Konten dari Pengguna

Polarisasi Normalisasi vs Naturalisasi Jangan Rugikan Masyarakat

8 Januari 2020 19:06 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga Cipinang Melayu membersihkan rumah mereka, Kamis (2/1). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga Cipinang Melayu membersihkan rumah mereka, Kamis (2/1). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Penanganan banjir di Jakarta menciptakan polarisasi dukungan politik yang sebenarnya justru bisa merugikan masyarakat dalam upaya penanganan secara serius masalah banjir di Ibu Kota Jakarta. Masalah banjir Jakarta adalah masalah yang sudah merenggut nyawa penduduk dan merugikan tidak hanya warga Jakarta tapi juga rakyat seluruh Indonesia sebab Jakarta adalah pusat ekonomi politik nasional. Sehingga unsur ego sektoral musti sangat dihindari agar masyarakat tidak makin dirugikan.
ADVERTISEMENT
Demikian diungkapkan oleh Direktur Centre of Presidential Studies UGM, Nyarwi Ahmad, di Yogyakarta, kemarin.
Nyarwi mengatakan, dalam penanganan banjir Jakarta seharusnya tidak ada lagi ego sektoral dari tiap pemegang kekuasaan. Jika para elite masih terus sibuk menjadikan banjir sebagai komoditas politik, maka selama itu juga rakyat akan terus dirugikan. Setiap stakeholder memang berhak untuk memiliki prioritas masing-masing namun jangan sampai menari di atas penderitaan rakyat yang jelas paling dirugikan oleh bencana.
“Komunikasi politik yang dibangun jangan hanya untuk kepentingan politik elektoral. Kita ini negeri bencana dan saya sebagai orang komunikasi tidak melihat ada visi elite yang jelas tentang itu, justru yang ada hanya komunikasi politik yang merugikan publik luas saja sebenarnya,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Nyarwi mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang diintai bencana setiap saat oleh ancaman cincin api pasifik yang kerap mengakibatkan gempa bumi, gunung meletus, dan banjir. Tetapi anehnya kebijakan terkait penanganan bencana tersebut tidak pernah menjadi kebijakan yang mainstream. Kebijakan-kebijakan publik terkait tata wilayah, tata kota, dan sebagainya yang menyangkut antisipasi terhadap penanganan bencana masih sangat minim.
“Yang muncul malah kemudian polarisasi pro Ahok pro normalisasi, sedangkan pro Anies pro naturalisasi. Ini mengembalikan polarisasi vis a vis pilpres lagi,” tandas Nyarwi.
Pemda Memang Paling Berwenang
Warga berkativitas saat banjir di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Kamis (2/1). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Terpisah, peneliti Pusat Studi Bencana UGM Djati Mardiatno memaparkan bahwa nuansa politik dalam penanganan banjir Jakarta memang tidak bisa dihindari sebab Jakarta adalah wajah terdepan Indonesia. Di Jakarta ada Pemerintah Daerah (Pemda) Daerah Khusus Ibukota (DKI), ada pemerintah kota, dan ada pemerintahan pusat, sehingga apa pun kejadian di Jakarta pasti akan menjadi konsumsi public nasional.
ADVERTISEMENT
“Maka memang tidak bisa dihindari kalau jadi isu politik. Kalau saya yang penting bagaimana penanganannya sesuai UU yang berlaku,” kata Djati yang baru lengser dari Kepala Pusat Studi Bencana UGM pada Mei 2019.
Sesuai UU, penanganan bencana pertama kali memang menjadi wewenang daerah dan pemerintah pusat sifatnya hanya support. Dalam kondisi darurat, pemerintah daerah pasti sudah punya langkah yang berbasis pada rencana kontingensi.
Maka saat saling saut antara Kepala BNBPB dan Gubernur DKI mengenai siapa komander di lapangan, antara BPBD dan lurah, harus dilihat bagaimana Pergub DKI mengatur siapa insiden commander.
“Karena gubernur mengatur lewat pergub apakah kalau terjadi darurat insiden komander BPBD, Kapolres, Dandim, atau lurah seperti yang dibilang Pak Anies ya sah-sah saja. Meski memang harus koordinasi dengan BPBD karena BPBD itu diatur UU dan wajib ada di provinsi,” papar Djati. (Widi Erha Pradana / Eko SP / YK-1)
ADVERTISEMENT