Semesta dalam Sebilah Keris

Konten dari Pengguna
7 November 2019 15:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KPH Notonegoro (membuka keris dari warangkanya) saat menjadi salah satu pembuka Festival Keris Mataram di Musem Sonobudoyo, Yogyakarta, Miggu (3/11). Sebanyak 81 keris, 21 tombak, 2 pedang, serta 2 wedung (senjata khas Demak, dipamerkan dalam festival bertajuak 'Keris Mataram dari Masa ke Masa,' ini. Foto oleh : Dic Doank Hardian
“Bahannya besi, kemudian baja, buat pamornya biasanya pakai nikel atau batu meteor,” kata Empu Sungkowo Harumbrodjo sembari terus meneruskan mengikir sebuah keris di kediamannya di Dusun Gatak, Desa Sumberagung, Moyudan, Sleman, Yogyakarta, Senin (4/11).
ADVERTISEMENT
Empu Sungkowo adalah salah satu empu yang paling disegani di Yogyakarta, pada masa ini. Sejak 1995 silam, pria 65 tahun ini masih menggunakan alat-alat tradisional seperti kikir, pahat, dan alat tempa berupa palu dalam membuat keris.
Dia juga masih menggunakan pakem-pakem berupa berbagai ritual yang diwariskan dari generasi ke generasi setiap membuat sebilah keris. Jadi jangan kaget ketika ditanya tangal lahir Jawa dan pekerjaan ketika Anda akan memesan keris kepada Empu Sungkowo.
Tanggal lahir dan pekerjaan itu digunakan olehnya untuk menentukan keris seperti apa yang cocok dipakai oleh si pemesan.
Untuk membuat satu buah keris, Empu Sungkowo biasanya membutuhkan waktu paling sedikit satu bulan.
“Itu paling cepet, kebanyakan lebih dari sebulan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tapi jika Anda memesan sekarang, jangan harap sebulan langsung jadi. Saking banyaknya yang sudah mengantre, belum tentu setahun yang akan datang keris pesanan Anda sudah mulai digarap. Kalau sudah tidak sabar, pesan saja kepada perajin keris lain yang sudah tidak menggunakan pakem-pakem dalam membuat kerisnya. Namun, keris itu menurut Empu Sungkowo tak lebih dari sekadar aksesoris atau hiasan; alih-alih pusaka atau ageman.
Selain besi dan baja, terkadang ada juga campuran emas dan intan dalam sebilah keris. Empu Sungkowo tidak mau menggunakan sembarang besi, dia hanya memakai besi-besi kuno peninggalan zaman Belanda. Alasannya, besi-besi tua itu lebih kuat dan tak gampang retak, berbeda dengan besi-besi yang dijual di pasaran sekarang ini.
ADVERTISEMENT
“Biasanya banyak bakul-bakul (penjual) yang bawa (besi kuno) ke sini. Saya coba dulu, dipanaskan dengan api 1.400 derajat, kalau sekali tempa sudah retak-retak ya ndak bisa (digunakan),” ujarnya.
Sedangkan batu meteor, yang biasanya digunakan untuk membuat pamor atau gampangnya motif pada bilah keris, biasanya dibawa oleh si pemesan sendiri. Ada yang mendapatkannya dari Kolombia, Amerika Serikat, Jerman, dan sebagainya.
Mempertahankan Pakem
Empu Sungkowo saat melayani wawancara Pandangan Jogja, awal pekan ini. Foto oleh : Dic Doank Hardian.
Awal November ini, di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, diselenggarakan Festival Keris Mataram. Sejumlah keris dari masa kejayaan Kesultanan Mataram hingga saat ini dipamerkan di acara yang bertajuk 'Keris Mataram dari Masa ke Masa’ itu. Tak puas hanya melihat sebuah produk akhir dari proses panjang kebudayaan di belakangnya, saya mendapat nama Empu Sungkowo dari panitia di sana.
ADVERTISEMENT
Empu yang tinggal 15-an kilometer dari Museum Sonobudoyo yang berada di titik nol Yogya ini, menurut panitia pameran, adalah satu dari sedikit empu pembuat keris di Yogya yang masih mempertahankan pakem-pakem pembuatan keris menurut para leluhur.
Dan benar saja, Empu Sungkowo memang tak mau asal membuat keris, sebab menurutnya yang dia buat adalah pusaka, bukan sekadar aksesoris atau hiasan.
Dia, misalnya, selalu menyesuaikan antara keris yang dibuatnya dengan orang yang akan memilikinya. Misal keris untuk petani, pamor yang digunakan pasti pamor beras wutah (beras tumpah) yang berarti kemakmuran.
“Jadi berasnya sampai tumpah-tumpah,” kata Empu Sungkowo.
Lain jika dia membuat keris untuk pengusaha misalnya, maka pamor yang dia gunakan adalah pamor udan emas (hujan emas) yang melambangkan keberlimpahan rezeki. Sebelum membuat keris, Empu Sungkowo juga selalu melakukan berbagai ritual seperti puasa, dan beberapa ritual adat lainnya.
ADVERTISEMENT
“Intinya minta petunjuk sama Allah, berdoa agar dibantu,” ujarnya.
Sayangnya, saat ini menurut dia sangat sedikit yang memahami esensi ritual-ritual tersebut. Akibatnya, banyak yang menghubungkan keris dengan hal-hal klenik. Apalagi, sebelum memulai membuat keris Empu Sungkowo selalu menyiapkan ubo rampe atau kebanyakan orang mengenal dengan nama sesajen.
Ubo rampe terdiri atas berbagai hasil bumi mulai dari nasi tumpeng, golong, ingkung dari ayam jago, jenang, daun dadap srep, pisang, lele dibumbui hidup-hidup, pala gumandhul, pala kependhem, polo kesimpar, dan berbagai jenis jajanan pasar. Padalah sebenarnya, sesajen-sesajen ini bukanlah hal mistik yang tidak bisa dijelaskan. Sebab semuanya memiliki filosofi masing-masing yang pada intinya berisi doa-doa kepada Tuhan.
Misal nasi tumpeng yang berbentuk kerucut seperti gunung, kata Empu Sungkowo bermakna tumuju teng Pengeran atau menuju kepada Tuhan. Dua buah golong melambangkan semangat golong gilig, yang dalam bahasa Jawa bermakna semangat persatuan. Ingkung juga memiliki makna sendiri, yaitu jinangkung yang merupakan doa agar selalu dilindungi dan diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Daun dadap srep menjadi harapan agar pemilik keris memiliki kehidupan yang asrep atau tenang.
ADVERTISEMENT
“Lele dibumbu urip-urip itu agar keris itu benda mati tapi kelihatannya bisa hidup,” kata Empu Sungkowo menjelaskan tiap makna dari sesajen yang disiapkan.
Ketua Paguyuban Keris Lar Gangsir, penyelenggara Festival Keris Mataram, Nilo Suseno, menambahkan, dalam ubo rampe biasanya juga ada kembang setaman dan dupa. Inilah yang menurutnya semakin membuat keris dikaitkan dengan hal-hal mistik dan klenik, padahal bunga-bungaan seperti mawar, melati, kantil, dan kenanga juga merupakan doa agar pemiliknya kerap bisa mencapai keharuman nama.
“Kalau dupa itu kan asapnya ke atas, harapannya semua doanya terkabul, sampai ke Tuhan. Jadi semua bahasa perlambang,” kata Nilo.
Jika tidak dipahami secara utuh, orang-orang akan menganggap sesajen atau ubo rampe untuk memberi makan setan. Padahal, selain bermakna doa, sesajen-sesajen itu juga merupakan wujud rasa syukur dengan berbagi makanan ke sekitar.
ADVERTISEMENT
Kembang setaman tidak hanya digunakan dalam proses pra pembuatan, tapi juga untuk perawatan. Biasanya, para pemilik keris akan membersihkan kerisnya menggunakan minyak bunga mawar, melati, atau cendana. Selain memiliki aroma wangi, minyak dari kembang-kembangan itu juga ampuh untuk mencegah karat pada bilah keris.
“Kalau sudah berkarat biasanya dibersihkan pakai jeruk nipis untuk menghilangkan karatnya, setelah itu baru diolesi minyak melati,” kata Nilo.
Jika perawatan ini dilakukan secara rutin, misal tiga bulan sekali, menurut Nilo usia keris bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Sebab, musuh utama logam adalah karat yang diakibatkan oleh uap air, sementara sifat minyak ini akan mencegah air menempel pada permukaan keris.
ADVERTISEMENT
Kayu Timoho Nomor Satu
Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, tempat berlangsungnya Festival Keris Mataram, 1-7 November 2019. Foto oleh : Dic Doank Hardian.
Bagian yang tak kalah penting dari keris adalah warangka dan sarungnya. Warangka terbuat dari kayu, sementara sarung keris atau yang biasa disebut pendok biasanya dibuat dari logam seperti perak, tembaga, atau kuningan. Di Yogyakarta, kayu favorit untuk membuat warangka adalah kayu timoho.
“Jogja itu nomer satu timoho, nomer dua cendana, nomer tiga trembalu aceh,” kata Empu Sungkowo menjelaskan jenis kayu yang biasa digunakan untuk membuat warangka.
Sebenarnya ada banyak jenis kayu lain yang juga kerap dipakai untuk membuat warangka, namun sampai sekarang belum ada satupun yang hasilnya lebih baik dari trio itu. Kayu timoho menurut dia memiliki keistiwewaan tersendiri dibanding dengan kayu lainnya. Selain kuat, kayu timoho juga memiliki motif alami yang disebut pelet. Berbeda dengan kayu lain seperti cendana misalnya, yang meski memiliki aroma wangi namun warnanya polos tanpa motif.
ADVERTISEMENT
Karena merupakan motif alami, bisa dipastikan pelet yang dimiliki kayu timoho selalu berbeda. Semakin tua kayu timoho, menurutnya semakin bagus untuk dibuat warangka.
“Pokoknya minimal 25 tahun, minimal itu,” ujarnya.
Di sarung keris atau pendok, biasanya akan terdapat ukiran-ukiran yang kebanyakan merupakan ukiran bunga, dedaunan, atau hewan. Begitu juga di sor-soran, atau pangkal keris yang biasanya terdapat unsur hewan seperti naga, singa, atau gajah.
“Sangat beragam jenisnya, tergantung pada masa dibuatnya keris itu dan pembuatnya, serta harapan yang ingin dicapai,” kata Nilo.
Sabar Adalah Kunci
Empu Sungkowo saat mengikir calon keris di rumahnya di Moyodun beberapa waktu lalu. Foto oleh : Dic Doank Hardian.
“Kalau saya sedang ada masalah, sedang emosi, saya pasti istirahat. Saya nggak mau bikin keris pas lagi emosi, itu sudah pantangan dari orangtua,” kata Empu Sungkowo.
ADVERTISEMENT
Baginya, sesajen-sesajen yang disiapkan sebelum membuat keris hanyalah prasyarat. Yang utama adalah kesabaran dan kejernihan pikiran. Ketika membuat keris dalam keadaan emosi, aura dalam keris itu tidak akan baik. Itulah syarat terpenting dan terberat bagi seorang pembuat keris.
“Nggak boleh emosi, mabuk-mabukan, itu pantangan paling berat. Hasilnya sekilas mungkin sama, tapi auranya keris pasti kurang baik,” lanjutya.
Begitupun ketika sedang sedih atau berduka, Empu Sungkowo selalu memilih istirahat membuat keris. Baginya, bahan-bahan berkualitas dan berbagai jenis sesajen tak lagi berarti ketika hati dan pikiran pembuatnya tidak bersih dan tenang.
Kesabaran ini sangat penting, terutama ketika Empu Sungkowo sedang membuat pamor. Inilah bagian tersulit dalam membuat sebilah keris menurutnya.
“Kalau emosi, pasti saya milih istirahat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Nasihat dalam Bahasa Simbol
Jika dilihat seksama, dari semua proses pembuatan maupun yang melekat pada sebilah keris, semuanya terdiri atas elemen-elemen yang ada di alam semesta. Sesajen yang disiapkan, bahan baku, dan ukiran-ukiran yang ada baik di pendok maupun di keris, semua berkaitan dengan alam.
Proses pembuatan keris. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Empu Sungkowo mengatakan hal itu karena memang alamlah yang dikenal oleh orang-orang zaman dulu, baik tumbuhan maupun hewan. Karena itu, ukiran-ukiran atau aksesoris yang melekatpun tak jauh-jauh dari unsur-unsur alam.
Sementara Nilo, memandang hal itu sebagai sebuah nasihat. Dari sebilah keris, para pembuat keris zaman dulu menurutnya ingin mengenalkan alam lebih dekat dengan orang-orang.
“Mungkin juga nasihat untuk menjaga alam, tapi dengan bahasa yang lebih halus,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Nilo, cara orang-orang zaman dulu memberikan nasihat bisa ditiru, bagaimana mereka menasihati tanpa menggurui. Sebab, orang-orang sekarang menurutnya sulit jika dinasihati dengan slogan-slogan.
“Jadi istiahnya mungkin lewat alam bawah sadar. Semuanya bahasa simbol, bahasa alam,” kata Nilo. (Widi Erha Pradana / YK-1)