Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Saat Padukuhan Klopo X Kulon Progo Mulai Membayangkan Akhir Generasi Pandai Besi
email: [email protected]
12 Agustus 2020 13:37 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pukulan demi pukulan menghasilkan suara yang memekakan gendang telinga. Percikan api keluar dari dua logam yang saling bertumbukan. Suara itu sudah menggema sejak pukul tujuh pagi, hingga matahari kian beranjak tinggi mendekati Zuhur.
ADVERTISEMENT
Muryadi, Sutris, dan Sugeng Rahayu lah pembuat kebisingan itu. Mereka bertiga adalah pande besi yang sedang sibuk menempa baja panas di Sentra Pande Besi Bina Karya di Padukuhan Klopo X, Desa Bendungan, Kapanewon Wates, Kulon Progo.
Di dahi ketiganya, keringat sejagung-jagung terus menetes. Bukan hanya karena beratnya palu yang digunakan untuk menempa, tapi juga karena panas yang dikeluarkan oleh alat pemanggang baja.
“Bertahan saja mas ini, makin kesini makin sepi. Rame pas mau kurban saja, peningkatan pesanan pisau bisa 3 kali lipat dari hari biasa, tapi setelah itu ya sepi lagi,” kata Muryadi yang juga wakil ketua di sentra pande besi tersebut ketika istirahat untuk shalat dan makan siang, di pertengahan Agustus ini.
ADVERTISEMENT
Dari mulut Muryadi keluar cerita bagaimana Padukuhan Klopo X Kulon Progo sudah menempa besi menjadi aneka perkakas pertanian pada medio 1800-an. Pasang surut permintaan produk pande besi sanggup dilalui hingga 200 tahun tapi hari-hari ini bukan lagi hari yang mudah untuk terus bertahan.
“Masalah yang tidak bisa dilawan penduduk desa adalah produk impor yang lebih murah,” tandas Muryadi.
Dari segi harga, cangkul yang diproduksi oleh para pande besi di Klopo X kalah telak dengan cangkul-cangkul impor. Cangkul yang diproduksi oleh para pande besi di Klopo X dijual dengan harga mulai dari Rp 250 ribu, bahkan ada yang lebih dari Rp 300 ribu.
“Kalau cangkul dari luar negeri itu Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu itu udah dapat,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Masalah kedua adalah turunnya produktivitas pertanian dalam negeri yang berimbas pada menurunnya permintaan alat-alat pertanian. Padahal, salah satu produk utama yang digarap oleh para pandai besi di Klopo X adalah alat-alat pertanian seperti sabit, parang, bapang, bendo, dan cangkul.
Pangsa pasar yang menyusut itu masih ditambah dengan gempuran produk sejenis dari impor dan juga modernisasi pertanian.
“Yang muda sudah jarang yang mau bertani, kalaupun bertani yang menggunakan cangkul terus menyusut karena mereka mulai beralih pakai traktor,” sambung Sutris.
Jadi, praktis, yang bisa diandalkan sebenarnya hanyalah produk pisau untuk kebutuhan rumah tangga tapi lagi-lagi pisau juga digempur oleh produk impor.
“Makanya ya saya tidak tahu apa pandai besi di sini masih akan lanjut ada karena anak muda juga sudah malu kalau mau jadi pandai besi, susah. Sekarang paling muda (pemandai besi) usia 30 tahun,”jelas Sutris.
ADVERTISEMENT
Kenapa Terus Bertahan?
Di bawah naungan Bina Karya yang didirikan pada 1983, sebanyak 22 pandai besi terus mencoba bertahan sampai saat ini. Di sini, para pandai besi biasa berkumpul untuk berbagi pengetahuan terkait perkembangan produk, penentuan harga, serta persoalan-persoalan lain yang dihadapi para pandai besi. Di sini, peralatan produksi juga cukup lengkap, sehingga para pandai besi yang tidak bisa menggarap produknya di rumah karena keterbatasan alat bisa menggarapnya di sini.
Dengan terus menurunnya permintaan pasar pada produk hasil pandai besi Klopo X, stigma negatif akhirnya melekat pada profesi ini.
Singgih Nurrahmat, pandai besi lain sekaligus sekretaris di Bina Karya mengatakan bahwa mayoritas pemuda Padukuhun Klopo X lebih memilih merantau ke luar daerah menjadi buruh sebab pandai besi tak bisa sekeren buruh yang pakai seragam.
ADVERTISEMENT
Dari segi material, sulit membantah bahwa profesi pandai besi tak lagi memberi kepuasan apalagi harapan. Tapi, apa yang dirasakan dalam hati para pemandai besi sebenarnya sungguh berbeda dengan apa yang dilihat sekilas mata.
“Memang pandai besi ini seperti panggilan hati, sebab dulu saya juga lama jadi buruh pabrik selepas lulus sekolah, namun meneruskan jejak para pendahulu ternyata kenyamanannya luar biasa,” kata Singgih.
Terutama, menurut Singgih jika bisa melihat produk yang dia hasilkan dipakai oleh petani dan petani tersebut merasakan kepuasan, hal itu sungguh sebuah kepuasan tiada kira baginya.
Hal itu menurut Singgih tidak pernah dirasakan selama dia bekerja di pabrik. Apalagi di pabrik semua pekerjaan sudah pakem, sehingga otak tidak banyak bekerja. Singgih tidak bisa mengeksplorasi kemampuan-kemampuan terbaiknya. Sementara setelah menjadi pande besi, dia sangat suka berkreasi, bahkan membuat produk-produk yang tidak lazim.
ADVERTISEMENT
Menjadi pandai besi juga tidak sekadar menempa. Insting dan perasaan harus benar-benar diasah, terutama ketika menggarap produk-produk pesanan dengan spesifikasi tertentu.
“Kalau pikiran lagi enggak tenang, pasti tak tinggal. Enggak berani ngerjain karena hasilnya pasti bubrah (kacau),” ujarnya.
Sayangnya tidak semua orang bisa merasakan kenyamanan seperti yang dirasakan oleh Singgih. Dia sendiri kebingungan, bagaimana melanjutkan trah pandai besi di Klopo X yang sudah dikenal selama ratusan tahun. Singgih khawatir, dia akan menjadi generasi terakhir pandai besi terakhir di Klopo X jika situasinya terus begini.
Padahal hasil menjadi pandai besi juga tidak terlalu mengecewakan. Dalam sebulan, jika berproduksi terus rata-rata omzet yang didapatkan sekitar Rp 16 juta sampai Rp 20 juta, sebuah hasil yang sebenarnya lumayan untuk ukuran kebutuhan hidup di desa.
ADVERTISEMENT
“Tapi kan tadi, banyak yang beranggapan kalau jadi pande itu susah,” ujar Singgih.
Singgih berharap rencana pemerintah untuk membuka lahan pertanian ribuan atau sejuta hekatare di Kalimantan bisa melibatkan pande besi tradisional untuk mensuplai perkakas yang dibutuhkan.
Singgih mencontohkan, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, di masa pandemic ini mencanangkan Gerakan Menanam Pangan di Pekarangan (Gempar) sehingga lumayan meningkatkan permintaan akan produk pandai besi. Hal itu bisa dicontoh oleh pemerintah pusat.
“Paling banyak sabit sama cangkul. Tapi cangkul yang kecil-kecil gitu, yang buat nanam-nanam di pekarangan, bukan yang buat dibawa ke sawah,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / ESP / YK-1)