kumplus-Crime Story- Gali Yogyakarta

Orang-Orang yang Menggeret Pedang ke Pemakaman Itu Ikut Mati (1)

2 September 2021 18:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siang itu terik. Arifin terlongong-longong melihat pemandangan di hadapannya. Seratusan orang menggeret pedang melintasi desa. Ada yang berjalan kaki, ada yang bermotor. Semua menyeret-nyeret pedang di atas tanah, mengantar jenazah salah seorang rekan mereka.
Itu kematian kolosal pertama di kampung Arifin. Siapa pun yang mati itu, orang-orang yang mengantarnya ke liang lahat jelas berpikir untuk membalas dendam. Namun, alih-alih berhasil menuntut balas, orang-orang berpedang itu malah ikut mati. Satu demi satu.
Malam-malam sesudahnya, ada saja orang yang menyusul mati. Jumlahnya makin hari makin banyak hingga lama-lama tak ada lagi orang yang ramai-ramai mengantar jenazah. Begitu ada yang mati, ia akan langsung dikubur begitu saja. Tak ada seremoni, tak ada pelayat.
Pemakaman Slamet Gaplek, gali ternama di Yogya. Gali lain banyak yang dimakamkan seadanya. Foto: Tempo/A. Lookman
Arifin kecil tinggal di Kampung Karanganyar, Yogyakarta. Dahulu, awal 1980-an, kampung itu bak terbelah dua—hitam dan putih. Sebelah sana berisi orang baik-baik, sebelah sini dihuni mayoritas penjahat—bandit, rampok, garong, preman. Tapi, di kampung itu mereka tak bertikai. Ada kesepakatan tak tertulis di antara mereka untuk tak berbuat buruk di kampung sendiri.
Preman-preman di kampung Arifin kala itu lebih dikenal dengan sebutan gali—gabungan anak liar. Arifin mengingat mereka sebagai “orang-orang yang lucu, suka bercanda, ramah, dan royal.” Ia pernah diberi duit oleh mereka untuk beli bola plastik buat main.
Namun, di wilayah lain, para gali itu menjelma beringas. Mereka, misalnya, masuk dari satu toko ke toko lain untuk menagih uang “keamanan”. Kalau pemiliknya tak mau bayar, sudah tentu ia jadi tak aman—dari gangguan kelompok gali itu sendiri.
“Itu organized crime pada masanya,” kata Arifin, hampir 40 tahun kemudian.
Di tempat ini, Maret 1983, sepasang mahasiswa dipepet motornya dan dijampret. Salah satu dari mereka kemudian tewas. Foto: Dok. Eko S. Putro
Seorang petugas keamanan di sebuah kampung di Yogya mengingat masa itu sebagai periode gaduh. “Para preman, geng-geng, klub-klub, mereka mengibarkan bendera kelompoknya masing-masing. Kerusuhan begitu mencolok.”
“Di angkutan umum, kol kampus, di tempat-tempat tertentu, mesti ada preman-preman yang minta uang ke sopir-sopir,” kata dia pada 2007 ketika memberikan keterangan untuk kepentingan riset peneliti Universitas Sanata Dharma, Yustina Devi Ardhani.
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
Era 1980-an awal itu, kejahatan tak hanya mekar di Yogya, tapi Pulau Jawa. Sepanjang Februari–Maret 1982, tak kurang dari 21 pembajakan bus terjadi di seantero pulau. Di Solo, pembajakan bahkan dilakukan di siang terang.
Kriminalitas merajalela—berkelompok dengan pola bengis. Penggunaan senjata api meningkat tajam. Garong tak hanya merampok harta benda, tapi juga memerkosa perempuan.
Sementara kemampuan polisi kala itu, menurut seorang pejabatnya kepada Majalah Tempo, “Jangankan menggunakan pesawat telepon (untuk berkoordinasi menangkap penjahat), sepeda (untuk menguber begal) pun sering tak ada.”
Pada kondisi Yogya yang nyaris menyerupai Gotham inilah lahir sang penembak misterius.
Baca kisah lengkap “Penembakan Misterius di Yogya” dengan berlangganan kumparan+
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten