Konten dari Pengguna

Mereka yang Tak Bisa Libur Mencari Nafkah di Jalan Raya Selama Pandemi

19 Juni 2020 15:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dani Murdani. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Dani Murdani. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Seperti hari-hari biasanya, bahkan ketika sebelum adanya Corona, setengah enam pagi Dani Murdani sudah menyiapkan gerobak bubur ayamnya di daerah Godean, Sleman. Sejak awal kemunculan COVID-19 sampai sekarang, dia tetap berjualan dari pagi sampai siang seperti biasa.
ADVERTISEMENT
“Libur cuman lebaran aja kemarin” kata Dani, Kamis (18/6).
Bukan berarti Dani tidak tahu tentang keberadaan virus corona. Melalui gawainya, dia juga setiap hari mendapat informasi tentang virus corona, baik melalui media berita daring maupun melalui media sosial. Dia juga paham betul risiko yang membayanginya, sebab pelanggannya datang dari mana-mana. Dalam sehari, meski sedang pandemi dia biasa menjual 45 sampai 50 porsi bubur.
“Harus pinter milih-milih informasi juga kan, kalau enggak gitu, semuanya dipercaya ya enggak bisa makan kita, apa-apa enggak boleh,” lanjutnya.
Tidak ada tips khusus yang dilakukan oleh Dani, yang terpenting baginya adalah tetap menjaga kesehatan dan kebersihan diri. Dia juga sebisa mungkin meminimalkan kontak dengan pembelinya yang dia tidak pernah tahu bagaimana latar belakang kesehatannya. Bagaimanapun, ada sedikit khawatir dalam dirinya kalau sampai tertular COVID-19.
ADVERTISEMENT
“Kalau sampai kena nanti benar-benar enggak bisa kerja. Tapi Alhamdulillah sampai sekarang masih aman, walaupun tetap jualan kayak biasa,” ujar Dani.
Kebanyakan Baca Berita Corona Bikin Stress
Yasir Ahmad. Foto: Widi Erha Pradana
Di Pasar Induk Buah dan Sayur Gemah Ripah Gamping, Sleman, aktivitas berjalan seperti biasa. Yang berbeda hanya sebagian besar orang mengenakan masker. Di emperan kios, Yasir Ahmad sedang duduk istirahat sembari menunggu muatan di truknya diturunkan.
Yasir belum lama tiba di pasar itu, dengan satu truk jaruk yang dia bawa dari Jember, Jawa Timur. Sekitar 500 kilometer dia tempuh, dan sekian kota dia lewati. Namun Yasir tak merasa khawatir meski Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang cukup rawan.
“Enggak (khawatir), biasa saja,” kata Yasir Ahmad.
ADVERTISEMENT
Dia juga bukan tidak tahu sama sekali tentang corona. Awalnya dia juga sempat merasa takut, terlebih dengan pekerjaannya yang harus pulang pergi ke luar kota nyaris setiap hari. Terlebih melihat reaksi orang-orang yang langsung paranoid di awal-awal pandemi. Buka gawai yang muncul corona, makan di warung yang diobrolkan corona, di grup keluarga juga pembahasannya soal corona.
“Sampai stress mas tiap hari baca corona, tapi lama-lama biasa saja,” lanjutnya sembari terkekeh.
Meski begitu, Yasir tetap sebisa mungkin menjalankan anjuran pemerintah terkait penggunaan masker dan menghindari kerumunan. Sebab, jika sampai terkena COVID-19, dia tidak bisa membayangkan nanti bagaimana caranya menafkahi keluarganya.
Misri. Foto: Widi Erha Pradana
Hal serupa juga dialami oleh Misri, sopir truk pengangkut buah juga. Siang itu dia baru saja sampai di Pasar Induk Buah dan Sayur Gamping dengan angkutan pisang emasnya dari Malang, Jawa Timur. Dia juga sempat khawatir tertular COVID-19, tapi semakin ke sini semua berangsur normal seperti biasa.
ADVERTISEMENT
“Apalagi saya kan seminggu tiga kali bolak-balik Malang-Jogja. Tapi sekarang ya sudah biasa saja,” ujar Misri.
Dari berita-berita yang dia baca, corona memang terlihat begitu mengerikan. Setiap hari kasus terus bertambah, begitupun dengan angka kematian. Apalagi katanya virus ini sangat mudah menular, hingga membuat banyak orang harus mengurung dirinya dan melakukan semua pekerjaannya di dalam rumah.
Di awal-awal pandemi memang kerap ada pemeriksaan suhu tubuh di jalan. Namun saat ini semua sudah berjalan secara normal. Sekarang yang selalu mengkhawatirkan justru keluarganya di rumah. Karena itu, setiap pulang dia selalu langsung membersihkan badan dan merendam semua pakaian yang baru dia pakai.
Ndak ada (tips khusus), ya normal saja, yang penting kan masker sama jaga jarak, ndak berkerumun lah. Alhamdulillah sampai sekarang baik-baik saja, ndak kayak yang dibayangin dulu,” ujar Misri.
ADVERTISEMENT
Yang Bisa Bekerja dari Rumah
Berbeda dengan Dani dan Misri, Nur Faturohmi, nyaris 2 bulan lamanya harus bekerja dari rumah karena pandemi. Seluruh tugas dan kegiatannya sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dilakukan secara daring. Rapat, pelatihan, membuat laporan, semua dikerjakan dari rumah.
Berita di media daring maupun televisi yang terus menerus menyiarkan tentang COVID-19 membuatnya paranoid dan serba khawatir. Apalagi ini pengalaman pertamanya merantau jauh dari keluarga.
“Coba kalau aku kena COVID, sudah enggak pulang masa masih kena, kan ngenes banget,” kata Nur Faturohmi, Rabu (17/6).
Sejak awal bulan Puasa, sebenarnya dia sudah bekerja seperti biasa ke kantor. Meski begitu, bukan berarti dia sudah tidak takut dengan COVID-19. Apalagi aktivitas masyarakat mulai ramai lagi, padahal corona sama sekali belum hilang.
ADVERTISEMENT
“Sering kesel juga sama masyarakat dan pemerintah yang kesannya sudah mengabaikan COVID,” lanjutnya.
Danang Bakti Kuncoro, seorang pengusaha kopi juga lebih memilih untuk menjual kopinya secara daring ketimbang membuka kedai. Selain karena pelanggan di kedainya menurun karena corona, dia juga berusaha mengikuti anjuran dari pemerintah: work from home.
“Jadi sampai sekarang masih wfh, ya sedikit sedikit mulai bisa menyesuaikan lah,” ujar Danang.
Di awal pandemi, dia bahkan sempat benar-benar menutup diri dari dunia luar. Dia keluar rumah sekadar untuk membeli maka saja, selain itu dia habiskan waktu di dalam rumah. Berita-berita yang beredar di media sosial benar-benar membuatnya takut dengan corona.
“Bener-bener takut sama mati, mau keluar takut, mau ketemu orang takut. Jadi akhirnya milih di rumah aja, hitung-hitung nurut dikit sama pemerintah,” lanjutnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT