Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mencari Jalan Menuju Kampus Merdeka
email: [email protected]
30 Januari 2020 15:31 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah mengumumkan wacana merdeka belajar yang sempat membuat ramai dunia pendidikan dalam negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali melemparkan gagasan kampus merdeka.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada empat poin utama dalam wacana kampus merdeka itu; sistem akreditasi perguruan tinggi, hak belajar tiga semester di luar program studi (prodi), hak otonomi kampus untuk membuka prodi baru, serta kemudahan menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH).
Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik (PIKA) UGM, Hatma Suryatmojo, menyambut baik gagasan baru kemendikbud tersebut, terutama tentang hak mahasiswa untuk mengambil kuliah selama tiga semester di luar prodinya. Menurutnya, mahasiswa memang harus diberi kesempatan untuk mendapatkan kompetensi di luar prodinya.
“Supaya paparan dia itu lebih banyak dan lebih lengkap,” ujar Hatma ketika ditemui di kantornya, Senin (27/1).
Belajar di luar prodi ini bisa berupa magang, penelitian, maupun pertukaran mahasiswa yang dimaksudkan untuk belanja kompetensi. Sehingga, proses pembelajaran di dalam prodinya cukup lima semester saja untuk mendapatkan fondasi atau landasan-landasan keilmuannya.
ADVERTISEMENT
Pakar Ilmu Pendidikan sekaligus Kaprodi Pendidikan Sejarah UNY, Zulkarnain, juga menyambut baik wacana kampus merdeka terutama dari segi kebutuhan industri dan belanja kompetensi. Namun, menurutnya ada hal yang perlu dikaji lebih jauh lagi soal pelaksanaannya, terutama bagi program studi yang berbasis ilmu sosial.
Masalah Ilmu Sosial
Mewujudkan kampus merdeka tidak semudah sekadar mewacanakannya, butuh waktu panjang agar setiap stakeholder duduk bersama membahas bagaimana pola pengembangan yang ingin dilakukan. Menurut Kaprodi Pendidikan Sejarah UNY, Zulkarnain, persoalan dunia pendidikan sangat kompleks, tidak bisa dikelola seperti halnya mengelola Go-Jek.
“Tapi mewujudkan perguruan tinggi merdeka secara 100 persen saya setuju. Tapi merdeka yang bagaimana? Dosennya merdeka, perguruan tingginya merdeka, lembaganya merdeka, mahsiswa juga merdeka dalam berekspresi,” ujar Zulkarnain, Selasa (28/1).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, saat ini masih banyak dosen yang jauh dari kata merdeka. Contoh yang paling dekat adalah kasus dipecat sekaligus dipolisikannya seorang dosen di Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala oleh dekannya hanya karena sebuah komentar di grup WhatsApp akhir tahun kemarin. Hal itu menjadi pekerjaan rumah besar untuk dirampungkan sebelum menuju kampus merdeka.
“Kalau dosennya saja tidak merdeka, bagaimana bisa melahirkan mahasiswa yang merdeka?” lanjut Zulkarnain.
Advokasi Agraria
Program magang atau belanja kompetensi selama tiga semester merupakan upaya positif, terutama untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa sekaligus menciptakan tenaga kerja yang terampil. Namun treatment sama tidak bisa diterapkan kepada mahasiswa yang basisnya adalah ilmu sosial. Sebab tujuan akhir pendidikan mereka bukan untuk kebutuhan industri, melainkan lebih pada misi sosial.
ADVERTISEMENT
Karena itu, selain diberikan kesempatan untuk belajar di prodi lain, mahasiswa juga perlu diberikan ruang seluas mungkin untuk berekspresi terutama di bidang sosial dan pendidikan. Zulkarnain berharap pengabdian-pengabdian di tengah masyarakat juga dihargai sebagai suatu SKS.
“Umpama ada mahasiswa Ilmu Sosial yang mengadvokasi agraria, jadi ketika masyarakat dirampas tanahnya begitu saja oleh pemerintah, kemudian mahasiswa melakukan advokasi, itu juga harusnya dihargai,” ujarnya.
Menurutnya, hal itu akan berdampak lebih bagus, baik dari sisi politik jaringan maupun dari sisi pembangunan narasi mahasiswa. Jika yang ditekankan hanyalah kemampuan penguasaan teori saja, hal itu justru akan menumpulkan sisi sosial mahasiswa.
“Jadi kalau ada mahasiswa demo, harus didukung. Bukan malah dipanggilin, dikatakan sebagai sampah dan dianggap aib. Karena mahasiswa sosial tujuannya untuk itu. Harusnya kampus bersyukur kalau mahasiswanya masih kritis-kritis. Tidak akan akan menurunkan akreditasi juga,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain menjadikan kegiatan pengabdian di tengah masyarakat sebagai sebuah SKS, mahasiswa-mahasiswa sosial humaniora juga bisa belanja kompetensi di LSM. Misalnya di LBH, WALHI, ICW, dan LSM-LSM lain yang sekiranya bisa meningkatkan sisi sosial mahasiswa tersebut.
Proses magang di LSM-LSM ini menurut Zulkarnain jauh lebih efektif ketimbang melakukan belanja kurikulum di kampus lain. Pasalnya, kurikulum untuk keilmuan-keilmuan yang basisnya sosial, antara kampus yang satu dengan lainnya biasanya tidak berbeda jauh.
Wacana kampus merdeka yang digagas Kemendkibud memang bisa berdampak positif, dengan kuliah lima semester di prodinya sendiri kemudian melakukan belanja kurikulum di prodi atau kampus lain, hal itu akan menambah wawasannya dan mengenalkan dia pada dunia yang berbeda. Namun dampak positif itu baru menyentuh pada sisi akademik.
ADVERTISEMENT
“Justru poin dari ilmu sosial itu kesuksesannya ketika teori yang dia pelajari di kuliah, itu mampu diimplementasikan di dalam masyarakat. Jadi dia memberikan sumbangsih pemikiran dan gagasan,” ujarnya.
Menurut Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik (PIKA) UGM, Hatma Suryatmojo, adanya perbedaan karakter tiap prodi maupun kampus justru bisa memperkaya dan melengkapi pengetahuan mahasiswa. Misal mahasiswa ekonomi belajar di teknik informatika untuk belajar tentang bagaimana digital marketing yang baik. Sehingga dia tidak hanya menguasai ilmu marketingnya saja, tapi juga bagaimana mendigitalkan ilmu marketing tersebut.
Lokasi kampus juga akan mempengaruhi bidang keilmuan strategisnya, misal kampus di Kalimantan tentu memiliki kajian tentang pengelolaan sumber daya alam yang lebih kompleks dan lengkap ketimbang kampus-kampus di Jawa.
ADVERTISEMENT
“Setiap perguruan itu kan pasti memiliki keilmuan strategis dan unik. Jadi harusnya bisa saling melengkapi,” jelasnya.
Bukan Gagasan Baru
Apa yang diwacanakan oleh Kemendikbud sebenarnya bukan hal baru bagi Zulkarnain. Di UNY, meski belum dalam kapasitas yang besar, namun gagasan tersebut sudah dilakukan. Misalnya dengan adanya program Joint Curriculum, Visiting Professor, Shopping Curriculum, serta pertukaran mahasiswa baik di dalam maupun luar negeri.
“Sudah dirintis sebenarnya di UNY, Cuma memang kendalanya baru minimalis, karena itu program uji coba, dan secara teknis pasti ada kendala,” ujarnya.
Beberapa kendala teknis yang dialami misalnya adanya sejumlah perbedaan di dalam kurikulum dengan kampus mitra. Meski di prodi yang sama, namun ternyata kurikulum yang dimiliki berbeda-beda, sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk menyesuaikan dari sisi kode, mata kuliah, SKS, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Jadi wacana Nadiem bukan sesuatu yang baru di tempat kami, karena kami sudah menerapkan itu. Cuman, penerapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan,” lanjut Zulkarnain.
Senada dengan Zulkarnain, Hatma juga mengatakan sejumlah gagasan kemendikbud soal kampus merdeka sudah diterapkan oleh UGM. Selama ini, UGM mendorong adanya fleksibilitas bagi mahasiswa dalam melaksanakan proses pembelajaran dan dalam memperoleh pengetahuan dari luar bidang keilmuan yang diikuti.
“Jadi ini bisa menjadi amunisi untuk mempercepat apa yang telah kami rintis,” ujar Hatma.
UGM juga telah mengembangkan kelas daring yang memungkinkan mahasiswa dari kampus lain untuk mengikuti pembelajaran di dalamnya. Hal ini bisa menjadi alternatif, bahwa untuk belanja kompetensi tidak harus mengikuti perkuliahan tatap muka di sebuah kampus sehingga bisa lebih efisien.
ADVERTISEMENT
Blended Learning Jadi Alternatif
Meski secara konsep bagus, program belajar tiga semester di luar prodi melalui pertukaran pelajar dalam pelaksanaannya akan menemui berbagai kendala. Pertama adanya kemungkinan kesenjangan kualitas antarkampus. Bagi kampus dengan kualitasnya setara, mungkin tidak akan jadi soal, tapi apakah kampus yang kualitasnya bagus itu bersedia bermitra dengan kampus yang kualitasnya di bawahnya?
“Kemudian soal daya tampung mereka umpama terbatas bagaimana? Itu juga menjadi masalah,” kata Zulkarnain.
Ada beberapa alternatif teknis metode pembelajaran yang bisa diterapkan untuk mewujudkan gagasan kampus merdeka, salah satunya adalah blended learning. Blended learning merupakan kombinasi pengajaran langsung secara tatap muka dan pengajaran daring.
Dengan adanya blended learning, mahasiswa memungkinkan untuk mengakses pembelajaran dari mana saja, tanpa harus tatap muka di dalam kelas. Hal ini dinilai bisa menjadi solusi atas terbatasnya kapasitas ruang atau gedung di sebuah kampus.
ADVERTISEMENT
“Jadi selama pembelajaran itu mahasiswa tidak perlu tatap muka langsung dengan dosennya, tetapi diskusi bisa dilakukan melalui platform online,” ujar Hatma.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Dengan adanya sistem seperti yang diwacanakan oleh Kemendikbud, atmosfer kompetisi yang selama ini begitu kuat antarkampus perlu diubah ke arah kolaborasi. Dengan adanya sinergi lintas kampus, maka kolaborasi itu menjadi poin penting. Misalnya, Hatma mencontohkan kemitraan yang dijalankan oleh UGM dengan sejumlah perguruan tinggi lain untuk mengembangkan mata kuliah.
“Maka sejak 2017 kita sudah mendorong dosen itu bermitra dengan dosen dari kampus lain untuk mengembangkan mata kuliah. Jadi ada 100 lebih mata kuliah yang dikembangkan dari kemitraan itu. Yang ngambil kuliah ya mahasiswa dari UGM dan mahasiswa perguruan tinggi mitra,” ujar Hatma.
ADVERTISEMENT
Zulkarnain mencontohkan sistem pendidikan di New Zealand yang bisa menjadi salah satu referensi untuk mewujudkan gagasan kampus merdeka. Di sana, pendidikan tidak dikungkung oleh kurikulum, sehingga mahasiswa dibolehkan untuk mengambil kuliah sesuai dengan minatnya.
“Kalau pendidikan kita kan saat ini seperti pabrik, mencetak dan mencetak, tanpa memahami cetakannya itu bermanfaat tidak untuk masyarakat,” ujarnya.
Apa yang Harus Disiapkan?
Hal pertama yang perlu disiapkan adalah penyamaan persepsi tentang bagaimana konsep dan tujuan dari kampus merdeka. Setelah itu, secara teknis, instrumen-instrumen pendidikan seperti kurikulum juga harus benar-benar dibahas supaya memudahkan proses pertukaran mahasiswa nantinya.
“Jadi harus ada penyamaan persepsi lagi tentang kurikulum, kemudian target dan sasarannya,” ujar Zulkarnain.
Perbedaan kurikulum ini akan menjadi persoalan serius dalam proses pelaksanaan belanja kompetensi ini.
ADVERTISEMENT
“Kecuali ada policy, udah nggak usah sama mata kuliahnya, yang penting ada mirip-miripnya diambil nggak papa,” lanjutnya.
Selain penyamaan persepsi, infrastruktur pendukung juga perlu dipersiapkan. Jika memang akan menggunakan skema blended learning, itu artinya dibutuhkan teknologi informasi yang memadai.
“Jadi kita harus siapkan studio, ada kamera, koneksi internetnya juga harus bagus, sehingga tidak malah memunculkan masalah-masalah baru,” jelas Hatma. (Widi Erha Pradana / YK-1)