan ekspedisi yang dipimpin Muso karena keberadaan pohon matoa di hutan Papua yang mereka jelajahi kala itu, teramat banyak jumlahnya. Dan buahnya, meski seumur hidup belum pernah mencobanya, mereka rasakan enak sekali.
“Enak sekali rasanya. Dan saking banyaknya pohon matoa dan semuanya berbuah, penduduk setempat kalau mau manen matoa nggak mau manjat pohonnya, ditebang saja itu pohonnya,” kata Purnomo, tak kuasa menahan senyum mengenang perjalanan ekspedisinya.
Dari 10-an biji buah matoa yang dibawa dari Papua, beberapa ditanam di Fakultas Biologi UGM, sisanya dibawa pulang anggota tim ekspedisi dan semua masih tumbuh dan berbuah hingga kini. Dan dari pohon matoa di Fakultas Biologi UGM itu, matoa menyebar ke pekarangan rumah dosen-dosen UGM lainnya. Muso Suryowinoto, sang perintis Fakultas Biologi UGM, tanpa sengaja telah mencipta salah satu galur keajaiban Papua di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
“Saya juga nanam dari biji matoa yang saya ambil dari pohon di Fakultas Biologi itu. Kira-kira awal 90-an dan sampai sekarang masih terus berbuah,” kata dosen kehutanan UGM, Haryono Supriyono, yang memiliki pohon matoa dengan tinggi lebih dari 10 meter di depan rumahnya di Godean Sleman, beberapa hari lalu.
Di Papua, Kayunya Lebih Populer
Pohon Matoa di pekarangan warga di Sleman DIY. Foto oleh : ES Putra
Agustinus Murjoko, dosen Universitas Negeri Papua, meraih prediket Camlaude saat menyelesaikan studi doktoralnya di Fakultas Kehutanan UGM pada 2017 lalu. Disertasinya berjudul, "Struktur dan Dinamika Hutan Penebangan di Dataran Rendah Selatan Papua (Studi Kasus Pometia spp sebagai Spesies Endemik)." Pometia spp adalah nama ilmiah untuk Matoa.
Matoa, diterangkan Murjoko, tumbuh di dataran rendah Papua seperti Jayapura, Waropen, sedikit di Manokwari, dan Sorong. Matoa, secara budaya, menempati tempat yang tinggi di masyarakat Papua karena telah lama sekali masyarakat Papua berinteraksi dengannya. Berbeda misalnya, dengan rambutan, keluarga dekat matoa, yang merupakan introduksi dari luar.
ADVERTISEMENT
“Di beberapa tempat di sini menggunakan matoa sebagai nama tempat, sebagai identitas, bahwa ini asli dari sini. Kalau rambutan kan datang dari luar,” jelasnya saat saya hubungi melalui telepon beberapa hari lalu.
Namun, berbeda dengan kenyataan keberlimpahan matoa di awal 80-an yang ditemui Prof Purnomo, buah matoa di Papua pada saat ini harganya justru lebih mahal dibanding di Jawa. Murjoko menjelaskan, saat ini rambutan bisa lebih mudah ditemui di pasar Papua, harganya lebih murah dari matoa, karena rambutan sudah dibudidaya di Papua. Di pekarangan warga Papua relatif mudah dijumpai pohon rambutan.
“Sedangkan matoa, masih asli hutan semua. Di sini sampai Rp. 150 ribu per kilo, padahal di Bantul atau Jogja, kan cuma Rp. 70 ribuan. Karena di sini ambil dari hutan langsung, ongkos transport, dan sebagianya, hukum ekonomi lah itu,” kata Murjoko.
ADVERTISEMENT
Pohon matoa di Papua saat ini justru lebih dikenal sebagai komoditas log kayu komersial yang digunakan sebagai bahan konstruksi. Dalam strata kekerasan kayu, matoa di bawah kategori awet 1 kuat 1 yang di Papua ditempati oleh kayu merbau dan kayu soang. Jika merbau dan soang digunakan sebagai kayu utama untuk konstruksi tiang, maka kayu matoa digunakan untuk konstruksi atap penyangga genteng. Kepopuleran matoa sebagai komoditas kayu ini membuat keberadaannya di alam, terus menipis.
Mulai tahun 2011 Kementerian Kehutanan menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan menanam pohon multi purpose, salah satu yang dipilih adalah pohon matoa. Maka, salah satunya bisa dilihat di sepanjang jalan menuju bandara Jayapura kini bisa dijumpai banyak pohon matoa.
ADVERTISEMENT
Tapi menurut Agustinus Murjoko, sampai saat ini belum ada usaha seleksi genetik matoa yang memungkinkan pohon matoa bisa diproduksi massal dengan efisien, baik buah maupun kayunya.
“Yang ditanam di jalan bandara maupun di manapun di Papua maupun Jawa itu semua belum hasil dari budidaya yang menghasilkan varieties unggul. Semua masih pembiakan vegetatif dari alam,” katanya.
Manisan dari Tuhan
Profesor Purnomo melayani wawancara beberapa waktu lalu dengan mengajak jalan-jalan ke hutan Fakultas Biologi UGM. Foto oleh : ES Putra.
Di Papua, matoa memiliki 2 jenis yang sangat berbeda tingkat kemanisan dan tekstur buahnya yakni matoa kelapa dan matoa papeda. Matoa kelapa buahnya besar dan tebal, lebih tebal dari rambutan atau kelengkeng dan rasanya kaya tekstur, tak hanya semanis rambutan atau kelengkeng tapi juga ada wangi durian. “Nah kalau yang saya temui di Bantul dan Jogja pada umumnya itu matoa kelapa semua. Enak semua itu buahnya, saya kan tinggal lama di Jogja untuk kuliah, ya,” kata Murjoko.
ADVERTISEMENT
Purnomo menjelaskan, sebenarnya ada banyak jenis matoa di alam. Namun pengklasifikasian jenis matoa di Indonesia sepertinya belum ada. Dan matoa tak hanya bisa ditemukan di Papua, namun juga di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Tapi matoa dengan populasi yang sangat rapat memang hanya bisa ditemukan di hutan Papua.
Ekspedisi Purnomo ke Nusa Kambangan Cilacap di periode 90-an menemukan matoa dengan jenis yang berbeda dengan yang ada di Papua. Matoa di Nusa Kambangan buahnya kecil-kecil dan rasanya asam sekali.
“Itu di Nusa Kambangan matoa jadi kesukaan monyet dan burung. Kalau manusia ya nggak bakal doyan,” jelasnya.
Rasa matoa yang asam menurut Purnomo mengingatkan pada rambutan tipe alami. Yang jarang diketahui, rambutan yang biasa dijual di pasar atau ditanam di pekarangan warga adalah rambutan hasil budidaya yang sudah melalui banyak campur tangan manusia untuk mendapat rasa dan kekuatan pohon yang diinginkan. Rambutan telah dibudidaya manusia sejak ratusan tahun yang lalu, namun matoa yang ditemui di Papua maupun di Nusa Kambangan adalah matoa purba yang sama sekali belum terjamah campur tangan manusia.
ADVERTISEMENT
Karenanya, Saya menyebut matoa sebagai manisan dari Tuhan. Kepurbaan dan keliarannya membawa sensasi kelezatan paripurna.
Biji Ajaib Perlu Penyempurnaan
Buah Matoa hasil panen seorang warga di Sleman pada awal Oktober lalu. Foto oleh : ES Putra
Menurut Purnomo, disebabkan oleh ketiadaan spesies matoa lain yang ada di Jawa – kemungkinan besar semua matoa di Jawa adalah matoa kelapa – membuat matoa yang ditanam dari biji pun akan tumbuh sebagaimana induknya. Hanya kualitas tanah dan pemupukanlah yang akan membedakan kualitas buahnya.
Rahasianya terletak pada proses penyerbukan. Bayangkan ada aneka ragam pohon rambutan dari rambutan liar hingga aneka rupa persilangan rambutan hasil budidaya. Pada saat mereka berbunga, jutaan serbuk sari akan melayang di udara, bisa hinggap di putik bunga tanaman itu sendiri atau terbang puluhan kilometer dan hinggap di putik bunga rambutan yang lain.
ADVERTISEMENT
“Setelah jadi buah, pohon rambutan kultivar terbaik pun, jika saat berbunga itu serbuk sari yang nempel dari pohon rambutan liar yang buahnya kecut sekali, nanti biji yang ditanam ya tidak akan semanis buahnya. Karena sudah hasil persilangan. Berbeda dengan matoa,” kata Purnomo.
Ya, karena matoa yang berkembang di Jawa khususnya Jogja dan sekitarnya kemungkinan hanya dari satu spesies yakni matoa kelapa, maka menanam dari biji pun, kualitas pohonnya akan sama dengan induknya. Berbeda dengan rambutan, hanya pembiakan secara vegetatif lah yang memungkinkan mendapat anakan yang sama dengan induknya.
Purnomo membayangkan ada usaha besar dari kampus di Papua khususnyam untuk membudidayakan matoa sehingga didapatkan kultivar matoa terbaik ; baik dari sisi kualitas buahnya, kuantitas panen, kekuatan pohon, sehingga mendapat kultivar matoa terbaik sebagaimana manusia menemukan jenis terbaik untuk rambutan.
ADVERTISEMENT
“Rambutan tipe alami itu nggak enak dan kecut sekali. Bayangkan kalau matoa kelapa bisa diperbaiki, maka akan hebat sekali. Matoa nggak popular, kalah sama rambutan, salah satunya karena budidayanya tidak jalan,” kata Purnomo.
Budidaya yang belum berkembang membuat matoa sulit diperkirakan kualitas buahnya. Jadi, meskipun banyak warga memiliki pohonnya, belum tentu semuanya bisa berbuah setiap tahun karena terlalu banyak faktor pendukung yang belum bisa dikontrol oleh pengetahuan manusia.
Mengenai mudahnya biji matoa tumbuh, menurut Purnomo, karena secara fisiologi biji matoa adalah biji yang sangat mudah untuk tumbuh terutama di dataran rendah seperti daerah asalnya di dataran rendah Papua.
“Rambutan bijinya juga mudah tumbuh, satu famili ini secara umum memang fisiologi bijinya gampang tumbuh,” kata Purnomo. (ES Putra / YK-1)
ADVERTISEMENT