Konten dari Pengguna

Merindu Buah Cempedak di Asrama Mahasiswa Kalimantan Barat, Yogyakarta

8 Maret 2020 8:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buah cempedak. Foto : bibitunggul.co.id
zoom-in-whitePerbesar
Buah cempedak. Foto : bibitunggul.co.id
ADVERTISEMENT
Sebenarnya siang itu Kornelius Arpega sedang sangat sibuk. Dengan beberapa temannya di Asrama Mahasiswa Kalimantan Barat di daerah Klitren, Yogyakarta, dia sedang menyiapkan technical meeting kompetisi futsal selepas maghrib nanti.
ADVERTISEMENT
Tapi di tengah kesibukannya itu, Pega dan dua temannya, Yosef Remon dan Julianus masih meluangkan waktu untuk berbagi cerita tentang cempedak dengan saya. Ketiganya adalah mahasiswa asal Kalimantan Barat, Pega dari Kabupaten Sanggau, Remon dari Melawi, sedangkan Julianus dari Kapuas Hulu. Pega dan Remon kuliah di STPMD APMD Yogyakarta, sementara Julianus dari UKDW Yogyakarta.
“Harusnya nanti sore hidangannya cempedak, mantap itu,” kata Pega mengandaikan ada cempedak yang bisa dihidangkan di acara nanti sore, Kamis (5/3).
Cempedak memang paling cocok disajikan ketika langit hujan dan hawa sedang dingin sebab dia akan memberikan efek agak panas di tubuh. Apalagi cempedak goreng yang masih panas, sangat mantap jika dilahap ketika sedang gerimis seperti sore itu.
ADVERTISEMENT
“Kalau pas siang terik malah kurang cocok, panas soalnya, bisa panas dalam,” lanjutnya.
Beda Selera Soal Cempedak
Asrama Mahasiswa Kalimantan Barat di daerah Klitren, Yogyakarta. Foto : Widi Erha Pradana
Dari ketiga kawan dari Kalbar itu, Remon yang paling menggilai cempedak. Sekali makan, dia bisa menghabiskan dua buah cempedak sendirian.
“Soalnya musiman kan, setahun sekali. Enggak bisa setiap hari makan cempedak,” kata Remon.
Julianus tak segila itu dengan cempedak. Dia paling banyak hanya bisa menghabiskan setengah buah cempedak. Pernah Julius memakan satu buah cempedak berdua dengan temannya, tapi setelah itu dia langsung jatuh sakit.
“Sebenarnya mulut masih pengin makan, tapi badan enggak kuat, soalnya panas tadi kan,” ujarnya.
Lain lagi dengan Pega, dia justru lebih suka memakan biji cempedak yang direbus atau digoreng. Menurutnya rasanya agak mirip dengan jengkol, namun aromanya tidak sekuat jengkol.
ADVERTISEMENT
Ibu-ibu di kampung Pega juga suka sekali merebus atau menggoreng biji cempedak untuk cemilan. Jadi biji-biji cempedak yang dikumpulkan, dicuci, lalu digoreng atau direbus. Masalahnya karena biji cempedak banyak mengandung gas, jika kebanyakan makan biji cempedak jadi sering kentut.
“Cocok banget itu dicemil sambil nonton tv atau pas ngobrol-ngobrol begini. Apalagi terus sering kentut kan, lucu jadinya,” kata Pega.
Menurut mereka, olahan cempedak di setiap daerah memang berbeda-beda. Di tempat mereka cempedak yang sudah masak selain dimakan langsung biasanya juga digoreng tepung, persis seperti menggoreng pisang.
Saya teringat seorang kawan KKN yang juga asal Kalimantan Barat, Evangelia Tuko namanya. Saya whatsapp dan bak gayung bersambut, ternyata dia adalah penggemar berat buah cempedak.
ADVERTISEMENT
“Aku penggemar cempedak sih. Pamanku nanam cempedak banyak banget di rumah,” kata Eva menjawab pesan singkat saya lewat whatsapp.
Eva paling suka cempedak goreng, menurutnya rasanya tiada tanding. Mantap! Cara bikinnya juga gampang, nyaris seperti bikin pisang goreng. Tepung beras campur tepung terigu, kasih gula pasir secukupnya, buah cempedak yang sudah masak dimasukkan ke adonan tepung, lalu masukkan ke minyak panas. Cempedak goreng siap jadi rebutan pokoknya.
“Enak yo, manis Wid. Pokoknya enak,” jawab Eva lagi diikuti dua emoticon tertawa lebar.
Sama dengan Eva, teman saya lainnya, Willy Andriyan Permana, juga paling suka cempedak goreng. Dia bukan dari Kalbar, tapi dari Padang, Sumatera Barat, karena itu panggilannya Willy Padang. Menggorengnya sekalian dengan biji-bijinya, sehingga sekali lahap dimulut ada perpaduan rasa daging dan biji cempedak.
ADVERTISEMENT
“Mantap pokoknya, sering banget makan waktu di Padang dulu,” kata Willy.
Selain digoreng, biasanya cempedak yang belum masak namun sudah tua juga dijadikan sayur, dimasak dengan kuah santan sehingga menjadi hidangan yang lezat. Di kampung Willy, cempedak juga biasa dibuat es buah atau sup buah.
“Tapi sebenarnya itu enggak cocok sih, soalnya rasa dan aroma buah lainnya jadi enggak kerasa, kalah sama cempedak,” lanjutnya.
Tinggal Ambil di Hutan
Julianus (kiri) dan Pega (kanan) sama-sama menggilai cempedak. Foto : WIdi Erha Pradana
Masih sedikit orang yang mau membudidayakan cempedak karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Di kampung Pega dan dua temannya, biasanya buah cempedak hanya dibagi-bagikan saja ketika sedang puncak musim panen. Jika dijual pun, harganya tak lebih dari Rp 20 ribu per buah yang besar-besar itu, kebanyakan malah hanya Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu.
ADVERTISEMENT
“Jadi tinggal minta saja ke tetangga yang punya. Kalau enggak ya tinggal masuk ke hutan kalau mau,” kata Pega.
Tak jarang, cempedak dijadikan bekal ketika pergi memancing. Asal bukan lahan milik warga, halal untuk dipetik. Ketika puncak musimnya, antara Januari sampai Februari, kadang sampai bosan melihat cempedak ada di mana-mana.
Di kampung Willy, pohon cempedak biasanya digunakan sebagai pembatas antara satu lahan dengan lahan lainnya.
“Kalau pingin tinggal masuk-masuk ke hutan aja, atau ke kebun, yang penting enggak ketahuan yang punya,” kata Willy berseloroh.
Menahan Rindu Pada Cempedak
Sayangnya sudah dua tahun ini Willy belum pernah pulang ke kampung halamannya di Padang. Selama itu juga dia tak pernah makan cempedak lagi sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
“Ya pingin kadang-kadang, tapi gimana, masa mau balik cuman buat makan cempedak, yang bener aja,” kata dia.
Eva, si penggemar berat cempedak itu juga sudah setahun ini tak pernah makan cempedak. Sebenarnya di Jogja sudah mulai banyak yang menjual cempedak. Belum lama ini, di sebuah swalayan menjualanya, sayangnya harganya sangat tidak bersahabat. Padahal di kampung halamannya, dia bisa menikmati cempedak sepuasnya secara gratis.
“Di Mirota lho udah banyak cempedak, cuman gak mampu beli aja. Sekilo hampir Rp 40 ribu, wkwkwk,” jawab dia.
Ya, sekilo buah cempedak memang tak seberapa, karena hampir separuhnya adalah kulit. Tak heran, jika Rp 40 ribu hanya untuk cempedak rasanya sayang banget.
Pega dan Julianus belum lama ini pulang ke kampung halaman mereka. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh mereka untuk berburu buah cempedak. Bahkan sebelum pulang, Julianus sudah memiliki daftar buah mana saja yang harus dia makan ketika di rumah.
ADVERTISEMENT
“Cempedak udah pasti masuk list dong,” kata Julianus.
Mereka tak mau kehilangan momen menikmati buah cempedak di kampung halaman, karena paling cepat mereka bisa pulang kampung setengah tahun sekali saat liburan semester.
Pega sebenarnya pernah membeli buah cempedak di Jogja untuk mengobati rasa kangennya dengan si saudara nangka ini. Sayangnya ekspektasinya tidak terbayar, rasa buah cempedak di Jogja dengan di kampungnya ternyata sangat berbeda.
“Karena kalau di Kalimantan kan memang yang masak di pohon, jadi benar-benar maksimal rasanya. Kalau yang di Jogja biasanya kan diperam, pas dipetik belum masak, jadi kurang manis,” ujar Pega.
Akhirnya sekarang Pega memilih menahan saja ketika dia mulai merindukan kenikmatan cempedak sampai saatnya dia pulang ke kampungnya nanti. Biar pelampiasan rindu pada cempedak nanti makin mantap.
ADVERTISEMENT
Pemersatu Anggota Keluarga
Willy. Foto : Widi Erha Pradana
Di kampung Pega dan Julianus, selain dijadikan hidangan jika ada tamu, cempedak dan nangka nyaris selalu ada di acara-acara keluarga atau acara adat. Bagi Pega, cempedak juga bisa disebut buah yang mempererat hubungan antaranggota keluarga.
“Jadi kalau ibu bilang, ‘ada cempedak, siapa yang mau’, semua pasti ngumpul,” kata Pega.
Ketika semua anggota keluarga sudah berkumpul, melingkar menikmati cempedak, di sanalah akan ada cerita yang membuat suasana semakin hangat. Senada, Willy juga mengatakan demikian. Di kampungnya, cara makan cempedak biasanya langsung dari kulitnya.
“Jadi cuman dibelah kulitnya, terus ngambil satu-satu, bukan diambil terus dimasukkan wadah lain,” kata Willy Padang.
Jika dipindahkan dulu ke sebuah wadah dan tidak langsung dimakan, rasa cempedak tidak akan selezat jika langsung dimakan dari kulitnya.
ADVERTISEMENT
“Itu sih paling ngangenin, makan cempedak bareng sama keluarga,” ujarnya.
Cempedak Jangan Sampai Punah
Buah cempedak siap dipetik. Foto : Pixabay
Untuk saat ini, buah cempedak memang relatif masih mudah ditemukan, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Namun melihat keadaan di kampung halamannya, Pega pesimis anak cucunya kelak bisa menikmati buah hutan nan lezat itu.
“Sekarang cempedak hampir dikalahkan oleh sawit, karena hutan itu ditebangi diganti pohon sawit,” kata Pega.
Pega juga khawatir, buah cempedak yang masih melimpah justru membuat masyarakat lengah, sehingga menebangi pohon-pohon cempedak untuk dijual atau diganti sawit. Padahal cempedak baginya adalah buah identitas Kalimantan. Dia berharap cempedak bisa terus dilestarikan, sebab apa yang ada sekarang ini menurutnya bukanlah milik kita, melainkan titipan anak cucu kita di masa depan.
ADVERTISEMENT
“Jangan sampai kayak durian nanti, susah dicari, terus harganya jadi mahal,” lanjutnya.
Julianus sependapat, apalagi jika melihat adanya kehangatan keluarga di dalam buah cempedak. Karena itu, perhatian terhadap cempedak menurutnya perlu ditingkatkan. Misalnya para peneliti, bagaimana supaya produksi cempedak jauh lebih baik.
“Atau para pecinta kuliner, mungkin bisa bikin olahan-olahan dari cempedak yang lebih variatif,” ujar Julianus. (Widi Erha Pradana / YK-1)