Menghalau Ulat Grayak, Si Monster Kecil Bagi Tanaman Jagung, Tanpa Pestisida

Konten dari Pengguna
7 Oktober 2020 12:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilsutrasi ulat grayak. Foto: Pxhere
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi ulat grayak. Foto: Pxhere
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Awal 2019, petani di Indonesia, khususnya petani jagung mendapat musuh baru yakni ulat grayak atau Spodoptera frugiperda. Ulat grayak ini merupakan spesies serangga hama baru yang semula ditemukan di wilayah Amerika Tengah.
ADVERTISEMENT
Selain penyebarannya yang sangat cepat, serangga ini juga bisa menghancurkan tanaman jagung dalam waktu singkat hingga bisa mengakibatkan gagal panen. Di negara-negara Afrika, serangan hama ini menyebabkan berkurangnya hasil panen jagung sekitar 4 sampai 8 juta ton per tahun dengan kerugian nominal sekitar 4,6 juta dolar AS.
Itji Diana Daud, seorang profesor di Agroteknologi Universitas Hasanuddin, menyebutkan bahwa Spodoptera frugiperda merupakan jenis serangga eksotik. Di beberapa negara, khususnya di sentra produksi jagung, serangga ini hadir dalam bentuk wabah.
Ada beberapa alasan menurut Itji yang menyebabkan populasi Spodoptera frugiperda bisa sangat banyak. Pertama karena tidak stabilnya ekosistem sehingga tidak memungkinkan terjadinya proses homeostasis.
“Tidak ada musuh alami yang mampu mengendalikan. Tidak ada saingan dari herbivora atau organisme pengganggu tanaman lain,” ujar Itji dalam seminar daring yang diadakan oleh Himpunan Etimolog Indonesia awal pekan ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga faktor dari Spodoptera frugiperda itu sendiri. Dimana jenis serangga ini memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik dengan kondisi lingkungannya. Kemampuan reproduksinya juga sangat tinggi, satu ekor imago betina bisa menghasilkan telur 100 sampai 200 butir.
“Sebenarnya kalau ekosistem itu homeostasis komunitas, maka karnivora yang menjadi musuh alami OPT (organisme pengganggu tanaman) akan mampu mengendalikan herbivora yang menjadi OPT,” lanjutnya.
Mendatangkan Musuh Alami dari Negara Asalnya
Pada 1986, untuk pertama kali ditemukan kasus munculnya hama Heteropsylla cubana di Indonesia yang berasal dari Kuba. Karena merupakan organisme pendatang, maka belum ada musuh alami di ekosistem. Sehingga saat itu perlu didatangkan Curinus coeruleus dan Olla abdominalis yang merupakan musuh alaminya dari Hawai.
ADVERTISEMENT
Dan ternyata kedua organisme yang didatangkan itu berhasil menghalau dan mengendalikan populasi Heteropsylla cubana.
Pestisida kimia sebenarnya bisa saja digunakan untuk menghalau serangga pengganggu tanaman. Tapi menurut Itji, pestisida kimia bukanlah pilihan bijak dan sebisa mungkin dihindari.
Belajar dari kasus serangan hama wereng pada tanaman padi dimana pestisida kimia digunakan dalam jumlah besar untuk mengatasi hama tersebut, ternyata pestisida kimia tidak hanya membunuh serangga-serangga pengganggu. Selain merusak kualitas tanah, pestisida kimia juga mengakibatkan organisme-organisme karnivora yang menguntungkan petani mati sehingga keseimbangan ekosistem semakin terganggu.
Pilihan paling bijak menurut Itji yang perlu dilakukan adalah melakukan introduksi atau mendatangkan musuh alami Spodoptera frugiperda dari negara asalnya.
“Spodoptera frugiperda ini awalnya berasal dari Amerika. Jadi kita perlu mendatangkan musuh-musuh alami dari negara asalnya juga,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dari penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa musuh alami Spodoptera frugiperda yang ada di tempat asalnya. Di antaranya adalah Telenomus Remus nixon yang efektivitas parasitismenya mencapai 80 persen, Chelonus insularis Cresson yang juga dipakai di Amerika Tengah dan Selatan, serta Cotesia marginiventris.
“Dan ini sudah diperbanyak secara massal di Amerika Latin,” ujarnya.
Peran spesies serangga sebagai predator generalis yang sudah ada di ekosistem juga perlu dipertimbangkan. Misalnya beberapa jenis laba-laba (Araneidae), kumbang (Coleoptera), tawon, lebah, dan semut (Hymenoptera), serta Diptera.
“Mengapa predator generalis sangat dibutuhkan? Karena dia sudah ada di lapangan sebelum predator spesifik datang,” kata Itji.
Langkah Introduksi Musuh Alami
Untuk melakukan introduksi musuh alami Spodoptera frugiperda, pertama perlu dilakukan seleksi penilaian dan organisme sasaran, dan itu menurut Itji telah dilakukan. Maka langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menentukan daerah eksplorasi untuk pencarian musuh alami.
ADVERTISEMENT
“Berikutnya dalam memilih musuh alami untuk koleksi, pengkarantinaan, kemudian mengkajinya di laboratorium, untuk diperbanyak secara massal,” ujar Itji Diana Daud.
Setelah berhasil diperbanyak, langkah berikutnya yaitu melakukan kolonisasi lapangan serta melakukan evaluasi efikasinya.
Introduksi musuh alami ini menurut Itji merupakan pilihan yang jauh lebih baik ketimbang penggunaan pestisida atau insektisida kimia. Selain mengendalikan organisme pengganggu, pemanfaatan musuh alami juga penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem sehingga bisa mendorong pada pertanian yang berkelanjutan.
“Kita perlu mempertahankan dan melestarikan musuh alami di suatu habitat agar lebih efektif fungsinya,” ujarnya.
Ada beberapa karakteristik yang perlu dimiliki oleh musuh alami, di antaranya secara ekologi dia kompatibel, secara temporal sinkron, tanggap terhadap kerapatan populasi inangnya, potensi reproduksi tinggi, serta kemampuan mencari inang yang baik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, musuh alami juga perlu memiliki kekhususan inang dan inang alternatif, hiperparasitisme, serta kemudahan untuk dikembangbiakkan.
Prospek Insektisida Nabati
Selain memanfaatkan musuh alami, beberapa jenis tumbuhan juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan insektisida nabati. Djoko Prijono, peneliti dari Departemen Proteksi Tanaman IPB, mengatakan bahwa bahan-bahan insektisida tersebut sebenarnya ada banyak, sayangnya sejauh ini pengembangannya masih banyak yang berhenti pada tahap penelitian, belum sampai pemanfaatan apalagi pemasyarakatan.
Selama 1940 sampai 1950, ada sebanyak 2.500 jenis tumbuhan yang telah dieksplorasi, namun hanya didapatkan satu tanaman yang mengandung rianodin sebagai bahan insektisida nabati.
“Kemudian saat ini diketahui ada sekitar 1.600 jenis tanaman yang memiliki aktivitas biologi terhadap serangga,” ujar Djoko Prijono.
Beberapa famili yang paling terkenal efektif sebagai bahan insektisida nabati dan memiliki spesies terbanyak di antaranya Meliaceae, Piperaceae, Asteraceae, dan Fabaceae.
ADVERTISEMENT
Penggunaan insektisida nabati bagi dunia pertanian sebenarnya bukan wacana baru. Semua orang sudah tahu manfaat penggunaan insektisida nabati ketimbang penggunaan bahan kimia. Terlebih, tumbuhan insektisida nabati banyak dijumpai di sekitar lahan pertanian dan mudah dibudidayakan.
Dari penelitian yang sudah dilakukan, insektisida nabati juga efektif dengan tingkat kematian hama sasaran lebih dari 80 persen dan tingkat efikasi lebih dari 70 persen. Tapi pertanyaannya, kenapa penggunaan insektisida nabati ini justru tidak populer di kalangan petani?
“Semua orang tahu, publikasi banyak sekali, ada jutaan mungkin. Tetapi yang di lapangan kok tidak kelihatan,” lanjutnya.
Ada beberapa alasan menurut Djoko yang membuat insektisida nabati belum mainstream di kalangan petani Indonesia. Pertama, karena aturan yang ketat, dimana syarat izin pendaftaran insektisida nabati tidak dibedakan dengan insektisida sintetik.
ADVERTISEMENT
Faktor lain adalah sulitnya melakukan standarisasi kandungan senyawa aktif karena sangat beragam dan kompleks. Keberlanjutan pasokan bahan baku juga menjadi kendala karena masih terbatas.
“Kemudian biaya produksi yang tidak selalu lebih murah daripada insektisida sintetik,” ujarnya.
Sebenarnya sulitnya pendaftaran insektisida nabati bisa diakali dengan insektisida nabati yang bisa disiapkan secara sederhana. Misalnya dengan mengekstrak tumbuhan bahan insektisida dengan air dan bahan-bahan pendukung lain seperti sabun, lerak, atau sedikit alkohol.
Kuncinya untuk memasyarakatkan insektisida nabati ke petani menurut Djoko adalah dengan memberi bukti. Kita tidak bisa hanya menyuruh saja, tapi harus menunjukkan dan memberi contoh bagaimana penggunaan tumbuhan-tumbuhan tertentu sebagai insektisida nabati.
Bahan insektisida nabati yang disosialisasikan harus sudah teruji keefektifannya, karena aktivitas insektisida bahan tumbuhan dapat beragam tergantung pada lokasi dan varietasnya. Dari survei yang sudah dilakukan, ada beberapa kriteria petani dalam memilih insektisida, di antaranya harga, efektivitas, kemudahan diperoleh, kepraktisan penggunaan, kesehatan tanaman, dan peningkatan produksi baik kuantitas maupun kualitas.
ADVERTISEMENT
“Jadi untuk menunjukkan ke petani bahwa semua ini bisa diwujudkan dengan nabati tidak lain adalah memperbanyak bukti nyata hasil pengujian di lapangan bersama petani. Ini yang masih kurang,” ujar Djoko Prijono. (Widi Erha Pradana / YK-1)