Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Sarjana Teknik Arsitektur yang Jadi Arsitek Profesional Kurang dari 25 Persen
email: [email protected]
6 Oktober 2020 12:17 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak lebih dari 25 persen, sarjana teknik arsitektur yang menjadi arsitek profesional. Sisanya, lulusan sarjana arsitektur justru lebih banyak bekerja di bidang lain seperti akademisi atau dosen, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha real estate, karyawan industri, pegawai bank, pengusaha furniture, serta berwirausaha di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
“Beternak ayam juga banyak, kemudian murid saya ada yang jadi distributor helm itu juga ada. Semuanya itu sukses, tapi jalannya tidak seiring dengan jurusannya,” Demikian kata Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Munichy Bachron Edrees dalam seminar daring yang diadakan oleh Fakultas Teknik Universitas Mulawarman, Minggu (27/9).
Munichy menyayangkan sedikitnya lulusan sarjana arsitektur yang terjun sebagai arsitek profesional. Salah satu penyebab sedikitnya lulusan arsitektur yang menjadi arsitek profesional menurutnya karena belum semua perguruan tinggi yang memiliki program studi (prodi) arsitektur memiliki pendidikan profesi.
“Sehingga begitu lulus, mahasiswanya itu macam-macam, yang tidak jadi arsitek banyak sekali,” ujar Munichy yang juga merupakan pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Karena itu, Munichy mendorong supaya setiap perguruan tinggi yang memiliki prodi arsitektur mulai membuka prodi profesi arsitek.
ADVERTISEMENT
Mendesain, Bukan Menggambar
Banyak yang berpikir tugas arsitek adalah menggambar rumah atau bangunan. Munichy menjelaskan, bahwa tugas arsitek adalah mendesain, dan itu sangat berbeda dengan menggambar.
Jika melakukan kesalahan dalam menggambar, tinggal dihapus dan diperbaiki urusannya selesai. Tapi ketika melakukan kesalahan dalam mendesain, maka taruhannya bisa nyawa. Misalnya ketika arsitek lupa memberikan pintu darurat pada desain sebuah gedung. Maka ketika ada kebakaran atau gempa, puluhan atau bahkan ratusan orang di dalam gedung itu bisa meninggal karena kesalahan dalam membuat desain tersebut.
Ada delapan aspek yang perlu dipikirkan dalam membuat desain sebuah bangunan. Pertama adalah fungsi, artinya desain yang dibuat bisa dipakai. Aspek kedua adalah estetika atau bentuk bangunan. Berikutnya aspek teknologi atau teknik di dalam bangunan, kemudian aspek berikutnya adalah keamanan.
ADVERTISEMENT
“Bangunan harus bisa menyelamatkan penghuninya, harus bisa menyelamatkan user-nya kalau terjadi apa-apa,” ujar Munchiny.
Aspek kelima adalah kenyamanan, kemudian kontekstual terhadap lingkungannya sehingga harus bisa beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Contoh bangunan yang tidak kontekstual dengan lingkungannya adalah ketika bangunan tersebut menyebabkan bencana seperti banjir, keringnya air tanah, dan sebagainya. Padahal sebelum ada bangunan itu, bencana serupa tidak pernah terjadi di lingkungan tersebut.
Aspek berikutnya adalah bangunan harus sustainable atau berkelanjutan. Artinya bangunan tersebut harus awet dan mudah untuk melakukan maintenance jika mengalami masalah. Serta aspek yang terakhir adalah harus terjangkau, murah tapi tidak murahan.
“Karena banyak produk-produk desain yang luar biasa, semua orang mengatakan keren, tapi tidak bisa dibangun karena sangat mahal,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ketika sebuah desain tidak memenuhi aspek-aspek tersebut, maka bisa dipastikan sebuah bangunan tidak akan ideal. Di sini, menurut Muchiny, sangat diperlukan adanya pendidikan profesi arsitek supaya para arsitek bisa memenuhi aspek-aspek tersebut.
Panca Indera Akan Mengalahkan Teknologi
Sedikitnya lulusan pendidikan arsitektur yang terserap sebagai arsitek profesional juga diamini oleh Estar Putra Akbar, Ketua IAI Kalimantan Barat yang juga merupakan dosen arsitektur di Politeknik Negeri Pontianak. Hal ini, menurut Estar menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan dunia arsitektur di Indonesia.
Perkembangan teknologi di dunia industri tentu akan membuat pola kerja di dunia arsitektur berubah. Banyak wacana, bahwa profesi arsitek suatu saat akan digantikan oleh komputer, mesin, robot, atau semacamnya.
Tapi semua ini sebenarnya tidak akan menjadi ancaman bagi seorang arsitek, dengan catatan arsitek bisa meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Pasalnya, secanggih apapun teknologi, menurutnya tidak akan bisa menandingi rasa yang dimiliki oleh panca indera manusia.
ADVERTISEMENT
“Saya yakin bahwa profesi arsitek sangat penting untuk melibatkan panca indera. Pengalaman saya mengajar mahasiswa, terkadang mereka lupa melibatkan panca indera yang mereka miliki, bagaimana mereka tidak bisa merasakan ruang,” ujar Estar Putra Akbar.
Supaya bisa bersaing dengan dunia arsitektur internasional, ada beberapa hal yang menurut Estar perlu dilakukan terkait pendidikan arsitektur di Indonesia. Pertama, perumusan ulang kurikulum pembelajaran dan capaian lulusan arsitektur supaya lebih relevan dengan tantangan global.
Selain itu model pendidikan profesi arsitek juga perlu dimantapkan dan segera diterapkan. Yang tidak kalah penting, penyiapan tempat magang juga perlu disiapkan sehingga tidak menyendat proses pendidikan profesi arsitek serta menambah jam terbang para calon arsitek.
“Semakin tinggi jam terbang, itu akan bisa memberikan berbagai macam solusi. Karena arsitektur merupakan ilmu yang terus berkembang, dan arsitektur itu akan selalu bersinggungan dengan multidisiplin ilmu,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT