Tragisnya Capung, Serangga yang Bercinta di Udara

Konten dari Pengguna
2 Desember 2019 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pameran fotografi Dragonfly karya Wahyu Sigit Rahadi di Bentara Budaya Yogyakarta berlangsung dari 30 November - 8 Desember 2019. Foto oleh : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Pameran fotografi Dragonfly karya Wahyu Sigit Rahadi di Bentara Budaya Yogyakarta berlangsung dari 30 November - 8 Desember 2019. Foto oleh : Widi Erha
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepuluh tahun lamanya, sejak 2009 Wahyu Sigit Rahadi menjelajah penjuru nusantara untuk berburu capung atau dragonfly dengan lensa kameranya. Ketertarikannya pada capung dan dunia fotografi membuatnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai guru yang sudah dia geluti selama sembilan tahun.
ADVERTISEMENT
Menjelajah ke pelosok-pelosok nusantara membuatnya banyak menemui pengalaman-pengalaman tak terlupakan. Setiap tempat yang pernah dia injak, selalu memberikan kesan berbeda yang selalu ia abadikan dalam sebuah karya jepretan kamera.
Salah satu yang masih dia ingat jelas sampai sekarang adalah ketika harus jalan kaki menuju titik tujuan di Sumba dari pukul sembilan pagi sampai sembilan malam. Hal itu dia alami pada 2015 silam, dia ditemani tiga warga lokal dan seekor kuda.
“Itu salah satu yang paling berat. Tapi sebenarnya buat saya kan nggak ada beban jalan kemanapun, karena senang,” ujar Sigit seusai pembukaan pameran fotografinya yang bertajuk Dragonfly di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (30/11).
Sigit jatuh cinta dengan capung karena menurutnya capung salah satu satwa yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Sejak kecil, Sigit memang sudah dekat dengan capung yang menurutnya ternyata jika sedikit saja mau memperhatikan, capung dapat memberikan keindahan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
“Tidak cuma keindahan, tetapi juga punya peran manfaat ekologis juga ternyata,” kata Sigit.
Hingga sekarang, Sigit memiliki foto lebih dari 300 spesies capung, namun yang dia pamerkan hingga 8 Desember 2019 nanti berjumlah 87 spesies.
Serangga Tiga Dunia
Penonton pameran memperhatikan jepretan capung karya Wahyu Sigit Rahadi sesaat setelah ceremoni pembukaan pameran akhir pekan lalu. Foto : Widi Erha
Orang-orang dari berbagai latar belakang langsung memenuhi ruang utama Bentara Budaya Yogyakarta sesaat setelah pameran tersebut resmi dibuka oleh Damayanti Buchori, Pakar Serangga Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam ruangan itu, ada 94 frame foto capung yang telah ditata rapi, hampir tak ada satupun spesies yang sama.
“Ini saya mulai mengamati subuh, ditunggu sampai tiga jam, motret terus,” ujar Sigit kepada beberapa pengunjung menjelaskan proses pengambilan foto sebuah capung yang sedang melakukan metamorfosis.
ADVERTISEMENT
Dalam empat frame foto yang menunjukkan proses metamorfosis itu, tampak calon capung ketika masih dalam bentuk nimfa hingga berubah menjadi capung yang sempurna setelah melepaskan kulit terakhirnya yang disebut exuvia.
Dami, sapaan akrab Damayanti Buchori mengatakan salah satu hal yang paling menarik dari capung adalah dia hidup di tiga dunia; air, darat, dan udara. Ketika masih berbentuk telur dan larva, dia akan hidup di dalam air. Ketika berkembang menjadi nimfa, dia akan merambat ke batang-batang tanaman sebelum akhirnya bermetamorfosis menjadi capung yang terbang di udara.
“Itu tidak semua serangga bisa seperti itu,” ujar Dami.
Secara morfologi, capung sudah menakjubkan sejak masih berbentuk larva, karena sesungguhnya dia sudah menjadi predator ketika masih menjadi larva. Sebagai predator, larva capung memiliki kemampuan menangkap mangsa yang mengesankan dengan bentuk tubuh yang dia miliki. Di dalam air, dia biasa memakan plankton, ikan kecil, dan binatang-binatang air kecil lainnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi tangannya itu membuka, terus pas menangkap mangsanya langsung menutup. Kemampuannya menangkap mangsa luar biasa, keberhasilannya mencapai 95 persen,” ujar Dami.
Ketika sudah menjadi capung dewasa, dia juga memiliki sayap yang unik, berbentuk seperti jala. Capung memiliki sayap yang super tipis dan tidak rata serta memiliki tekukan-tekukan yang akan mencegahnya melengkung. Tekukan-tekukan itu ternyata berfungsi agar capung memiliki daya angkat yang lebih besar.
Udara akan bersirkulasi dalam rongga di antara tekukan-tekukan itu. Hal itu akan menciptakan area yang sangat rendah daya penahannya, sehingga memperlancar aliran udara yang menghasilkan daya angkat di sepanjang sayap itu. Dengan bentuk sayap seperti itu, capung bisa terbang melayang selama 30 detik tanpa kehilangan ketinggiannya secara signifikan.
ADVERTISEMENT
“Dia juga memiliki mata yang sedemikian besar, mata majemuk ya istilahnya. Area pandangnya itu sangat luas karena dia predator, jadi tanpa bergerak dia bisa melihat hampir 360 derajat untuk melihat mangsanya,” ujar Dami.
Hal lain dari capung yang menakjubkan adalah cara dia kawin. Proses perkawinan capung dilakukan dalam keadaan terbang selama berjam-jam di udara. Baru setelah kawin, mereka akan hinggap untuk meletakkan telur yang jumlahnya bisa mencapai 1.500 butir.
Tapi itu belum selesai, meski proses pembuahan sudah selesai, namun capung jantan akan tetap mencengkeram leher si betina. Alasannya, jika si pejantan meninggalkan pasangannya, capung jantan lain bisa datang untuk memaksa si betina kawin lagi. Jika sudah seperti itu, sperma yang sudah dibuahkan akan dikeluarkan paksa oleh pejantan baru untuk dimasuki sperma baru miliknya.
ADVERTISEMENT
“Jadi dia tetap nemenin selama meletakkan telur itu untuk memastikan bahwa telur yang diletakkan adalah sperma yang baru tadi dia masukin. Nggak mau rugi dia, aku sudah susah berjam-jam kawin, ngasih sperma, eh diambil sama jantan lain. Itu unik sekali sih,” kata Dami.
Capung dan Kelestarian Alam Kita
Aneka capung dala jepretan kamera Sigit terlihat sangat mempesona. Foto : Widi Erha
Ketertarikan Sigit pada capung tak sekadar soal keindahan, tapi juga soal peran sentral dia untuk kelestarian lingkungan. Misalnya di pertanian, capung menjadi predator utama untuk serangga-serangga yang statusnya sebagai hama. Ketika menjadi nimfa di dalam air, dia juga akan memangsa jentik-jentik nyamuk.
“Capung ini juga bisa menjadi alat bantu untuk membaca kesehatan lingkungan, air, vegetasi hutan, kelembapan suhu udara dan sebagainya,” ujar Sigit.
ADVERTISEMENT
Sebab, capung menurutnya memiliki keragaman luar biasa, baik dari segi spesies maupun cara adaptasinya. Ada capung yang sangat sensitif dengan perubahan, ada juga yang toleran dengan perubahan tersebut.
Capung-capung yang sensitif terhadap perubahan lingkungan hanya akan hidup di lingkungan yang benar-benar masih terjaga kelestariannya. Jika sudah sedikit saja terjamah tangan manusia, maka capung itu sudah tak mau lagi tinggal di tempat itu. Jadi tak berlebihan jika capung disebut sebagai indikator alami untuk mengukur tingkat kesehatan suatu ekosistem.
Misalnya Drepanostica sp. atau Bibitbuwit yang Sigit temukan di Toba Samosir. Capung jenis ini memiliki tingkat endemisitas yang sangat tinggi, dia hidup di daerah dengan kelembapan yang sangat tinggi, basah, dan masih sangat lestari.
ADVERTISEMENT
“Jadi biasanya kalau ketemu ini ketemu pacet juga, dan capungnya kecil, hitam, jadi sangat susah dijumpai,” ujar Sigit.
Senada dengan Dami yang juga mengatakan pentingnya peran capung untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Menurutnya, sebagai serangga predator, selain memangsa binatang-binatang air seperti jentik-jentik nyamuk, larva capung juga bisa menjadi makanan alami ikan. Keberadaan capung menurutnya menunjukkan adanya kesehatan di dalam ekosistem tersebut.
“Ketika air itu ada capung, berarti air itu pasti bersih. Dan ketika di tanaman pertanian ada capung, berarti ekosistem masih baik,” ujar Dami.
Sayangnya keberadaan capung bukan tanpa ancaman, manusia lagi-lagi menjadi musuh utama capung menurut Dami. Di dunia pertanian misalnya, pestisida yang kerap digunakan para petani untuk membasmi hama tanaman merupakan musuh utama yang sangat mengancam ekosistem si naga terbang ini.
ADVERTISEMENT
“Kalau petani kita masih menggunakan pestisida, itu semua capung terancam,” lanjut Dami.
Sumber Pengetahuan Masa Depan
Foto : Widi Erha
Keanekaragaman capung yang dimiliki Indonesia belum diimbangi dengan jumlah orang-orang yang menekuni dunia percapungan. Dari 1.125 spesies yang telah terdata sekarang, menurut Dami itu baru sekitar 30 sampai 40 persen dari keseluruhan spesies capung yang kita miliki.
“Indonesia itu masalahnya begini, biodiversitynya kaya banget, tapi orang yang menekuni taksonomi serangga belum terlalu banyak. Jadi berapa persisnya capung yang ada di Indonesia itu belum semuanya tereksplor,” ujar Dami.
Karena itu, karya-karya foto capung Wahyu Sigit menurut Dami sangat luar biasa sebagai sumbangan terhadap perkembangan studi soal serangga, khususnya capung. Sebab, jenis-jenis capung tersebut dapat didokumentasikan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya untuk capungnya saja, tapi juga habitatnya. Sebab, karya-karya Sigit bukan hanya menggambarkan capung yang berdiri sendiri, tapi juga dikaitkan dengan ekosistem alaminya.
“Jadi ketika belajar capung, dengan sendirinya kita belajar habitatnya, itu luar biasa,” kata Dami.
Bagi Edial Rusli, karya fotografi capung milik Wahyu Sigit merupakan indikator sebuah perjalanan hidup manusia. Oleh Sigit, secara visual capung itu dimatikan, lalu dia hidupkan kembali dalam bentuk visual foto yang kemudian menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, Sigit juga telah membuat capung-capung itu abadi sebagai karya fotografinya.
“Setelah dimatikan dalam bentuk visual itulah nanti dia berguna untuk referensi anak didik kita di kemudian hari,” ujar Rusli.
Hal itu menjadi penting, terlebih sekarang ekosistem capung menurutnya semakin menurun seiring mulai rusaknya lingkungan. Penting menurut Rusli untuk melihat capung bukan sebagai sekadar capung, sebab si naga terbang ini adalah binatang purba yang nasibnya sangat tragis.
ADVERTISEMENT
“Kinjeng (capung) ini adalah hewan purba yang sangat tragis. Hidupnya adalah membantu manusia dengan memakan hama, karena dia predator utama hama bagi manusia. Tetapi musuh utamanya justru manusia, yakni penggunaan insektisida,” ujar Rusli. (Widi Erha Pradana / YK-1)