Menembus Jalan Terjal dan Berbatu Gunung Ungaran, Semarang

Konten dari Pengguna
10 Februari 2020 13:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kami berfoto di Puncak Tugu, puncak tertinggi Gunung Ungaran. Foto dokumen Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Kami berfoto di Puncak Tugu, puncak tertinggi Gunung Ungaran. Foto dokumen Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
“Maaf Ungaran, sudah menyepelekanmu,” kata Fairuz yang masih terkagum dengan pemandangan yang disuguhkan oleh Ungaran dan tidak menyangka pendakian ke Ungaran, gunung setinggi 2.050 mdpl akan seberat ini.
ADVERTISEMENT
“Makanya, jangan lihat gunung cuman dari ketinggiannya,” jawab Danang.
Kami melanjutkan perjalanan pulang selangkah demi selangkah. Sebab, kemanapun kami pergi, gunung apa pun yang kami daki, tujuan akhirnya adalah pulang. Entah, gunung mana lagi yang akan kami cumbui besok. Bisa saja Ungaran lagi, sebab, gunung yang sama pun akan selalu memberikan cerita berbeda meski sudah berkali-kali kita daki.
***
Sehari sebelumnya, Fairuz mengirim pesan singkat lewat aplikasi WhatsApp di saat trauma dan rasa lelah setelah mendaki Lawu belum hilang sepenuhnya. Fairuz adalah satu-satunya teman mendaki saya ketika mendaki Lawu akhir tahun kemarin.
Cuk, minggu ini senggang enggak? Merbabu yok,” tulisnya.
Dia seolah lupa apa yang terjadi dengan kami di Lawu kemarin, hampir mati gegara rencana yang mendadak dan minim persiapan. Apalagi sekarang ini intensitas hujan sudah semakin tinggi, tak seperti Desember kemarin.
ADVERTISEMENT
Setelah diskusi panjang lebar, akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung Ungaran saja pada pekan depannya, Sabtu (1/2). Meski jaraknya lebih jauh, namun dengan ketinggian 2.050 mdpl, sepertinya Gunung Ungaran relatif lebih mudah didaki ketimbang Merbabu yang ketinggiannya mencapai 3.145 mdpl.
Selain terbatasnya waktu, minimnya persiapan juga menjadi alasan kami untuk tidak mendaki gunung-gunung yang terlalu tinggi dulu. Kami juga sudah pernah mendaki Merbabu sebelumnya, hal itu menjadi salah satu alasan lagi Gunung Ungaran menjadi pilihan pendakian kami.
Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Pendakian kali ini tidak hanya dengan Fairuz saja, ada dua teman lain yang ikut bersama kami, yaitu Danang dan Willy. Awalnya kami merencanakan berangkat dari Jogja pukul 09.00 WIB, tapi pukul 12.00 WIB perjalanan baru dimulai, ketika langit Jogja sedang terik-teriknya. Sudah biasa.
ADVERTISEMENT
Pukul empat sore kami baru sampai di Basecamp Mawar, artinya kami akan bertemu dengan malam di tengah perjalanan nanti. Baru saja duduk menyandarkan punggung, langit memuntahkan hujan.
Menembus Hujan
Sulit untuk tidak mengabadikan diri saat berada di tengah hutan pinus. Foto : Widi Erha Pradana
Setengah jam menunggu, hujan tak kunjung reda. Tak mau terlalu malam di perjalanan, kami putuskan menembus derasnya hujan. Medan masih landai, sehingga hujan tak jadi kendala serius. Kami menyusuri jalan setapak, dengan pohon pinus dan semak belukar di kanan dan kiri kami.
Kabut tebal dan hujan bikin jalan tanah setapak licin. Tapi semua terkendali, meski beberapa kali kami harus berhenti, mengatur napas karena butuh adaptasi dengan lingkungan baru.
Sekitar setengah jam berlalu, kami tiba di pos satu, Pronojiwo. Hujan tinggal menyisakan gerimis, tapi jas hujan tetap kami pakai. Selain berjaga-jaga, karena cuaca di gunung sangat tidak bisa diprediksi, jas hujan membuat suhu tubuh tetap terjaga, jas hujan membantu kami agar badan tetap hangat.
ADVERTISEMENT
Di pos Pronojiwo, kami istirahat sekitar sepuluh menit untuk mengatur napas yang mulai tersengal karena beban di pundak yang lumayan berat. Perjalanan kembali kami lanjutkan dengan medan yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pepohonan semakin bervariasi, ada pohon sarangan, rengas, juga pelam hutan. Yang terakhir ini saya tak tahu nama aslinya, tapi pohonnya sangat mirip dengan pohon pinang, hanya saja batangnya lebih ramping.
Di tengah perjalanan menuju pos dua, kami mulai mendengar suara gemericik air. Benar saja, di hadapan kami sebuah sungai dengan air terjun kecil mengalir cukup deras. Airnya sangat jernih. Di sungai itulah kami mengambil empat botol besar air untuk bekal melanjutkan perjalanan.
Karena hari mulai gelap, kami keluarkan senter masing-masing. Tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di pos dua. Azan maghrib sayup-sayup terdengar dari arah kampung. Hari semakin gelap, dan angin gunung yang sesekali berhembus membuat badan basah kami merinding kedinginan.
ADVERTISEMENT
Di pos dua, jalan bercabang. Rute lurus menuju kebun kopi, tempat pos tiga dan camping ground berada. Sedangkan jalan ke kiri tidak melewati pos tiga, namun memotong jalan langsung menuju pos empat.
Awalnya kami berencana lewat jalur pertama karena ingin melihat pemandangan kebun kopi yang sepertinya sangat indah. Namun niat itu kami urungkan, toh hari sudah malam, kami tak akan bisa melihat apa pun kecuali gelap. Kami berempat sepakat memilih jalan kedua, yakni jalan ke kiri yang akan langsung sampai ke pos empat tanpa melewati pos tiga.
Siksaan itu Dimulai
Trek tegak lurus yang harus didaki. Foto : Widi Erha
Baru beberapa meter berjalan dari pos dua, medan yang kami lalui mulai terjal, meski sebagian masih cukup landai. Beberapa tanjakan yang licin membuat beban di punggung terasa dua kali lebih berat. Tapi semua masih aman, hujan pun sudah reda.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dari pos dua ke empat cukup lama. Pohon-pohon besar di sekitar kami hanya terlihat hitam. Perjalanan yang tadinya diwarnai dengan canda tawa, kini yang terdengar hanya langkah kaki dan hembusan napas kami yang semakin cepat. Kami semua menjadi lebih sedikit bicara, karena ketimbang digunakan untuk bicara, lebih baik kami gunakan sisa tenaga yang ada untuk melangkah.
Hampir tiga jam berjalan, barulah kami sampai di pos empat. Kami langsung jatuhkan badan yang lelah ke tanah. Di pos empat, kami istirahat cukup lama, memakan biskuit, meminum madu, dan yang pasti menghisap tembakau.
Suara daun-daun bergesekan satu sama lain karena tiupan angin menemani kami. Perpaduan suara hewan-hewan malam membuat malam terasa sangat puitik, tapi juga seram. Setelah menghabiskan sebatang rokok, perjalanan kami lanjutkan kembali.
ADVERTISEMENT
Baru berjalan beberapa langkah, kami langsung dihadapkan dengan medan yang terjal dan berbatu. Sesekali kami harus merangkak untuk melewati jalan yang sangat terjal. Sulitnya medan sampai membuat sol sepatu Willy lepas di tengah jalan.
Langkah kami kian berat, nyaris tak ada jalan datar selepas pos empat. Kami menyesal, sempat menyepelekan Gunung Ungaran yang ketinggiannya hanya 2.050 mdpl. Bahkan dibandingkan Merbabu, saya merasa medan di Gunung Ungaran ini lebih berat, terutama selepas pos empat ke atas. Medan berbatu dan terjal membuat langkah kami tak bisa cepat, intensitas istirahat juga semakin sering.
Di sebuah titik, kami baru sadar, bahwa di belakang kami ada pemandangan yang sangat indah. Lampu-lampu kota di bawah sana, bak menjelma bintang-bintang di langit luas. Pemandangan itu seperti di Bukit Bintang di Pathuk Gunung Kidul Yogyakarta ketika malam, tapi suasananya jauh berbeda. Jika di Bukit Bintang dipenuhi orang-orang pacaran dan deru kendaraan bermotor yang bising, di sini senyap, sangat cocok untuk berkontemplasi.
ADVERTISEMENT
Kami cukup lama duduk, istirahat sembari menikmati pemandangan lampu-lampu kota itu. Bersama semesta, rimba Ungaran dan segala isinya.
Sayangnya malam semakin larut, dan kami harus kembali melanjutkan perjalanan ke tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Sepanjang jalan dari pos empat, kami sama sekali tidak menemukan tempat yang cukup lapang untuk mendirikan tenda.
Semakin ke atas, jalan ternyata semakin terjal. Kami harus bahu membahu, saling membantu satu sama lain, terlebih energi sudah banyak terkuras. Perut pun rasanya sudah sangat keroncongan.
Ketika langkah kian gontai, akhirnya kami menemukan sejumlah tenda di area yang cukup luas. Hampir sudah tidak ada tempat lapang untuk mendirikan tenda. Setelah cukup lama mencari, akhirnya kami mendirikan tenda di sebuah area seadanya.
ADVERTISEMENT
Tenda sudah berdiri, barang-barang kami masukkan, waktunya masak-masak. Secangkir kopi susu panas menjadi penghangat kami, sembari menunggu mie instan siap disantap. Seperti biasa, di atas gunung, mie instan rasanya sangat nikmat.
Kalau Bodoh, Tak Usah Mendaki
Tempat mendirikan kemah di Gunung Ungaran. Foto : Widi Erha Pradana
Acara makan-makan selesai, jarum arloji juga sudah melewati tengah malam, waktunya untuk tidur. Suhu malam itu tidak terlalu dingin, di dalam tenda bahkan saya masih merasa cukup hangat. Sebelum tidur, tidak lupa kami panjatkan doa, mengucapkan syukur kepada pemilik semesta karena telah menjaga kami sejauh ini. Besok, kami rencana akan summit ke puncak pukul empat subuh, alarm sudah kami atur.
Rasanya baru sangat sebentar saya tertidur sebelum sebuah rombongan pendaki datang dengan jumlah yang sepertinya cukup banyak. Saya tahu karena suara mereka cukup keras, hingga membangunkan kami.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya gelak tawa dan candaan, mereka juga memutar musik dengan volume tinggi. Saya lihat jam, ternyata baru pukul dua dini hari. Sial, gerutu saya kesal. Begitu juga dengan Danang, Willy, dan Fairuz.
Entah apa yang dipikirkan para pendaki itu, memutar musik dengan suara kencang di waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat. Apakah mereka baru pertama kali mendaki gunung? Sehingga tidak tahu kalau untuk bisa tidur di gunung saja itu bukan perkara gampang.
Ya, untuk bisa tidur di gunung, kami harus melawan rasa dingin dan pegal-pegal di sekujur tubuh. Terlebih jika area yang digunakan untuk mendirikan tenda berbatu seperti di Ungaran ini, punggung rasanya sakit sekali. Dan ketika sudah bisa tidur, orang-orang itu tanpa rasa bersalah bertingkah bodoh yang membuat kami terbangun lagi. Padahal, kami harus menyimpan tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke puncak nanti subuh.
ADVERTISEMENT
Kami sudah berencana untuk menegur mereka sebelum tenda sebelah kami menegur lebih dulu dengan nada kesal yang membuat orang-orang itu sedikit lebih tenang dan kami bisa melanjutkan istirahat.
Puncak Tugu, Ketika Matahari Datang Terlalu Cepat
Beberapa gunung di Jawa Tengah dan DIY tampak dari Gunung Ungaran. Foto : Widi Erha Pradana
Suara derap kaki dan teriakan-teriakan di luar tenda kembali membangunkan kami. Di luar, cahaya tampak sudah cukup terang. Benar saja, ketika saya melihat jam, ternyata sudah hampir pukul enam pagi. Rencana untuk melihat sunrise di Puncak Tugu, puncak tertinggi Ungaran pun tinggal rencana.
Di gunung, bangun pagi bagi saya adalah sebuah kemustahilan. Entah, saya yang dasarnya pemalas atau matahari yang datang terlalu cepat.
Dengan malas saya bangun dan membuka pintu tenda. Di luar sudah terang meski agak berkabut. Embun-embun menggantung di ujung ilalang, memantulkan semburat merah mata hari yang masih malu-malu.
ADVERTISEMENT
Setengah tujuh, berbekal makanan dan minuman seperlunya kami baru memulai perjalanan menuju puncak. Meski sudah tidak membawa carrier, tapi perjalanan masih terasa berat karena medan yang sangat terjal dan berbatu. Terlebih tulang dan persendian kami yang masih kaku, dan tentu kesadaran yang belum pulih sepenuhnya akibat kurang tidur.
Semakin dekat puncak, jalan semakin terjal. Sama sekali tidak memberikan bonus jalan rata untuk kami. Baru sekitar sejam lebih, kami sampai di puncak. Di sana, sudah ada beberapa pendaki yang sedang berfoto ria.
Dari Puncak Tugu, kami bisa melihat gunung-gunung lain, ada dua sejoli Merapi-Merbabu, Sindoro-Sumbing, juga Lawu yang samar-samar tetap berdiri gagah meski tak punya pasangan. Setelah melepas lelah dan mengambil foto secukupnya, kami bergegas turun.
ADVERTISEMENT
Perjalanan turun tidak lebih baik dari perjalanan naik. Jalan yang sangat terjal dan berbatu, tidak memungkinkan kami untuk lari atau sekadar jalan cepat seperti ketika turun gunung biasanya. Kami harus berjalan selangkah demi selangkah, menginjakkan kaki dari batu satu ke batu lain dengan hati-hati supaya lutut dan engkel tidak jadi korban.
Jalan pulang pun tak lebih mudah dari jalan naik. Foto : Widi Erha Pradana
Di tengah perjalanan turun, kami bertemu dengan rombongan pendaki yang jumlahnya cukup banyak. Mereka bermalam di pos tiga, cukup jauh dengan puncak. Di antara mereka, ada dua pendaki perempuan yang menarik perhatian saya karena pakaian yang saya pikir kurang tepat dipakai ke gunung.
Dua pendaki itu memakai gamis dan bercadar, pakaian yang sepertinya lebih cocok dipakai ke masjid ketimbang ke gunung. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana susahnya mendaki medan terjal dan berbatu seperti ini menggunakan kostum seperti yang dua perempuan itu kenakan.
ADVERTISEMENT
Kami saja yang menggunakan pakaian standar semalam hampir menyerah dengan tanjakan Ungaran yang tidak manusiawi. Memang hak mereka menggunakan pakaian seperti apa pun, tapi sepertinya akan lebih baik jika pakaian dikenakan di tempat yang tepat.
Apalagi gunung adalah tempat yang ekstrem, sebisa mungkin pakaian yang dikenakan pun sesuai dengan standar demi mengurangi risiko celaka. Masalahnya, jika terjadi sesuatu dengan kita, yang susah bukan hanya kita, tapi juga orang lain seperti teman-teman kita, tim SAR, dan sebagainya. Atau mungkin mbaknya ingin membuktikan, bahwa pakaian seperti itu sama sekali tidak menghalangi aktivitas sehari-hari, bahkan naik gunung? Entahlah.
“Mas, di puncak ada sumber air tidak ya?” tanya salah seorang dari mereka yang membuyarkan lamunan saya.
ADVERTISEMENT
Kami berempat justru saling tatap, tidak langsung menjawab. Memangnya gunung mana yang di puncaknya ada mata air?
“Wah, enggak ada mas,” jawab Fairuz.
Ternyata mereka hanya membawa sebotol air untuk bekal ke puncak, itu pun tinggal setengah ketika diperlihatkan ke kami. Padahal mereka berjumlah sepuluh orang, dan puncak masih cukup jauh. Akhirnya, sebotol air mentah yang masih tersisa, kami berikan kepada mereka.
Kami tak habis pikir, masalah air saja yang sangat vital tidak mereka perhitungkan dengan jeli. Begitu sepelekah naik gunung? Semoga mereka tidak punya rencana mati muda di gunung agar dikenang seperti Soe Hok Gie. (Widi Erha Pradana / YK-1)