Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Suster Mariati Sulap Syantikara Jogja yang Gersang Jadi Taman Firdaus
email: [email protected]
9 Desember 2019 5:38 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ikan emas, nila, patin, dan gurami tengah berenang bergerombol di sebuah drainase yang suara gemericiknya mampu mengalahkan teriknya siang. Ikan-ikan itu ramai-ramai berenang menghampiri ketika saya mendekat, mengira ada makanan untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Pagi menjelang siang di akhir November itu, lalu lintas Jalan Colombo sangat padat. Tapi di kawasan Syantikara Youth Center yang tepat berada tepi Jalan Colombo hampir tak terdengar deru kendaraan bermotor sama sekali. Yang terdengar selain gemericik air justru nyanyian burung-burung liar yang banyak hinggap di pepohonan. Ada pohon mangga, talok, nangka, dan beberapa tanaman perindang.
“Itu ada burung trotokan, deruk, perkutut, terus ada deruk hijau, nah itu kutilang,” kata Suseto, 55 tahun, penjaga kebun di Syantikara sembari menunjuk seekor burung yang sedang terbang melintas di atas kami.
Angin sepoi berhembus menerpa membawa kesejukan. Sangat melegakan seusai berjibaku menyusuri jalanan Jogja yang tak hanya macet, tapi juga terik.
Saya dan Pak Seto menyusuri jalan setapak di antara bermacam tanaman sayur, ada sawi, tomat, cabai, bayam, kangkung, serta berbagai macam tanaman hias yang tertata rapi.
ADVERTISEMENT
“Kemarin sudah panen kangkungnya, terus dimasak, dibikin salad. Jadi kita nanem sendiri, diolah sendiri, dimakan sendiri. Kalau tanaman hias kadang satu dua ada yang beli,” lanjut Pak Seto.
Kami duduk di sebuah bangku panjang di sudut kebun. Saya terus mendengarkan cerita tentang kebun Syantikara dari Pak Seto yang sudah bekerja di sana sejak 1987. Persis di depan kami ada dua bak yang berisi dedaunan kering, ternyata itu tempat pembuatan pupuk organik.
Tak ada bahan-bahan khusus untuk membuat pupuk organik di sana, hanya dedaunan kering yang disiram secara rutin menggunakan air biasa. Daun itu ditunggu sampai membusuk sekitar sebulan lalu dikeringkan sebelum dikembalikan lagi ke tanaman-tanaman di sana sebagai nutrisi.
ADVERTISEMENT
“Daunnya ya dari semua tanaman yang ada di sini. Banyak sekali (jenis tanamannya), bermacam-macam tanaman. Sudah nggak hafal saya ada apa saja,” kata Pak Seto sembari terkekeh.
Selain Pak Seto, ada seorang penjaga kebun lain yang setiap hari merawat tanaman-tanaman di sana. Sudaryono, 46 tahun, atau sapaan akrabnya Pak Nono. Dia juga sudah lama bekerja di sana, sejak tahun 1990. Pak Nono ikut bergabung dengan kami sembari membawa dua botol kecil Seruni, minuman kesehatan yang diproduksi sendiri oleh para karyawan di Syantikara Youth Center.
Seruni merupakan kependekan dari serai dan jeruk nipis. Ya, minuman kesehatan ini berbahan baku serai dan jeruk nipis ditambah gula merah, gula putih, dan garam. Meski tanpa pengawet buatan, minuman ini bisa tahan hingga dua pekan, terlebih jika disimpan di dalam kulkas.
ADVERTISEMENT
Saya menenggak minuman dingin itu, sangat segar, menyiram dahaga saya dengan sempurna. Rasa manis gula jawa dan asam dari jeruk nipis, serta aroma serainya sangat terasa. Khasiat yang langsung terasa tentu saja langsung menghangatkan badan. Kata Pak Nono, minuman ini juga berkhasiat untuk menyeimbangkan tekanan darah, menurunkan kolesterol, memenuhi kebutuhan kalsium, dan mematikan sel-sel kanker.
“Serainya itu dicabut, diambil pangkal batangnya terus dicuci, ditumbuk, terus direbus sama gula jawa. Habis direbus, ditaruh baskom baru dikasih cairan jeruk nipis. Serainya itu bikin capek-capeknya hilang,” ujar Pak Nono menjelaskan proses pembuatan minuman seruni yang saya minum.
Inisiator Itu Bernama Suster Mariati
Lahan dengan luas sekitar setengah hektar itu tidak terjadi begitu saja. Sebelumnya, menurut Pak Seto, kawasan itu adalah kebun dan lahan kosong yang terbengkalai. Kawasan Syantikara Youth Center juga bisa dibilang gersang.
ADVERTISEMENT
Suster Mariati CB, 49 tahun, adalah aktor utama di balik hijau dan sejuknya kawasan itu. Dia adalah Kepala Syantikara Youth Center Yogyakarta. Dialah yang menginisiasi penghijauan sejak dia ditugaskan di sana pada Mei 2013 silam.
“Sejak Suster Mariati ditugaskan di sini. Sebelumnya sama sekali tidak ada yang mengelola, hanya kebun-kebun saja, gersanglah pokoknya,” ujar Pak Nono.
Suster Mariati sudah mulai menanam sehari setelah dia baru saja ditugaskan. Pohon yang pertama dia tanam adalah pohon nangka dan beberapa pohon talok. Sekarang, dalam tiga tahun terakhir pohon nangka yang dia tanam selalu berbuah setiap tahun.
Saat itu, dia melihat ada lahan-lahan kosong yang seharusnya bisa memberikan manfaat lebih. Sebagai anak petani, melihat lahan kosong seluas itu yang ada dipikirannya adalah menanam dan menanam.
ADVERTISEMENT
“Sebagai anak petani yang melihat keseharian orangtua, pernah juga diajak terjun ke lapangan artinya ikut apa yang mereka lakukan, lama-lama menjadi milik saya. Jadi ini sesuatu yang mengalir saja, sudah jadi naluri saya (untuk menanam),” ujar Suster Mariati menjawab pertanyaan pertama saya.
Suster Mariati ingin siapapun yang datang ke Syantikara Youth Center merasakan sesuatu yang berbeda dengan suasana hiruk pikok kota yang panas. Dia ingin orang-orang yang ada di situ merasa nyaman sehingga betah lama-lama di sana. Terlebih, Suster Mariati adalah tipikal orang yang tidak bisa diam di tempat, selalu mencari kesibukan. Padahal tidak mungkin setiap hari ada kegiatan, karena itu bercocok tanam adalah pilihan tepat.
“Menanam itu kan aktivitas yang bisa dikerjakan dan tidak perlu pergi ke luar,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain bercocok tanam, Suster Mariati juga menginisiasi pembutan produk-produk minuman dari rempah dan berbagai tanaman seperti kunyit, temu lawak, jahe, dan sebagainya. Orang-orang biasa menyebut minuman itu jamu, tapi Suster Mariati tidak mau menyebutnya jamu.
“Kalau jamu itu kan identik dengan obat, obat itu kan diminum orang sakit. Nah kalau ini minuman kesehatan, jadi yang sehat bisa minum biar makin sehat, yang sakit juga bisa minum biar jadi sehat,” ujarnya.
Bertemu dengan Pak Seto dan Pak Nono
Suster Mariati merasa sangat bersyukur karena bertemu dengan Pak Seto dan Pak Nono yang memiliki visi serupa. Pak Seto dan Pak Nono memang sudah hobi menanam sejak dulu, hanya saja sebelum Suster Mariati datang, tak ada yang memimpin mereka.
ADVERTISEMENT
“Sehingga diajak mewujudkan mimpi-mimpi saya mereka tidak keberatan,” kata Mariati.
Pak Seto dan Pak Nono tidak hanya menjalankan perintah Suster Mariati, tapi juga punya inisiatif untuk berkreasi. Misal ada spot foto berbentuk hati atau rumah pohon yang dibuat berkat kreativitas Pak Nono. Pak Nono ingin, tempat itu bisa menjadi tempat bersantai yang instagramable sehingga mahasiswa-mahasiswa di asrama tertarik untuk ke sana.
Lambat laun, tanaman yang mereka tanam semakin beragam. Tak hanya tanaman hias, tanaman sayur dan buah juga mulai memenuhi kawasan itu. Ada labu, pepaya, jambu, mangga, markisa, nangka, dan masih banyak yang lainnya.
“Pada intinya kami ingin membuat bagaimana agar lingkungan yang kecil ini indah, tapi juga menghasilkan,” ujar Suster Mariati.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang yang datang ke sana sempat berkata pada Suster Mariati bahwa mereka ingin menanam, namun terkendala tak punya lahan. Padahal menurut Suster Mariati, lahan bukanlah masalah jika memang memiliki niat yang kuat untuk menanam. Sebab, sudah banyak metode tanam yang bisa diterapkan di lahan-lahan yang sangat sempit, misal vertikultur, vertikal garden, dan sejenisnya. Soal modal? Itu juga bukan masalah menurut Suster Mariati.
“Kami di sini bibit yang beli sedikit sekali, biasanya kita manfaatkan sisa-sisa sayuran yang buat dimasak. Untuk media tanam, kan bisa pakai botol bekas atau barang bekas lain. Jadi kalau emang pengin nanam harusnya nggak banyak alasan, tinggal nanam aja,” katanya.
Ciptakan Keseimbangan Ekosistem
Awalnya, Suster Mariati sempat dianggap aneh karena menanam pohon talok. Sebab, kebanyakan orang menganggap sebelah mata pohon itu. Terlebih pohon talok kerap mengundang banyak ulat, sehingga jarang ada orang yang mau menanamnya.
ADVERTISEMENT
Tapi Suster Mariati melihat pohon talok adalah tanaman yang rindang, sehingga cocok untuk ditanam di tempat yang terik. Daunnya yang banyak juga bisa dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik. Tak hanya itu, daun pohon talok juga bisa dijadkan obat diabetes alami yang ampuh karena memiliki insulin alami.
“Sekarang jadi banyak kupu-kupu sama burung, saya malah belum pernah nemu ulat sama sekali. Mungkin karena sudah dimakan burung ya,” kata Suster Mariati.
Ketika beberapa wilayah di daerah Yogyakarta mengalami kekeringan, kompleks Syantikara Youth Center hampir tak pernah mengalami kesulitan air. Untuk keperluan sehari-hari penghuni asrama dan para pegawai yang jumlahnya hampir seratus orang, mereka hanya mengandalkan air sumur. Bahkan air sumur tersebut juga masih cukup untuk untuk menyirami semua tanaman yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Beberapa daun talok kering jatuh di sekitar kami seiring angin cukup kencang yang sesekali berhembus. Daun itu memang sudah kering, tapi bukan berarti tak bermakna. Nantinya, dia akan menjadi pupuk kompos yang memicu tunasnya daun-daun baru.
Sayangnya, produk-produk buatan manusia tak semua seramah ciptaan Tuhan. Sebut saja plastik dan sterefoam yang sangat sulit terurai oleh alam. Karena itu, pelan namun pasti, Suster Mariati mulai menginisiasi untuk meminimalisir penggunaan plastik. Menurutnya, saat ini masih sangat sulit untuk benar-benar tidak menggunakan plastik, karena itu yang paling mungkin dilakukan adalah mengurangi pemakaiannya.
“Tapi kadang ada tamu yang bawa (sterefoam), itu kan di luar kendali kami ya. Kadang mahasiswa juga ada yang pesan Go Food, itu kan bungkusnya banyak pakai sterefoam,” lanjut Suster Mariati.
ADVERTISEMENT
Suster Mariati ingin mewujudkan ajakan pimpinan gereja sedunia untuk kembali ke alam dan merawat bumi sebagai rumah bersama.
“Saya nggak bisa mengajak orang banyak, tetapi yang mau ayo kita buat. Dan ternyata banyak yang tertarik, anak-anak SD pada dateng, ikut nanam,” kata dia.
Mungkin kebun yang dikelola oleh tiga serangkai Suster Mariati, Pak Seto, dan Pak Nono belum seindah Taman Firdaus. Tapi mau tidak mau, saya harus mengakui orang-orang seperti merekalah yang membuat umur bumi “lebih panjang”.
Nyanyian burung, gemericik air yang mengalir, bunga yang bermekaran indah, pepohonan yang menghijau, sayur yang segar, buah-buahan yang manis, angin yang semilir, semua bisa dinikmati dalam satu waktu dan tempat yang sama, di kebun Syantikara.
ADVERTISEMENT
Waktu sudah kelewat panjang berlalu, padahal saya masih ingin berlama-lama di sana, enggan rasanya kembali lagi ke hiruk pikuk kota Jogja, terlebih matahari sudah semakin meninggi. Salah satu tujuan Suster Mariati berhasil : saya sudah mulai betah di sana. (Widi Erha Pradana / YK-1)