Konten dari Pengguna

Melawan Tikus Sepanjang Masa dan Bagaimana Petani Begitu Merindukan Burung Hantu

20 Februari 2020 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para petani di Sidoagung, Gamping, Sleman, sedang istirahat siang. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Para petani di Sidoagung, Gamping, Sleman, sedang istirahat siang. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dasono memutuskan untuk istirahat ketika azan zuhur berkumandang. Sawahnya di Dusun Gentingan, Kelurahan Sidoagung, Gamping, Sleman, baru setengah petak yang sudah ditanami bibit padi. Harusnya, musim tanam sudah dilakukan sejak sekitar tiga bulan lalu. Namun karena kemarau berkepanjangan, musim tanam baru bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
“Kalau sekarang sudah sempurna hujannya, sudah rutin, jadi sudah bisa dimulai (tanamnya),” kata Dasono ketika ditemui di sawahnya, Selasa (18/2).
Masalah air memang sudah teratasi, tapi Dasono masih ketar-ketir dengan ancaman lainnya, yakni hama tikus. Tikus yang menyerang area persawahan di tempat itu menurutnya cukup ganas dan membuat para petani kewalahan.
“Saya kan juga nyewa sawah, luasnya 3.000 meter lebih, itu enggak pernah panen gara-gara tikus,” lanjutnya.
Tak jauh dari tempat Dasono menggarap sawahnya, Parip bersama beberapa perempuan paruh baya lainnya tampak sedang menikmati makan siang mereka di pematang sawah. Mereka juga mengamini apa yang dikatakan oleh Dasono.
“Paling banyak tikus di sini, susah juga mengatasinya,” kata Parip dengan bahasa Jawa.
ADVERTISEMENT
Meski sudah cukup meresahkan, hama tikus yang menyerang sawah belum mendapat respons cukup dari paguyuban petani di daerah itu. Akibatnya, tikus pun selalu ada dan semakin banyak. Dasono mengakui bahwa petani di Desa Sidoagung kurang kompak.
“Menanamnya saja ndak bareng mas, jadinya kan tikus ada terus karena makanannya selalu tersedia. Kalau bareng kan mending,” ujar Dasono.
Burung Hantu Memangsa 1.800 Ekor Tikus Pertahun
Darsono, seorang petani di Desa Sidoagung, Gamping, Sleman, sedang menanam padi di sawahnya. Foto: Widi Erha Pradana
Dasono merasa iri dengan para petani di daerah lain yang kompak dalam mengatasi hama maupun permasalahan pertanian lainnya, misalnya di Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman. Selain kompak, petani-petani di sana juga memiliki inovasi yang menurutnya cukup efektif untuk mengurangi hama tikus. Yakni dengan memanfaatkan burung hantu sebagai pemangsa tikus-tikus itu.
ADVERTISEMENT
“Mau juga saya kalau ada (burung hantu), tak buatkan kandang,” kata dia.
Pakar Burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Pramana Yuda, mengatakan burung hantu sangat efektif sebagai pengendali hama tikus di lahan pertanian. Hal itu karena burung hantu merupakan burung spesialis pemakan tikus.
“Diperkirakan dalam satu tahun satu burung hantu dapat memangsa 1.500 sampai 1.800 ekor tikus,” ujar Pramana Yuda.
Karena itu, di beberapa daerah, seperti di Desa Cancangan Kecamatan Cangkringan, Sleman, ada program-program rumah burung hantu (Rubuha) yang dibuat di area persawahan. Tujuannya, tidak lain sebagai pengendali hama tikus. Selain untuk persawahan, burung hantu juga sudah banyak digunakan di perkebunan sawit di Sumatera, Malaysia, dan Thailand.
“Karena memang burung hantu ini cukup efektif untuk mengendalikan hama tikus,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Populasi Terus Menurun
Burung hantu memakan tikus. Foto: 8villages.com
Sayangnya populasi burung hantu semakin menurun. Hasil studi yang dilakukan oleh Pramana Yuda bersama mahasiswanya pada 2016 silam, diperkirakan hanya ada 17 ekor burung hantu di Kota Jogja yang tersebar di tiga lokasi.
“Hasil ini berbeda dengan temuan tahun 2011, ditemukan di 11 lokasi. Sebagian besar lokasi sebelumnya tidak ditemukan lagi,” kata Pramana Yuda.
Penurunan populasi burung hantu ini kemungkinan besar juga terjadi di daerah lain, terutama di habitat kota. Di kota, burung hantu memanfaatkan gedung-gedung yang cukup tinggi antara 6 sampai 8 meter yang ada akses lubang ke atap sebagai sarangnya. Namun seiring banyaknya gedung-gedung yang direnovasi, burung-burung tersebut semakin berkurang jumlahnya.
“Ketika gedung itu diperbaiki, burung yang tinggal di situ biasanya akan pindah. Itu yang belum bisa kita lacak,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di alam liar, burung hantu juga terancam maraknya penebangan pohon-pohon liar dan alih-fungsi lahan. Burung hantu merlukan pohon besar yang berlubang untuk bersarang, hilangnya pohon-pohon besar itu juga menjadi ancaman akan kelestariannya.
“Perburuan untuk dijual juga jadi ancaman,” kata Pram.
Kendati demikian ada angin segar, terutama di daerah-daerah desa kemungkinan masih cukup banyak populasi burung hantu. Pasalnya, di beberapa daerah sudah mulai digalakan program rubuha. Di desa-desa tersebut, terutama yang sudah mandiri, masyarakat pada umumnya sudah cukup sadar akan pentingnya burung hantu sehingga mereka menjaga kelestariannya.
“Celakanya di beberapa daerah sawah, masih banyak yang menggunakan racun tikus. Sehingga juga meracuni burung hantu juga yang makan tikus beracun,” tegas Pram menyayangkan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT