Mencari Jejak Kuda Sembrani Tunggangan Bidadari di Gunung Api Purba, Nglanggeran

Konten dari Pengguna
17 Oktober 2020 14:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Telaga Guyangan di Kampung Pitu. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Telaga Guyangan di Kampung Pitu. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dasar telaga berdiameter itu kini ditumbuhi rerumputan liar. Tidak ada air lagi yang menggenang di atasnya, yang terlihat hanya hamparan hijau yang memenuhi telaga itu. Sejak beberapa tahun terakhir, telaga sudah berganti fungsi menjadi lahan sawah tadah hujan yang ditanami padi setiap musim penghujan tiba.
ADVERTISEMENT
Tak hanya air di telaga, mata air di tepi telaga kini juga ikut mengering. Akar beringin di dekarnya, seolah sudah enggan mengeluarkan air lagi. Telaga itu dikenal dengan nama Telaga Guyangan, tempat yang paling disakralkan masyarakat Kampung Pitu, Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul. Sebuah kampung di dekat puncak Gunung Api Purba yang konon hanya boleh dihuni oleh tujuh kepala keluarga saja.
Sebelum 2014, Kampung Pitu selama bertahun-tahun dikenal dengan nama Dusun Telaga. Telaga Guyangan adalah alasan tempat dinamai dusun Telaga. Namun karena tempat itu kemudian dijadikan lokasi pariwisata, nama dusun Telaga diganti menjadi Kampung Pitu yang dinilai lebih menarik untuk wisatawan.
“Sebelum kering, air di telaga Guyangan itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari warga Kampung Pitu,” kata Sugito, 44 tahun, salah seorang kepala keluarga yang aktif mengembangkan pariwisata di Kampung Pitu, Selasa (13/10).
ADVERTISEMENT
Keringnya mata air di Telaga Guyangan disinyalir karena dibangunnya sumur bor di dekatnya. Niat pembangunan sumur itu sebenarnya baik, untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Tapi siapa sangka, pembangunan sumur bor itu justru mebuat mata air yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun itu mengering.
“Sekarang, kalau musim hujan Telaga Guyangan dijadikan sawah, sawah tadah hujan,” lanjutnya.
Pemandian Kuda Sembrani Tunggangan Bidadari
Bekas tapak tapal kuda yang dipercaya sebagai tapak kuda sembrani.
Guyangan, dalam bahasa Indonesia bisa diartikan pemandian. Masyarakat Kampung Pitu percaya, dulu Telaga Guyangan merupakan tempat pemandian kuda sembrani tunggangan para bidadari.
Di sebuah batu besar di sisi timur telaga, terdapat satu jejak kaki menyerupai kaki kuda. Masyarakat setempat meyakini, bahwa jejak itu merupakan jejak tapal kaki kuda sembrani.
Sesepuh sekaligus juru kunci Telaga Guyangan, Yatnoredjo, 75 tahun, mengatakan bahwa sebelumnya ada empat jejak kaki di batu itu. Tapi kemudian ada utusan keraton yang datang dan mengambil tiga tapak kaki untuk dibawa ke keraton.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebelum dimandikan, kudanya itu selalu napak di tempat itu,” kata Yatnoredjo menggunakan bahasa Jawa.
Di tepi telaga, tumbuh sebatang pohon beringin dengan ukuran sedang. Pohon beringin itulah yang tadinya menjadi sumber mata air di Telaga Guyangan. Menurut Yatnoredjo, usia beringin itu sekarang sudah sekitar 50-an tahun.
Sebenarnya itu bukan pohon beringin utama. Awalnya ada beringin yang jauh lebih besar dan tua, tapi kemudian mati. Dari tengah batang yang sudah mati, ternyata ada biji beringin yang tumbuh dengan sendirinya. Beringin itu terus tumbuh dan semakin besar.
“Sebenarnya itu (beringin) belum terlalu tua. Tapi kalau yang sebelumnya memang beringin tua, saya kecil saja sudah besar banget pohonnya. Tapi sudah mati,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Di Kampung Pitu, terdapat batu besar yang dinamai Watu Bantal. Batu itu dipercaya sebagai tempat persinggahan para bidadari setelah mandi di air terjun Kedung Kandang yang masih berada di kawasan wisata Desa Nglanggeran.
Banyak Orang Datang Meminta Pertolongan
Sesepuh sekaligus juru kunci Telaga Guyangan, Yatnoredjo, 75 tahun. Foto: Widi Erha Pradana.
Keramatnya Telaga Guyangan tidak hanya diakui oleh masyarakat Kampung Pitu saja. Kabar itu beredar luas ke mana-mana. Sehingga tidak jarang ada orang luar yang datang bertamu untuk meminta pertolongan untuk dilancarkan hajat hidupnya.
“Ada yang biar sekolahnya lancar, jadi mau ujian minta dilancarkan. Ada juga yang pengin naik jabatan, macem-macem pokoknya,” ujar Yatnoredjo.
Sering juga ada orang yang menderita sakit tertentu, sudah berobat ke mana-mana namun tak kunjung sembuh. Kemudian mendapat petunjuk untuk datang ke Telaga Guyangan.
ADVERTISEMENT
“Kalau musim politik itu banyak yang ke sini. Ya itu minta biar kepilih,” ujarnya.
Mereka yang datang biasanya diminta untuk membawa sesaji, lalu melakukan ritual-ritual khusus. Ada yang sampai mandi di Telaga Guyangan, ada juga yang cukup melakukan ritual dengan membaca doa-doa tertentu.
“Jadi pakai syarat. Ada syarat yang harus dipenuhi,” ujarnya.
Pohon Pusaka yang Hilang
Telaga Guyangan. Foto: Widi Erha
Berabad-abad yang lalu, Keraton Yogyakarta mengadakan sebuah sayembara untuk menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung. Siapa yang mampu menjaga pohon hadiah itu, akan diberi hadiah berupa tanah di lereng Gunung Api Purba untuk tempat tinggalnya.
Tanah hadiah itu tidak hanya untuk pemenang sayembara, tapi juga untuk para keturunannya kelak. Dengan catatan, hanya tujuh kepala keluarga yang boleh tinggal di tanah tersebut. Sampai sekarang,meski masih banyak tanah kosong yang tersedia, jumlah kepala keluarga yang tinggal di Kampung Pitu hanya tujuh kepala keluarga.
ADVERTISEMENT
Orang-orang sakti dari berbagai tempat datang, namun tak ada satupun yang mampu menjalankan sayembara itu. Hingga datanglah Eyang Iro Kromo dari Banyumas yang berhasil menemukan dan menjaga pohon pusaka yang dimaksud.
“Sesuai janjinya, keraton memberikan hadiah, jadi Eyang Iro Kromo diizinkan untuk tinggal di sini,” ujar Yatnoredjo.
Dia menjadi orang pertama yang membabad alas dan tinggal di Kampung Pitu. Sampai kemudian datang sang adik yang bernama, Eyang Tir.
Saat ini, dari tujuh kepala keluarga yang tinggal di Kampung Pitu, tiga merupakan keturunan Eyang Iro Kromo, sedangkan dua lainnya merupakan keturunan Eyang Tir. Tapi sampai sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pohon pusaka Kinah Gadung Wulung.
“Sudah dicari ke mana-mana, tapi tidak ketemu. Tidak ada yang tahu ada di mana,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT